Sedang Membaca
Tentang Orang yang “Ndalan”: Mengurai Pidato Sri Sultan HB X

Direktur The Heritage Society, Jakarta. Peneliti lepas. Tinggal di Jakarta

Tentang Orang yang “Ndalan”: Mengurai Pidato Sri Sultan HB X

Sultan1

Raja saya, yang juga Gubernur DIY, Sri Sultan HB X menyampaikan pidato resminya tentang fenomena aktual berjangkitnya virus Corona (Baca: Covid-19). Pidato yang sejujurnya membuat saya senang dan bangga. Bukan tentang teks dan konteksnya, tetapi terutama, bagaimana ia bisa memadukan posisinya sebagai seorang gubernur sekaligus raja.

Ia penguasa tradisi, sekaligus pemimpin pemerintahan. Sesuatu yang tak bakal mungkin dilakukan pemimpin mana pun di Indonesia saat ini. Bagaimana ia menggunakan simbol-simbol kejawaannya untuk memahami dan menghadapi situasi absurd yang terjadi saat ini.

Apa yang ia sebut sebagai suasana “tidha-tidha” yang penuh rasa was-was dan sulit diramal. Barangkali beliau ingin menyitir apa yang disebut pujangga Ranggawarsita sebagai Zaman Kalatidha. Bukan dengan tata cara teknis, saran njangan  (memasak) lodeh misalnya (yang ramai beredar di medsos pekan lalu). Tetapi lebih pada bagaimana memaknainya secara lebih modern dan kekinian, namun dengan cara pandang dan sifat-sifat dasar kebaikan manusia Jawa.

Momentum pidatonya sendiri diistilahkan dengan sangat indah sebagai sapa aruh, bukan tegur sapa yang sekedar sopan santun belaka. Sapa aruh lebih dalam lagi, menyapa, memberi perhatian, sekaligus ngaruhke, mempengaruhi atas dasar respect.

Sapa aruh adalah sikap dan tugas raja untuk menghormati sekaligus mencintai rakyatnya. Sesuatu yang diwakilkan dengan banyak tuntunan filosofis Jawa (bukan peribahasa), yang sudah terlalu lama tersimpan dalam laci berdebu yang terkunci.

Baca juga:  Potret Perjuangan Ulama (6): Kisah Para Imam "Menghabiskan" Hartanya

Saya mencatat minimal ada empat aporisma Jawa yang ia kutip dalam pidato pendeknya itu. Kontekstual dengan situasi kekinian, yang memang sangat menjengkelkan itu. Sebagian diberi penjelasan, namun sebagian dibiarkan menggantung tanpa penafsiran.

Tugas saya, barangkali, untuk menjabarkannya.

Pertama, wong sabar rejekine jembar, ngalah urip luwih berkah. Ungkapan ini sebagai reaksi terhadap di satu sisi sikap panik masyarakat “kelas atas” yang main borong dan timbun ini itu kebutuhan pokok. Namun di sisi lain, terdapat banyak juga yang ngeyel dan arogan menantang pandemik ini. Seolah semuanya hanya berhenti pada kata Tuhan.

Kedua kelompok ini sejatinya punya sifat sama: tidak punya kerendahan hati, apalagi mengalah demi kebaikan bersama. Tanpa tenggang rasa, tidak ada tepa slira.

Kedua, kêsandhung ing râtâ, kêbêntus ing tawang. Makna harafiahnya, terkadang kita tidak sadar dengan resiko saat terlena dengan perasaan nyaman, kemewahan, suka cita dengan meninggalkan kewaspadaan dan hati-hati. Bagi kedua jenis manusia di atas, tanpa mereka sadari justru kesialan lah yang akan lebih cepat menghampiri.

Keserakahan, ketidakpedualian, arogansi, paling merasa benar, bal bla bla. Ini sejenis ajaran Buddhisme, yang menjadi favorit saudara-saudara kita suku Tionghoa: Saat kau berbuat baik, memang rejeki belum datang namun musibah sudah menjauh. Saat kau berbuat jahat, memang musibah belum datang, namun rejeki sudah menjauh.

Baca juga:  Oppenheimer, Bom Atom, Bhagavad Gita, dan Agamanya

Ketiga, datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan. Hal ini sesungguhnya peringatan bagi siapa pun yang sulit menerima kenyatan bahwa musibah itu ada, cepat atau lambat akan menghampiri. Lepas bahwa seumur hidup kita senantiasa berbuat baik, musibah tetap akan datang. Apalagi kalau sebaliknya.

Makna aporisma ini adalah jangan marah bila musibah menimpa diri dan jangan sedih bila kehilangan sesuatu. Bagi orang Jawa musibah selalu dianggap short cut Tuhan untuk mendewasakan umatnya. Yang dalam bahasa agama sering disebut sebagai meninggikan derajatnya.

Keempat, Gusti paring dalan kanggo uwong sing gelem ndalan. Wong ndalan bila diterjemahkan secara bebas bisa menjadi salah arti sebagai orang jalanan. Tapi bukan itu yang dimaksud. Wong ndalan adalah orang yang bila mengutip salah satu frasa Surat Al Fatihah: shiratal mustaqim, mereka yang teguh mengikuti jalan yang lurus.

Sebuah teks yang sangat kontekstual sekali. Sebuah sindiran yang sangat tajam. Bahwa sekali pun gaya hidup beragama di hari-hari ini seolah meningkat tajam, namun sesungguhnya gagal total memaknai pada intinya yang paling dasar.

Wong (sing) ndalan. Saya pikir adalah sebaik-baik manusia dalam pilihan bahasa yang paling sederhana dan ringkas. Tentu saja mereka yang di hari ini bukan saja langka, tapi nyaris punah.

Baca juga:  Menelusuri Jejak Gus Dur di Tegalrejo (1957-1959)

Pengin ndalan lali dalane (Ingin menyusuri jalan yang lurus, namun lupa arah jalannya). (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top