Sedang Membaca
Paradoks Manusia dan Pilihan-Pilihannya
Anggi Afriansyah
Penulis Kolom

Santri di Pondok Pesantren Cipasung, Jawa Barat (2002-2005). Ia menyelesaikan strata satu (S1) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraaan di Universitas Negeri Jakarta (2005) dan kemudian melanjutkan strata dua (S2) di Departemen Sosiologi Universitas Indonesia (2014). Sekarang bekerja sebagai Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.

Paradoks Manusia dan Pilihan-Pilihannya

Science has eliminated distance, Melquiades proclaimed. In a short time man will be able to see what is happening in any place in the world without leaving his own house (Gabriel Garcia Marquez, One Hundred Years of Solitude, 1970).

Teropong Marquez dalam novelnya yang fenomenal tersebut sangat relevan dengan kondisi kekinian. Dunia fiksi memang menarik, imajinasi pengarang tentang dunia yang dibayangkan melaju lebih awal dibanding dengan situasi faktual. Namun demikian, manusia selalu punya akal dan kemampuan untuk mewujudkan segala imajinasi dalam waktu cepat ataupun lambat. Internet adalah perwujudan dari bayangan Marquez puluhan tahun lalu.

Saat ini, manusia di berbagai belahan dunia dapat terkoneksi dengan teknologi internet. Di situasi pandemi saat ini misalnya, kita masih tetap bisa bekerja dan belajar dari rumah karena kecanggihan dari teknologi internet. Berbagai aplikasi semacam Zoom, Google Meet, Skype, WhatsApp, dan perangkat lainnya memungkinkan kita tetap bisa berkomunikasi walau terpisah jarak membentang.

Selain itu, oleh kecanggihan teknologi itu, kita tetap dapat terkoneksi dengan beragam informasi, tetap bekerja, belajar, juga berinteraksi secara virtual tanpa harus keluar rumah dari rumah. Duduk manis di depan layar laptop atau gawai masing-masing, klik, dan kita terhubung dengan dunia global. Dalam urusan yang bersifat transendental, soal-soal keagamaan, salah satu contohnya pengajian-pengajian via daring semakin mendapat tempat di hati umat. Dunia modern yang berlari cepat  ternyata membuat rasa haus umat tentang kajian-kajian yang menenangkan hati, yang disampaikan oleh sosok yang otoritatif di bidang keagamaan.

Prasyarat utamanya adalah kepemilikan gawai, kuota dan koneksi internet. Teknologi informasi dan telekomunikasi, yang diciptakan manusia, adalah salah satu bentuk penemuan terbaik yang memudahkan hidup manusia.

Upaya untuk memperbaiki

Manusia sampai saat ini selalu berhasil menaklukkan hidup yang keras dan mencari berbagai cara untuk membuat aktivitas menjadi lebih mudah,  menemukan berbagai penemuan dan memproduksi teknologi untuk mendukung kelancaran hidupnya. Dalam sejarah masyarakat muslim misalnya kita dapat mempelajari betapa banyak tokoh muslim yang begitu jenius dan memperkaya khasanah intelektual dunia seperti Ibnu Khaldun, Imam Ghazali, Ibnu Sina, Al Jabar, dan banyak lainnya.

Baca juga:  Kompleksitas Humor Gus Dur

Salah satu bukti bahwa manusia selalu memiliki hasrat untuk memperbaiki kehidupan diceritakan oleh Harari di buku best sellernya Sapiens (2017). Pada abad 19 dokter-dokter terbaik belum dapat mencegah infeksi dan pembusukan jaringan, sehingga setiap ada prajurit yang terluka biasanya dokter akan mengamputasi tangan atau kaki mereka untuk mencegah infeksi. Pada masa itu, menurut Harari, belum ditemukan obat bius, sehingga tukang kayu dan jagal berperan untuk mengamputasi para tentara yang terluka tersebut.

Ada juga periode di mana anak-anak tidak mudah mencapai usia dewasa karena angka harapan hidup sangatlah rendah. Pada masa itu, sebut Harari, banyak anak-anak yang terbunuh akibat difteri, campak, dan cacar api. Kemajuan kedokteran belum memadai untuk menjawab berbagai soal tersebut.

Namun, selama 500 tahun terakhir, sebut Harari, sains modern telah mencapai berbagai hal menakjubkan berkat kesediaan pemerintah, bisnis, lembaga, dan donatur pribadi yang menyalurkan milyaran dollar untuk penelitian saintifik. Berbagai jenis obat ditemukan dan dapat menanggulangi berbagai wabah yang menyerang manusia. Melihat kondisi tersebut, tentu kita berharap dalam waktu dekat vaksin untuk Covid-19 dapat segera diproduksi dan didistribusikan.

Sisi profetik dan sisi kelam

Manusia punya sisi yang amat kelam dalam mempercepat kerusakan bumi. Pada beberapa abad lalu, Jean-Jacques Rousseau dalam Emile, or Education (1762) menulis “He forces one soil to yield the products of another, one tree to bear another’s fruit. He confuses and confounds time, place, and natural conditions. He mutilates his dog, his horse, and his slave. He destroys and defaces all things; he loves all that is deformed and monstrous; he will have nothing as nature made it, not even man himself, who must learn his paces like a saddle-horse, and be shaped to his master’s taste like the trees in his garden.” Manusia memang memiliki kecenderungan buruk untuk mengeksploitasi alam, terbukti dalam berbagai kerusakan di bumi diakibatkan oleh ulah manusia.

Baca juga:  Ibnu Khaldun sebagai Politikus

Dalam perspektif teologis Islam, dalam surat Ar Ruum ayat 41 juga disebutkan “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”. Keserakahan dan kerakusan manusialah yang membuat bumi tidak lestari dan semakin cepat menuju kehancurannya. Kerusakan alam yang menyebabkan bencana alam seperti banjir, kebakaran hutan, longsor, dan bencana lainnya misalnya, dalam jangka beberapa tahun ini semakin meningkat intensitasnya.

Tetapi di sisi lain manusia pula lah yang memiliki kapasitas untuk membuat keseimbangan bumi terjadi. Manusia jua yang menemukan berbagai penemuan untuk membuat hidup di bumi menjadi lebih baik. Kontradiksi tersebut akan terus menerus ditemui dalam narasi kehidupan di dunia. Ada sisi profetik yang menyeru kepada kebaikan, tetapi juga ada sisi iblis yang membius manusia untuk selalu tamak untuk mengeksploitasi bumi. Paradoks yang bersisian dalam diri manusia.

Di kalangan umat Islam isu lingkungan misalnya sudah menjadi salah satu fokus perhatian. Tokoh NU seperti Gus Mus misalnya merupakan sosok yang secara konsisten menyerukan agar umat memiliki perhatian terhadap isu-isu lingkungan. Bahkan Gus Mus aktif mendampingi masyarakat dalam melawan pengrusakan lingkungan.

Dalam Muktamar NU di Cipasung Tasikmalaya juga disebutkan bahwa pencemaran lingkungan baik dalam konteks tanah, air, udara, jika menimbulkan kerusakan (dlarar) maka hukumnya diharamkan dan Tindakan tersebut termasuk perbuatan criminal (jinayat) (Setyawan, 2018).

Baca juga:  Pejalan Malam: Teruntuk Ibu

Pada Muktamar NU ke-29 tanggal 1-5 Desember 1994 tersebut, para ulama dan kiai NU menegaskan Sumber Daya Alam dan lingkungan hidup bukan semata soal politik atau ekonomis, tetapi juga masalah teologis (diniyah) (Huda, 2014).

Kuatkan solidaritas

Pandemi Covid-19 tentu saja menimbulkan luka mendalam karena begitu banyaknya korban yang jatuh, sebab angka kematian tersebut bukan sekadar statistik tetapi tentang orang-orang tercinta yang meninggalkan kita karena terserang virus. Kisah menyedihkan terakhir adalah lebih dari 100 dokter yang gugur sebagai syuhada ketika memerangi Covid-19.

Meski demikian,  pandemi Covid-19 membuat manusia untuk menahan diri, tidak rakus, dan mengedepankan sisi kemanusiaan dan solidaritas. Meski tidak dapat dipungkiri, sisi terburuk manusia pun muncul pada situasi krisis saat ini. Momen ini adalah saat yang tepat untuk tetap berjabat erat dan bekerjasama untuk mencari solusi terbaik.

Peran lembaga keagamaan misalnya menjadi sentral. Sejak awal virus Covid-19 menyebar di Indonesia, dua organisasi besar di negeri ini, NU dan Muhammadiyah, aktif menggalang solidaritas untuk bersama-sama memerangi situasi yang terjadi karena Covid-19. Kedua ormas bersejarah tersebut aktif melakukan sosialiasi dan edukasi ke masyarakat, menjadi sukarelawan Covid-19, hingga memberikan pelayanan di rumah sakit membantu pemerintah memerangi Covid-19 (kompas.id, 19/3).

“Badai ini akan berakhir, tetapi pilihan-pilihan yang kita buat akan mengubah hidup kita di tahun-tahun yang akan datang”, sebut Harari dalam artikel The World After Coronavirus (2020) dalam website Financial Times. Sebagai khalifah di muka bumi, Pilihan memang tetap di tangan manusia, sosok yang penuh paradoks. Sikap welas asih terhadap sesama manusia dan bumi, mungkin, dapat menjadi mengikis sisi kelam dari manusia.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top