Sedang Membaca
Manusia dan Tuhan (2): Refleksi atas Manusia Sebagai Cermin Tuhan
Rojif Mualim
Penulis Kolom

Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta.

Manusia dan Tuhan (2): Refleksi atas Manusia Sebagai Cermin Tuhan

Whatsapp Image 2021 04 20 At 21.34.31

Manusia mengandung seluruh unsur alam semesta, dan alam semesta sendiri memantulkan seluruh sifat-sifat ilahi, maka dengan ini boleh jadi benar bahwa manusia adalah cerminan Tuhan. Mulyadi Kartanegara (2009) menjelaskan bahwa manusia hanya baru secara potensial saja dapat mencerminkan sifat-sifat Tuhan, karena pencerminan itu baru bisa secara aktual dicapai hanya pada manusia yang dapat mengaktualkan seluruh potensi kemanusiaanya yang telah diberiknya oleh Tuhan yaitu ketika manusia bersangkutan mencapai tingkat insan kamil atau manusia paripurna.

“Barang siapa yang mengenal dirinya maka akan mengenal Tuhannya.”

Cermin mungkin saja bermakna subjektif, kedudukan cermin adalah sama dan sejajar, ini juga berarti bahwa sempurna tidaknya sebuah cermin maka tergantung sejauh mana ia dapat memantulkan kesempurnaan subjek sesungguhnya, yaitu Tuhan.

Saya jadi teringat apa yang telah dikatakan oleh Ibn ‘Arabi, bahwa manusia diciptakan berdasarkan apa mau Tuhan kepada manusia, bukan berdasarkan apa maunya manusia pada dirinya sendiri. Selain itu Ibnu ‘Arabi mengutip banyak ayat dan hadis, sehingga ia beranggapan bahwa manusia bukan hanya sebagai mikrokosmos saja melainkan sebagai cermin Tuhan.

Hadis yang ia kutip begini “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam berdasarkan shurah-Nya”. Dalam hal ini, Allah sendiri memerintahkan para makhluknya untuk sujud kepada Adam, sebagaimana disebut dalam Q.S al-Baqarah [2]:34. Ini berarti juga, Allah juga menyatakan sendiri telah memuliakan anak-anak cucu Adam, sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. al-Isra’ [17]:70.

Kalau melihat bahwa manusia dipilih sebagai respresentatif (khalifah) di muka bumi maka sudah cukup jelas dan menjadi bukti, bahwa seorang manusia lebih dari sekedar makhluk, roh yang ditiupkan atau diinstalkan pada tubuhnya paling tidak adalah ada unsur Tuhan atau yang biasa kita sebut sebagai lahut, ini bisa di dasarkan pada ayat yang artinya “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kejadiannya, dan telah meniupkan ked dalamnya roh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan sujud”. (Q.S. al-Hijr [15]:29).

Baca juga:  Seri Filsafat tentang Makna Hidup

Dalam konsep wahdatul wujud, Ibnu Arabi juga menyatakan bahwa wujud sejati itu sesungguhnya hanya satu yaitu Allah. sedangkan alam ini adalah sekedar dari manifestasi (tajalliyat) dari wujud yang sejati itu. Hubungan Tuhan dengan alam digambarkan lewat wajah dengan gambar, wajah itu muncul dari sejumlah cermin.

Apa itu Tajalli?

Tajalli adalah salah satu istilah yang amat populer di kalangan pembaca dan peneliti tasawuf. Tajalli berasal dari bahasa Arab yang biasa kita artikan dengan manifestasi. Manifestasi sendiri berarti penampakan atau perwujudan dari sesuatu yang tampaknya tidak terlihat.

Hematnya begini, jika ada yang menampakkan siapa dirinya dalam suatu media tertentu, media tersebut maka dikatakan dengan manifestasi atau tajalli. Misalnya begini, kalau Tuan dan Puan ingin menemukan atau melihat tubuhnya, maka paling mudah adalah bisa dengan menemukan penampakan diri kita melalui sebuah cermin yang berada di hadapan kita.

Tajalli berarti cermin, ketika berbicara mengenai manusia sebagai cermin Tuhan, maka dalam hal ini bisa difahami, bahwa Tuhan itu ibarat harta karun yang tersembunyi dengan sangat rahasia, tapi Dia tidak menikmati persembunyian-Nya tanpa mengenalkan-Nya.

Oleh sebab itu, meski Dia tetap di persembunyian diri-Nya, di mana tak satu pun dapat menemui-Nya, agar Dia tetap bisa mngenalkan pada seluruh ciptaan-Nya, Dia menciptakan cermin sebagai media untuk siapa saja mau menyaksikan-Nya.

Baca juga:  Mengenal Para Mufasir Indonesia

Cermin itu Allah mulai dari menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya. Langit dan bumi beserta isinya adalah cermin besar yang menampakkan diri Tuhan, dan ini juga termasuk pada menciptakan manusia. Kira-kira begitu.

Saya jadi teringat dengan tajalli menurut Abd al-Karim al-Jili (W. 1462) dalam bukunya yang tersebar luas, bahwa al-Jili menjelaskan tiga manifestasi (tajalliyat) yang dapat dipantulkan manusia dari Tuhan, yakni Tindakan-tindakan (af’al), nama-nama (asma’), dan sifat.

Singkatnya begini, pertama tajalliyat af’al yaitu tentang manusia yang dapat mencerminkan tindakan-tindakan Tuhan, maka berlaku pada dirinya adalah tindakan-tindakan Tuhan, sedangkan ia sendiri telah tercerabut dari semua daya, upaya, dan karsa dirinya sendiri.

Kedua berkaitan dengan tajalli asma’, bahwa manusia sebagai cermin dari nama-nama Allah. ini terjadi ketika nama-nama tertentu dari Tuhan tercerap oleh manusia dan menggantikan namanya. Kalau hal ini terjadi pada sesorang, maka menurut al-Jaili terhapuslah nama orang itu, dan digantikan oleh salah satu nama Tuhan. Pada saat itu terjadi, maka kesadaran diri seseorang hilang dan digantikan oleh kesadaran akan kehadiran Tuhan, “maka aku dan Dia menjadi lebur.”

Ketiga yakni manusia sebagai tempat ber-tajalli sifat-sifat Tuhan. Al-Jili mengatakan, “Apabila sifat Allah ber-tajalli  pada diri hamba, maka hamba tersebut berenang dalam falak sifat tersebut. Kalau sifat ilmu Tuhan yang ber-tajalli pada diri hamba, maka ia akan mengetahui objek-objek ilmunya itu secara komprehensif dari awal sampai akhir. Ia akan mengetahui dari sudut kualitasnya, bagaimana keberadaannya, bagaimana akan jadinya, bagaimana keberadaanya.

Baca juga:  Santri Membaca Zaman (1): Kamera, Sastra, dan Fotografi

Sampai disini, kiranya boleh saya sedikit menyimpulkan, bahwa ketika manusia sudah dianggap sebagai cerminanan Tuhan, menjadi manusia yang taat dan bersyukur atas nikmatnya adalah hal yang wajib.

Betuk paling utama dalam pengungkapan rasa syukur itu adalah menyesuaikan seluruh perilakunya dengan apa-apa yang telah digariskan-Nya. Seperti misalnya, selalu meberi kasih sayang dengan menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan kepasa sesama manusia maupun seluruh alam.

Jadi, hal-hal seperti mencinta sesama, membela kaum tertindas, memelihara fakir miskin dan menentang segala bentuk kezaliman, itu semua merupakan hal yang baik dan penting untuk tetap dilaksanakan sebagai tugas manusia. Apalagi di dalam ranah suasan pandemi covid-19 yang sedang melanda ini. Itu semua adalah sebagai bentuk cerminan Tuhan.

Untuk menyadari bahwa manusia adalah cerminan Tuhan maka langkah selanjutnya adalah seperti manusia harus senantiasa sadar dan bangkit dari kesadaran, jangan terlalu lelap dalam gemerlapnya dunia, terlalu cinta dunia dan diri, karena sikap-sikap demikian adalah sikap yang jauh dari sifat Allah Swt.

Sebagai penutup, bahwa yang harus tetap kita ingat betul adalah sebagai cermin Tuhan, maka kesempurnaan atau kualitas cermin itu sangat tergantung sejauh mana ia dapat memantulkan kesempurnaan subjek sesungguhnya, yaitu Tuhan. Sehingga manusia yang mampu mengoptimalkan cermin tersebut akan memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh Allah Swt. Mari dan Semoga.

Wallahu a’lam…

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top