Sedang Membaca
Manusia dan Tuhan (3): Refleksi atas Manusia dan Kebebasan Memilihnya
Rojif Mualim
Penulis Kolom

Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta.

Manusia dan Tuhan (3): Refleksi atas Manusia dan Kebebasan Memilihnya

Whatsapp Image 2021 04 20 At 21.34.31 (1)

Jaspers pernah berkata bahwa hubungan manusia dengan Tuhan bukanlah sifat yang terberi oleh alam. Karl Jaspers adalah seorang filsuf Jerman paling penting pada abad kedua puluh. Ia mengatakan bahwa hubungan itu ada ketika ada kebebasan. Kebebasan timbul pada diri manusia ketika manusia melangkah kepada dirinya sendiri, di mana ia benar-benar bebas dari dunia, karena ia memiliki Tuhan. Bagi Jaspers, Tuhan memiliki derajat yang sama dengan eksistensi dirinya, yaitu manusia itu sendiri.

Kebebasan ini memberikan sebuah ruang bagi cinta, demi terciptanya kesuburan dalam berbagai bentuk, sebagai manifestasi iman. Artinya, ketika manusia telah memiliki kebebasan maka pula manusia berarti tak memiliki juga sebuah batasan demi mengungkapkan cintanya pada sang kekasih, kira-kira begitu. Sementara itu apakah Tuan dan Puan sadar bahwa siapa makhluk yang diciptakan Tuhan yang paling istimewa?

Asal Tuan dan Puan benar-benar menyadarinya, bahwa mkhluk yang paling istimewa adalah manusia, betapa tidak, manusia adalah satu-satunya makhluk yang diberi Tuhan kebebasan memilih, sebagaimana amanat yang tidak sanggup diemban oleh langit, bumi gunung dan sebagainya. Inilah, barangkali juga menjadi sebuah sebab diberikannya tugas yang amat berat yang Tuhan yaitu menjadi kholifah di muka bumi ini, sebab, sebagai kholifah berarti juga menjadi seorang wakil Tuhan di muka bumi.

Dalam hal ini, kebebasan memilih yang dimilik oleh seorang manusia melahirkan berbagi pandang oleh kaum Jabariyah, Asy’ariyah, bahkan juga para sufi ikut memberikan argumen. Ada yang meyakini kebebasan ini ada pula yang tidak. Misalnya jabariyah, kaum ini tampaknya tidak meyakini kebebasan ini, yang ia yakini bahwa semua jalan kehidupan kita sudah ditentukan oleh seorang dalang, erbukti bahwa kaum Jabariyah ini pernah mengatakan kebabasan memilih yang kita miliki hanyalah semu.

Baca juga:  Dhawuh Kiai Haji Salahuddin Wahid

Misalnya lagi kaum Asy’ariyah, kaum ini meyakini ada jenis tindakan dimana manusia harus memiliki ikhtiyar atau dalam istilahnya daya memilih, tetapi menurut kaum ini, sebuah daya memilih ditentukan ketika manusia telah pilihan dilakukan. Jadi, sama saja Dia atau Tuhan yang menciptakan daya tersebut.

Terlepas dari itu, ada filsuf yang amat populer sepanjang masa yaitu Jalaluliddin Rumi. Pengarang kitab Fihi Ma Fihi itu meyakini bahwa kebebasan memilih bagi manusia adalah real adanya, bukan hanya semu. Rumi berpandangan bahwa, tidak masuk akal bilamana manusia tidak mempunyai kehendak atau pilihan bebas, karena Tuhan memerintahnya dan melarangnya dalam banyak hal.

Okelah, begini, mari kita coba analisa bersama. Coba ingat, apakah Tuan dan Puan pernah marah, kecewa, gelisah, nangis, tertawa? pastilah itu semua, tidak hanya Rumi, saya pun meyakini bahwa semua itu adalah kebebasan-kebebasan yang diberikan oleh Tuhan untuk manusia.

Lalu, ketika ada pertanyaan bagiamana dengan takdir manusia?

Maka, kita bisa mengambil lagi apa yang telah diungkapkan oleh Rumi, bahwa konsep takdir menurutnya tidak lain daripada hukum kehidupan. Takdir bukanlah kita dipaksa untuk mencuri uang negara (korupsi) ataupun berbuat baik pada semuanya. Melainkan Rumi memandang bahwa takdir adalah akibat dari mencuri itu melahirkan konsekuensi yang tidak dapat diubah, inilah kemudian menurut Rumi dikatan sebagai takdir Tuhan.

Baca juga:  Merayakan Natal Bersama Gus Dur

Maka boleh dikatakan, inilah takdir yang tak dapat diubah oleh siapapun sekaligus inilah pilihan yang ditawarkann kepada manusia untuk kemudian menggunakan kebebasan memilihnya, yaitu berupa hukum kehidupannya. Jadi, bisa kita lihat bahwa takdir sebagai hukum kehidupan, tidak bertentangan dengan konsep kebebasan memilih.

Jadi, bisa kita simpulkan, bahwa kebebasan memilih ini menurut Rumi adalah karunia Tuhan yang harus kita emban dengan penuh tangungjawab. Sebab, bagaimana pun kebebasan memilih ini hanya diberikan oleh Tuhan untuk manusia, sebab makhluk lainnya diangap tidak mampu mengemban amanat ini. Maka sekali lagi hal-hal yang berkaitan dengan kebebasan memilih dan takdir Tuhan tidak boleh dipertentangkan seperti apa yang telah dikatakan oleh Rumi ketika menanggapi keyakinan kaum Jabariyah dan Asy’ariyah.

Nah, kalau kebebasan memilih yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada manusia itu kita refleksikan pada kehidupan, kira-kira begini. Coba bayangkan bila setiap manusia mementingkan egonya masing-masing seperti misalnya dengan berebut dan memaksakan kehendak atau ide-idenya harus diterima dengan paksa. Coba kira-kira apa yang akan terjadi? Pastilah keributan dan kesemrawutan kehidupan atau bahkan kehancuran yang akan terjadi, dan satu-satunya yang dapat meredam sekaligus menciptakan kedamaian kehidupan adalah dengan sebuah peraturan.

Misalnya, peraturan ini kita tuangkan pada suasana sekarang ini, suasana di mana pandemi Covid-19 melanda di seluruh dunia. Bagaimana jika peratutan dalam rangka mengatasi bencana ini tidak ada, pastilah manusia akan dengan seenaknya melakukan hal apapun dengan kebebasannya dimiliki itu. Hasilnya, tidak lain adalah semakin parahnya bencana pandemi ini.

Baca juga:  Belajar Stoikisme untuk Menghadapi Problematika Kehidupan di Pesantren

Terlepas adanya perarutan saja, bisa kita lihat bersama, masih begitu banyak manusia yang lali dan tenggelam dalam kebebasan mereka, mereka tidak taat dengan peraturan yang justru sebenarnya peraturan itu menyelamatkan manusia sendiri. Itulah kalau boleh saya bilang kebebasan-kebebasan tanpa tanggung jawab.

Seharusnya manusia, meski dalam kebebasannya, harus tetap ingat dengan kondisi, jika peraturan dalam penanganan bencana tidak dilakukan dengan baik dan bertanggung jawab, walhasil akan menghacurkan diri sendiri dan seluruh makhluk lainnya.

Seperti misal selalu menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan, dan melakukan vaksinasi atau hal-hal yang berkaitan dengan peraturan dalam penanganan bencana yang sudah ditetapkan.

Sebagai penutup, inilah kiranya kita sebagai manusia harus tetap mengingat bahwa “kebebasan itu selalu satu paket dengan tanggung jawab”. Semoga kita selalu ingat dan bertanggung jawab atas anugerah kebebasan itu. Semoga.

Wallahu a’alam…

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top