Sedang Membaca
Islam dan Hak Asasi Manusia (2): Rasulullah SAW sebagai Representasi Islam dalam Memandang HAM
Aan Afriangga
Penulis Kolom

mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi, Peminatan Jurnalistik, dan Ketua Umum Ikatan Keluarga Mahasiswa Islam (2019-2020) di Universitas Mpu Tantular, Jakarta.

Islam dan Hak Asasi Manusia (2): Rasulullah SAW sebagai Representasi Islam dalam Memandang HAM

Whatsapp Image 2021 09 14 At 23.23.12

Setelah sedikit banyak mengetahui pandangan Islam mengenai HAM. Penulis ingin memfokuskan pandangan tersebut dengan mengaitkannya pada manusia yang patut diteladani sepanjang masa, yakni Rasulullah. Yang disaat bersamaan, dirinya dapat dikatakan sebagai representasi dari Islam, karena pandangan serta praktik hidupnya sangatlah menjunjung tinggi serta menghormati nilai-nilai HAM. Pandangan dan praktik hidupnya itu, dalam konteks pemenuhan HAM, dapatlah kita temui semasa dakwah dan kekhalifahannya berlangsung.

Sebelum lebih jauh, penulis ingin menyambung pembahasan sebelumnya. Kewajiban yang diperintahkan kepada umat manusia di bawah petunjuk Ilahi, dapatlah dibagi ke dalam dua kategori. Pertama huquuqullah dan kedua huquuqul-‘ibad. Huquuqullah atau hak-hak Allah adalah kewajiban bagi manusia terhadap Allah yang diwujudkan dalam berbagai ritual ibadah, seperti dalam rukun Iman atau Islam. Sedangkan huquuqul-‘ibad atau hak-hak manusia adalah kewajiban bagi manusia terhadap manusia lain dan terhadap makhluk ciptaan Allah lainnya (seperti bintang, tumbuhan dan sebagainya).

Yang dimaksud dengan hak-hak Allah, bukan berarti hak tersebut diminta oleh Allah, karena hak itu akan bermanfaat bagi-Nya. Sebab, Allah sendiri berada di atas segala kebutuhan. Juga, bukan berarti hak yang diciptakan oleh Allah ini semata-mata untuk dirinya, karena sejatinya segala hak adalah ciptaan Allah, dan Ia sendiri adalah Maha Pencipta Segalanya. Melainkan, hak-hak Allah ini bertalian dengan hak-hak makhluknya. Dalam arti lain, dapat dikatakan bahwa hak-hak ini (antara hak Allah dan makhluk-Nya) adalah tetap dari Allah semata. Dan manusia, bertanggung jawab atas kedua kategori hak ini di hadapan-Nya kelak.

Maka, jelas kiranya bahwa dalam Islam, tanggung jawab terhadap apa pun yang digenggam manusia terhadap manusia/makhluk lainnya, telah ditetapkan oleh Allah sebagai hak. Sebagai penjelas, konsep HAM yang semula tetap pada Yang Maha Kuasa ini, telah digambarkan dengan jelas oleh Rasulullah dalam hadits yang menyatakan bahwa Allah, kelak pada hari kiamat akan bertanya kepada umat manusia. Hadits ini dapat dilihat pada buku yang telah penulis paparkan sebelumnya: Hak Asasi Manusia dalam Islam (1996), karangan Syekh Syaukat Hussain. Isi hadist tersebut kurang lebih seperti ini:

Baca juga:  Perbedaan Ma’had Aly dan Perguruan Tinggi Islam Lainnya

“Wahai anak-anak Adam, Aku telah memintamu makanan tapi kalian tidak memberi.” Kemudian manusia menjawab, “Ya Allah, bagaimana aku dapat memberi-Mu makan sedangkan Engkau adalah Sang Pelindung semua manusia.” Lalu Allah berfirman, “Hamba-hamba-Ku ada yang telah memintamu makanan tapi kau tidak memberinya makan. Tidakkah kau mengetahui bahwa jika dahulu engkau memberinya makanan, maka engkau akan menemukan makanan itu di sini bersama-Ku? Lanjut firman Allah, “Wahai anak-anak Adam, Aku telah memintamu air tapi kau tidak memberi-Ku?” Lalu manusia menjawab, “Ya Allah, bagaimana aku dapat memberi-Mu air, sedangkan engkau adalah Tuhan Semesta Alam.” Lalu Allah berfirman, “Hamba-hamba-Ku ada yang telah memintamu air tetapi kau tidak memberikannya. Jika kau telah memberinya air, maka kau akan menemukannya di sini bersama-Ku.” (hlm 55)

Ada pun hadits lain yang bertautan dengan HAM, yang juga pernah diungkap Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Rasulullah pernah bersabda, bahwa: “Tahukah kalian orang yang melarat (bangkrut) itu? Kemudian para sahabat menjawab, “Yang bangkrut di antara kami adalah orang yang kehabisan harta dan barang-barang.” Kemudian Rasulullah kembali menjelaskan, “Di dalam umatku, orang yang bangkrut itu adalah orang yang akan menghadap Allah dengan pahala amal-amal shaleh seperti shalat, zakat, dan puasa pada hari akhir kelak, namun kemudian ia bertindak kejam terhadap seseorang dan menyalahi seseorang, merampas harta milik orang lain, menumpahkan darah seseorang dan menyiksa seseorang. Lalu, pahala-pahala dalam amal shaleh itu, akan dibagi-bagikan kepada korban-korban dari tindakannya itu dan ia akan dibebani dengan dosa-dosa mereka, kemudian ia akan dilemparkan ke dalam neraka.” (hlm 56)

Baca juga:  Gerakan Masyarakat Sipil: Asa di Tengah Pandemi Covid-19

“Piagam Madinah” sebagai Upaya Pemenuhan HAM Pertama di Dunia

Selain beberapa hadits yang bertautan dengan HAM sudah dipaparkan, ada hal lain yang juga menunjukan pandangan sekaligus praktik hidup Rasulullah dalam konteks pemenuhan HAM. Bahkan, pemenuhan akan HAM itu sampai menjadi peristiwa yang sangat fenomenal: pembentukan masyarakat baru, yang kemudian menjelma menjadi suatu negara dan pemerintahan, ditandai dengan pembuatan perjanjian tertulis pada 622 Masehi, antara Rasulullah dengan kelompok masyarakat yang berada di Madinah.

Menurut Sukardja dalam Piagam Madinah dan UUD 1945 (1995), perjanjian itu dikenal dengan sebutan Sahifah, atau lebih akrab disebut dengan sebutan “Piagam Madinah” atau “Konstitusi Madinah”. Perjanjian ini, menurutnya memuat undang-undang untuk mengatur kehidupan sosial-politik bersama kaum muslim, non-Muslim, yang menerima dan mengakui Nabi sebagai pemimpinnya sekaligus kepala pemerintahannya. Karena, jika ingin kemerdekaan setiap manusia dapat terjamin, maka diperlukan suatu aturan dalam masyarakat yang mewakili kepentingan masing-masing kelompok masyarakat, dan tentunya harus tetap memperhatikan latar belakang sosial-budaya masyarakat setempat.

Riyanta dalam penelitiannya Nilai-nilai HAM dalam Piagam Madinah (2002) juga menegaskan bahwa banyak ahli sejarah Islam yang menyebut perjanjian ini punya berbagai istilah, misalnya disebut sebagai “piagam” (charter). Penyebutan di sini karena isi dan kandungannya mengakui kebebasan hak untuk beragama dan berkeyakinan, kebebasan berpendapat, dan kehendak umum warga Madinah supaya keadilan dapat terwujud dalam kehidupan mereka, mengatur kewajiban-kewajiban kemasyarakatan dalam semua golongan, menetapkan pembentukan persatuan dan kesatuan bagi semua warga dan prinsip-prinsip untuk menghapuskan tradisi dan peraturan kesukuan yang tidak baik.

Baca juga:  Perihal Penistaan Agama

Sedangkan ahli sejarah Islam lain menyebutnya sebagai “konstitusi” (constitusion). Penyebutan di sini karena isi dan kandungannya terdapat prinsip-prinsip untuk mengatur kepentingan umum serta dasar-dasar mengenai sosial-politik, yang bekerja untuk membentuk suatu masyarakat dan pemerintahan sebagai wadah persatuan penduduk Madinah, yang kita ketahui bersama sangatlah majemuk.

Melalui beberapa hadist dan peristiwa bersejarah tersebut, jelas kiranya menunjukan kepada kita, bahwa Islam yang direpresentasikan Rasulullah, telah membuktikan kehadirannya sebagai agama penyempurna bagi agama lain. Kehadiran Islam juga merupakan suatu upaya untuk melakukan pembebasan terhadap manusia dari berbagai bentuk penindasan terhadap manusia lainnya. Berbagai tradisi hingga budaya masyarakat jahiliyah Arab yang sebelumnya melegitimasi perbudakan, diskriminasi rasial, juga diskriminasi terhadap wanita atas nama iman dalam suatu keyakinan yang keliru (seperti keyakinan terhadap Latta: bentuk feminim dari Allah, yang berarti Dewi Dunia Bawah, dan Uzza: saudara perempuan dari Latta dan Manah, yang berarti Dewi Perang, Perlindungan, dan Penyembuhan; keduanya dipercaya masyarakat jahiliyah Arab sebagai Tuhan dalam bentuk berhala) dikikis habis oleh Islam sejak kedatangannya. Wallahu a’lam bishawab. [*]

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top