Sedang Membaca
Populisme Politik, Pelajaran dari Inggris
Munawir Aziz
Penulis Kolom

Kolumnis dan Peneliti, meriset kajian Tionghoa Nusantara dan Antisemitisme di Asia Tenggara. Kini sedang belajar bahasa Ibrani untuk studi lanjutan. Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom.

Populisme Politik, Pelajaran dari Inggris

Dinamika politik di Inggris memberi pelajaran penting tentang bagaimana populisme politik bekerja. Boris Johnson akhirnya resmi menjadi Perdana Menteri Inggris, menggantikan Theresa May yang mengundurkan diri di tengah arus perdebatan Brexit serta dinamika politik di kawasan Eropa. Boris Johnson memenangi duel politik dengan strateginya yang mendesak pemberlakuan Brexit (British Exit), agar Inggris segera keluar dari Uni Eropa.

Dengan retorika politiknya, Boris Johnson dibenci sekaligus dipuji. Ia menggaet dukungan dari lapisan-lapisan penduduk di kawasan Inggris Raya, yang tertarik dengan isu-isu politik yang ia gencarkan. Alexander Boris de Pfeffel Johnson, menggunakan imajinasi sebagai politisi zaman klasik roman republik, seraya menunggangi arus populisme politik.

Sebagai seorang politisi, Boris Johnson dengan cerdik menggunakan isu-isu populisme serta menjadi perdebatan di antara warga Inggris maupun publik Eropa. Dengan latar belakang sebagai jurnalis dan sejarawan, Johnson sangat piawai memainkan retorika serta bertarung dalam perdebatan isu-isu politik strategis. Dalam kampanye politiknya, ia menggunakan isu Brexit, Uni Eropa, asuransi kesehatan, imigran dan isu-isu ekonomi-kesejahteraan untuk mendulang simpati publik.

Meski, dalam beberapa kasus, Boris Johnson juga menuai hujatan dari pelbagai penjuru. Misalnya, ketika ia mencela seorang perempuan yang memakai burqa (penutup wajah) sebagai ‘bank robbers’ (perampok bank) dan ‘letterboxes’ (kotak surat). Ia dikecam kelompok-kelompok agama, akibat pernyataan kontroversial yang membuatnya dianggap sebagai politisi yang gencar kampanye islamophobia dan bernuansa antisemit.

Namun, yang jelas, Boris Johnson piawai memainkan isu serta mengeksplorasi dukungan politik Partai Konservatif untuk memenangi pertarungan. Seiring meningkatnya isu populisme politik di pelbagai belahan dunia, yang ditandai dengan kepemimpinan Donald Trump, Jair Bolsonaro (Brazil), Narendra Modi (India) dan Rodrigo Duterte (Philipina), isu ini berimplikasi pada dinamika politik di berbagai kawasan. Kepemimpinan Boris Johnson di Inggris juga pada konteks yang sama, mengeksploitasi populisme sebagai strategi politik.

Baca juga:  Tradisi Damai di Ambon: Jacky dari Kristen dan Hasbollah dari Islam

Sebagai sebuah istilah, tentu saja ‘populisme’ memiliki makna yang saling diperdebatkan, belum ada kesepatan final di antara peneliti untuk mendefinisikan kata ini. Semisal yang tersaji dalam kajian Cass Mudde & Cristobal Kaltwasser (2017), Jan-Werner Muller (2017), maupun Chantal Mouffe (2018). Namun, ada beberapa poin penting yang dapat menjadi rujukan untuk memahami populisme dalam kajian politik dan dinamika internasional mutakhir.

Dalam analisa Emily Robinson (the Languange Progressive Politics in Modern Britain, 2017), menggambarkan betapa populisme terkait erat dengan politik bahasa. Meski secara istilah populisme sangat ambigu, setidaknya beberapa hal penting yang dapat menggambarkan fenomena ini. Di antaranya, populisme beririsan dengan riuh-rendah perdebatan. Contoh nyata bagaimana Trump menyalip Hillary Clinton pada pertarungan presiden Amerika Serikat, dengan memanfaatkan perdebatan tanpa jeda. Bahkan, tidak jarang menggunakan politik kebencian. Isu politik silih berganti, menyerang lawan dari pelbagai sisi.

Pada 2016, Donald Trump punya selisih 3 juta suara daripada Hillary. Pada manuver selanjutnya, Trump menggunakan isu-isu politik yang sensitif, untuk mengaduk-aduk emosi warga Amerika. Kita bisa melihat bagaimana strategi ini bekerja dalam menit-menit akhir pemilihan, Trump mendapat dukungan dari kalangan religius Kristen Evangelis, yang secara moral bertentangan dengan ‘citra moral’ dirinya.

Dalam kampanye politiknya, Boris Johnson menjanjikan penambahan dana 350 juta pound setiap pekannya, dalam kebijakan untuk meningkatkan kualitas NHS (National Health Service). Perlu diingat, NHS yang didirika sejak 1948, merupakan skema asuransi kesehatan di antara yang terbaik di dunia, yang memberi garansi kesehatan bagi orang-orang yang bermukim di kawasan United Kingdom (UK). Dalam beberapa tahun terakhir, NHS mengalami guncangan akibat merosotnya pendanaan, hingga sentimen perbedaan pelayanan terhadap orang-orang asli Inggris dan pekerja dari kawasan negara-negara Eropa.

Baca juga:  Kisah di Balik Gus Dur Memecat Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi

Dengan cerdik, Boris Johnson membawa isu NHS sebagai iming-iming keberpihakan terhadap penduduk asli Inggris. Dengan kebijakan Brexit, maka pemerintah Inggris melepaskan kewajiban-kewajiban strategis dengan Uni Eropa yang mengikat secara politik, ekonomi dan hukum. Manuver Johnson untuk terus mendorong eksekusi Brexit, dianggap memangkas anggaran dana yang selama ini disetor pemerintah Inggris untuk Uni Eropa, sebagai tanggungjawab antar negara anggota.

Maka, dapat dilihat bagaimana kampanye Boris Johnson ini disambut lapisan orang-orang konservatif di Inggris: bahwa dana NHS yang ditambah akan berdampak signifikan pada pelayanan kesehatan. Namun, apakah secara riil demikian?

Alastair Campbell, seorang jurnalis dan analis politik Inggris, menampik kampanye Boris Johnson seraya menganggap isu ini sebagai bagian dari ‘post-truth’, kampanye pasca kebenaran. Bahkan, Campbell mengkritik keras dengan menyebut politisi semacam Doland Trump dan Boris Johnson, ‘from post-truth to post-shame’, dari pasca kebenaran menuju pasca-penghinaan, atau pasca-kebencian.

Arus Populisme di Indonesia

Di Indonesia, populisme berkembang sebagai isu politik dalam beberapa tahun terakhir, terutama terlihat dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta pada 2017 dan Pilpres 2019 lalu. Pada dua kontestasi ini, elite-elite menggunakan manuver populisme politik untuk membangun aliansi sekaligus menjaring simpati.

Mengapa kelompok populis berkembang di Indonesia? Vedi R Hadiz dan Richard Robinson (2017) menganalisa bahwa kemuculan elite-elite populis dari sistem yang secara sosial politik tidak adil. Namun, ketidakadilan ini berakar dari beberapa dekade sebelumnya, yang berimplikasi pada beberapa tahun terakhir di Indonesia. Jurang pemisah yang terlampau lebar antara kelompok miskin dan konglomerat kaya, turut menumbuhkan kecemburuan sosial yang ditangkap secara cerdik sebagai isu-isu yang dimainkan elit populis.

Dalam konteks Indonesia, perkembangan ‘populisme Islam’ secara signifikan menjadi penanda dinamika, yang agak berbeda dengan beberapa negara lain. Populisme Islam di Indonesia terlihat ‘saling menunggangi’ antara elite politiknya dengan pemimpin agama yang menggunakan sekaligus membajak isu-isu bernuansa Islam. Gelombang aksi massa, yang lahir sebagai reaksi atas ucapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tentang Al-Maidah ayat 51, menjadi arus penting memberi dampak politik signifikan. Isu 212 dan beragam replikasi momentumnya, menandakan populisme Islam menggeliat dalam dinamika politik Indonesia mutakhir.

Baca juga:  2 Ulama Ini Buta Aksara, Tapi Sifat Keulamaannya Pilih Tanding

Kontestasi Pilkada DKI Jakarta (2017) dan Pilpres 2019 menyisakan pelajaran penting bagi kita semua, bagaimana populisme politik memberi dampak pada denyut nadi kebangsaan kita. Pembelahan antara pendukung dua kubu menyisakan trauma yang belum sepenuhnya sembuh hingga kini, meski elite-elite politiknya secara resmi membangun rekonsiliasi. Sementara, manuver-manuver politik yang menggunakan isu etnik dan agama pada DKI Jakarta masih saja menjadi ‘jebakan sejarah’ bagi kita, bangsa Indonesia.

Politik Indonesia melaju dengan arus dinamisnya, serta manuver elite-elite politiknya. Kita ingat bagaimana energi kebencian yang dimuntahkan secara sia-sia di tengah kontestasi politik, hanya menjadi masa lalu setelah hajatan politik usai. Rakyat kecil menjadi umpan dan pion di tengah percaturan kekuasaan, yang diadu dengan politik kebencian dan sebaran hoax, sementara elite politiknya sibuk menghitung keuntungan.

Kini, selepas hajatan politik dianggap usai, kita melihat cermin bening: rebutan kursi menteri dan pemanasan menuju 2024. Pasangan pemenang Pemilu 2019, Joko Widodo dan Ma’ruf Amin belum dilantik, kita telah menyaksikan manuver elite politik menjelang pertarungan 5 tahun ke depan. Bukan tidak mungkin, politik etnik dan populisme Islam akan menjadi isu sentral.

Terpilihnya Boris Johnson di Inggris, serta kebangkitan populisme politik di berbagai negara, setidaknya menjadi penanda bahwa politik kebangsaan masih terus menghadapi tantangan. Di saat elite politik kita merangsek jatah kekuasaan seraya menghimpun aliansi menuju 2024, bagaimana kita bersiap?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top