Sedang Membaca
Guru yang Mengajar
Achmad Munjid
Penulis Kolom

Menyelesaikan pendidikan doktoral di Temple University, Amerika Serikat. Sekarang mengajar di UGM. Selain menekuni bidang kajian agama, juga menulis sastra.

Guru yang Mengajar

Img 20150807 105742

Lebih dari soal fungsi instruksional-informatif untuk memberitahu yang menempatkan guru sebagai pemegang otoritas terpusat, menurut saya, mengajar akan lebih membebaskan jika dilakoni sebagai tindakan olah pengetahuan. Karena itu ia bersifat diskursif. Artinya, otoritas pengetahuan bersifat menyebar, dinamis, dan fluid sehingga relasi pengajar dan pembelajar tak pertama-tama bersifat hierarki.

Guru lebih memainkan peran sebagai penjelajah yang sudah punya pengalaman lebih dulu, sementara para murid adalah para pendatang baru yang menjadi teman seperjalanan. Sebagai penjelajah yang sudah berpengalaman, guru mengundang para murid pendatang baru itu untuk melangkah bersama dengan dedikasi, optimisme, dan penuh gairah dalam menelusuri medan ilmu pengetahuan berikut tantangan-tantangannya.

Guru menjadi teman sekaligus pelayan bagi murid, sebagai pemandu dalam mengarungi ilmu pengetahuan, yang dilakukanya sebaik dan seoptimal mungkin. Penjelajah berpengalaman tak berpretensi sudah tahu dan paham semua hal–sesuatu yang mustahil dicapai. Pengetahuan dan pemahamannya bisa saja dipertanyakan, bahkan sangat mungkin mengandung kesalahan meski ia sudah memegang pengetahuan itu berpuluh-puluh tahun.

Sebagai pendatang baru murid bukanlah pribadi yang pasif, tak tahu apa-apa dan hanya menurut. Mereka adalah subyek yang aktif dan berkedudukan setara. Hal-hal baru yang bisa ditemukan oleh murid tidak dilihat sebagai ancaman bagi guru, melainkan sebagai kontribusi yang turut memperkaya perjalanan bersama. Setiap kontribusi, baik dari orang yang sudah lama maupun pendatang baru akan menjadi bagian penting dari perjalanan bersama itu dan ia sama-sama berharga.

Baca juga:  Iklan dan Martabat

Sebab, meski pendatang baru, mungkin saja si murid segera bisa melihat hal-hal yang tadinya luput dari pengamatan atau tangkapan guru sebagai penjelajah yang sudah mahir, apalagi setelah waktu dan pengalaman murid terus bertambah. Suara mereka harus didengar, karena medan penjelajahan juga bukan wilayah yang statis, tapi terus bergerak. Semakin banyak penjelajah yang datang, semakin banyak teman seperjalanan, semakin banyak hal bisa tersingkap, semakin banyak pribadi yang bisa mengambil peran dan saling mendukung. Perjalanan pun menjadi semakin semarak, penuh pesona.

Sebagai pendatang baru, para murid tentu perlu serius mendengar dan menghormati para penjelajah yang berpengalaman tanpa harus taklid, mengikut secara buta. Pada saatnya, para pendatang baru itu juga akan menjadi para penjelajah mahir, bahkan mungkin bisa lebih mahir dari orang-orang yang semula menjadi pemandunya, tanpa melupakan jasa-jasa para pendahulu.

Dengan kesadaran bahwa para murid sesungguhnya adalah juga teman seperjalanan, fellow travellers, guru selalu berbagi secara jujur, terbuka dan memberikan yang terbaik dan dengan cara yang paling efektif untuk memastikan perjalanan bersama mereka bermakna. Ia juga akan berpikir tujuh kali jika hendak berpretensi mengetahui apa yang dia sebetulnya tidak tahu, apalagi ‘menipu’ atau memanipulasi pengetahuan yang kemungkinan akan ketahuan juga begitu si murid semakin lama menempuh perjalanan bersamanya.

Baca juga:  Merenungi Makna Hijrah dari Masa Nabi hingga Era Media Sosial

Setelah pada suatu hari si guru tak lagi aktif mengarungi medan pengembaraan dan melihat dari ‘kejauhan’, ia juga akan bangga telah turut berkontribusi dalam penjelahanan yang selanjutnya diteruskan oleh orang-orang yang dulu dipandunya.

Ketika penjelajahan itu semakin jauh dan semakin kaya, ia bisa memandang para penerusnya dan medan yang dulu dikembarainya dengan kebanggaan dan rasa syukur yang kian membesar.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top