Sedang Membaca
Islam dan Hak Asasi Manusia (1): Bagaimana Islam Memandang HAM?
Aan Afriangga
Penulis Kolom

mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi, Peminatan Jurnalistik, dan Ketua Umum Ikatan Keluarga Mahasiswa Islam (2019-2020) di Universitas Mpu Tantular, Jakarta.

Islam dan Hak Asasi Manusia (1): Bagaimana Islam Memandang HAM?

Whatsapp Image 2021 09 14 At 23.39.15

Sewaktu di sekolah dasar dapat dipastikan bahwa kita sudah diajarkan oleh para ‘mursyid’ tentang apa itu hak asasi manusia (HAM). HAM, ringkasnya dapat kita pahami sebagai hak yang melekat dalam diri seseorang, yang tidak dapat dikurangi, dibatasi, bahkan dihilangkan begitu saja oleh orang lain maupun masyarakat yang sistematis (seperti organisasi/lembaga/negara dan sejenis), apalagi jika hal itu dilakukan tanpa alasan dan pertimbangan yang jelas bahkan rasional. Pemberian hak tersebut, dimulai sejak manusia lahir ke dunia hingga menuju liang lahat.

Tetapi, pada kesempatan kali ini, penulis ingin melampaui pengertian ringkas itu. Rasanya kita memerlukan pemahaman yang lebih kontekstual supaya tulisan ini lebih bermakna. Mungkin kita bisa mengontekstualisasikannya dengan diskursus keagamaan: bagaimana Islam memandang HAM? Mengingat, semasa pandemi berlangsung, penulis menemukan temuan berupa riset, yang berasal dari Setara Institute for Democracy and Peace bertajuk Intoleransi Semasa Pandemi yang diterbitkan pada April 2021 silam.

Dalam risetnya, mereka mengatakan di salah satu temuan kunci, bahwa sepanjang tahun 2020, telah terjadi 180 peristiwa pelanggaran terhadap Kondisi Kebebasan Bergama/Berkeyakinan (KKB) di beberapa wilayah Indonesia, berjumlah 442 tindakan. Jika mengkomparasikan dengan tahun sebelumnya, jumlah peristiwa ini menurun tipis. Di mana, pada tahun 2019 hanya terjadi 200 peristiwa pelanggaran KKB, namun dari sisi tindakan melonjak tajam dibandingkan tahun sebelumnya, yang ‘hanya’ berjumlah 327 pelanggaran (Setara Institute, 2021).

Selain itu, jika pembaca yang budiman melihat laporan tersebut secara komprehensif, pembaca akan menemukan bahwa pelaku dalam laporan itu didominasi oleh umat Islam hari ini. Padahal, bukankah jauh sebelum konsep HAM ditemukan di Barat, Islam sudah lebih dahulu menunjung tinggi nilai-nilai tersebut? Jika benar begitu, mengapa pelanggaran HAM dalam kehidupan masyarakat masih sering terjadi?

Berpijak pada laporan di atas, tulisan ini selain bertujuan ingin meninjau kembali terkait konsep, nilai-nilai, pandangan serta praktik HAM bagi umat Islam, terlebih sewaktu Islam berada di bawah kekhalifahan Nabi Muhammad SAW (selanjutnya disebut “Rasulullah”) beserta para sahabatnya. Juga, peninjauan di sini bertujuan untuk mendiskusikannya kembali dalam konteks terkini supaya tulisan ini, dapat berguna sebagai media untuk menciptakan kesadaran yang lebih besar lagi terkait pentingnya pemenuhan HAM dalam kehidupan masyarakat secara luas.

Baca juga:  Menelusuri Keberkahan Satu Abad NU

Sebagai batu pijakan, penulis akan melakukan pelacakan historis: bagaimana isi dan kandungan pada kedua surat dalam kitab suci Al-Qur’an, yakni surat ‘makiyyah’ dan ‘madaniah’ untuk menilai sejauh apa Islam memandang HAM dan seberapa penting HAM tersebut harus dipenuhi.

Al-Qur’an, merupakan kitab suci umat Islam yang berfungsi sebagai pedoman sekaligus petunjuk untuk menjalani kehidupan—baik di dunia maupun di akhirat. Ayat-ayat dalam Al-Qur’an, kita ketahui diturunkan secara bertahap di dua tempat: Mekkah dan Madinah. Kedua tempat itu, tentu memiliki hal khusus terkait isi dan kandungannya. Semisal, isi dan kandungan surat yang diturunkan di Mekkah membahas ketika Rasulullah berada di Mekkah dan belum hijrah ke Madinah. Surat-surat yang turun dalam kota ini, umumnya diawali dengan kalimat, “Yaa ayyuhan nass” (wahai manusia/wahai seluruh manusia), dan berkorelasi dengan persoalan ‘akidah’. Surat ini juga mengandung kisah-kisah umat terdahulu.

Bahkan, dapat dikatakan bahwa surat-surat ini, lebih menyerukan keimanan seseorang kepada Allah. Mudahnya, surat-surat ini lebih berkenaan dengan pembelajaran bagi Rasulullah untuk membentuk kepribadiannya, dasar-dasar akhlak Islamiyah, sifat-sifat dan keesaan Allah, kewajiban sebagai seorang Muslim, pembahasan tentang hari kiamat, dan sebagainya—yang kemudian penulis sebut sebagai surat-surat bernuansa ‘akidah’.

Sedangkan di Madinah, isi dan kandungannya membahas ketika Rasulullah hijrah ke Madinah. Surat-surat ini umumnya diawali dengan kalimat: “Yaa ayyuhalladzina aamanu” (wahai orang-orang yang beriman). Kandungan dalam surat-surat ini juga membahas tentang persoalan hukum serta menceritakan kehidupan orang-orang mukmin, kaum Muhajirin, Anshar, dan sebagainya ketika negara Islam sedang-telah terbentuk. Hal ini kemudian penulis sebut sebagai surat-surat bernuansa ‘syariat’ atau surat yang berkenaan dengan tata kelola pemerintahan Islam.

Baca juga:  Gus Nadir Hilang dari Medsos: Hendak ke Mana Toh, Gus?

Dari pelacakan di atas, dapat disimpulkan bahwa kedatangan Islam tidak hanya untuk mengatur kehidupan manusia secara pribadi, melainkan juga keseluruhan (“bermasyarakat”). Lantaran Allah melihat berbagai pandangan hidup yang keliru, praktik hidup yang menyeleweng, bahkan tercerabutnya hak fundamental manusia—Islam kemudian dihadirkan untuk menghentikan sekaligus menyudahi tindakan yang merubuhkan martabat umat manusia tersebut.

Urgensi Pemahaman HAM Secara Holistis

Selain riset yang telah penulis paparkan, ada persoalan lain yang dirasa urgent untuk kita diskusikan. Yakni perlunya pemahaman terhadap HAM secara holistis, dari salah satu ayat Al-Qur’an, yang berbunyi: “Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan Semesta Alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan hanya demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS. Al-An’am: 162-163).

Dalam surat di atas, terlihat jelas bahwa Islam memerintahkan umatnya untuk mengikuti segala perintah-Nya, selama manusia tersebut berada di dunia. Seluruh tempat, adalah masjid bagi setiap manusia untuk bertindak dalam setiap aspek kehidupannya guna beribadah hanya kepada-Nya. Hematnya, surat di atas mengatakan pada kita bahwa tujuan manusia berada di dunia (dalam Islam), ialah semata-mata untuk beribadah, menghambakan diri, serta patuh hanya kepada-Nya.

Pernyataan demikian, bagi sebagian orang mungkin dapat dipahami bahwa manusia (dalam Islam), tidak memiliki hak-hak selain kewajiban-kewajiban semata. Akan tetapi, pandangan ini dapat keliru. Karena, menurut penelitian yang dilakukan A.K Brohi yang termaktub dalam buku Hak Asasi Manusia dalam Islam (1996), karangan Syekh Syaukat Hussain, ia mengatakan bahwa, “Dalam totalitas Islam, kewajiban manusia kepada Allah mencakup juga kewajibannya kepada setiap individu yang lain. Maka, secara paradoks, hak-hak setiap individu itu dilindungi oleh segala kewajiban di bawah hukum Ilahi. Sebagaimana suatu negara secara bersama-sama dengan rakyat harus tunduk kepada hukum, yang berarti negara juga harus tunduk melindungi hak-hak individual.” (hlm 53-54)

Baca juga:  Gaya Hidup di Pesantren

Berangkat dari penjelasan di atas, Brohi ingin mengatakan bahwa ajaran Islam, tidak hanya untuk memenuhi aspek ‘akidah’-nya saja, tetapi ada hal lain yang juga dirasa penting, yakni terpenuhinya aspek ‘syariat’ dalam kehidupan masyarakat. Dalam konteks negara, melalui hukum dan sistem politik yang berlaku, pihak yang bertanggung jawab untuk melaksanakan ‘syariat’ ini adalah para pemangku kebijakan, aktor negara, fungsionaris dan sebagainya, demi terciptanya kehidupan yang bebas dari pelanggaran HAM.

Sebenarnya, jika ingin menarik hal ini lebih jauh. Petunjuk Ilahi yang berkenaan dengan hak dan kewajiban tersebut, telah disampaikan oleh Allah kepada umat manusia semenjak manusia itu berada. Semisal, diutusnya manusia pertama ke dunia, yakni Nabi Adam. Hal ini menyiratkan sesuatu kepada kita, bahwa Allah telah jauh-jauh waktu memberi petunjuk. Namun, ketika manusia lupa dengan petunjuk yang sudah disampaikan, Allah mengutus nabi dan rasul-Nya untuk mengingatkan kita kembali akan keberadaan-Nya.

Alhasil, Rasulullah diutus ke dunia untuk menyampaikan dan memberikan suri tauladan yang sempurna kepada umat manusia, juga seluruh zaman sesuai dengan ketentuan Allah. Melalui hal ini, cukup jelas kiranya, bahwa menurut pandangan Islam, konsep HAM bukanlah hasil evolusi dari pemikiran manusia, melainkan hasil dari wahyu Ilahi yang telah diturunkan ke dunia melalui nabi dan rasul-Nya, yang dimulai sejak manusia itu berada di atas bumi. Atau dalam arti lain, Islam memandang HAM sebagai sesuatu yang penting dan harus diterapkan pula dalam kehidupan “bermasyarakat”. Wallahu a’lam bishawab. [*]

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top