Kebuntuan Transformasi Agraria
UUD 1945 (Pasal 33 ayat 3) dan peraturan turunannya (UU Pokok Agraria Pasal 1 ayat 1) telah memandatkan negara untuk mempergunakan bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang dikandungnya, guna mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dalam rangka ini, UU No. 56 PRP tahun 1960, sesuai konteks jamannya saat itu, menetapkan visi transformasi agraria berikut ini.
Pertama, setiap rumah tangga petani diusahakan menguasai tanah pertanian seluas minimum dua ha (Pasal 8). Kedua, batas maksimum ditetapkan lima atau enam ha untuk daerah amat padat, dan 20 ha untuk daerah tidak padat (Pasal 1). Kecuali untuk pembagian warisan, peralihan hak atas tanah pertanian tidak diizinkan jika menyebabkan fragmentasi tanah menjadi kurang dari dua ha (Pasal 9 ayat 1). Bahkan pewarisan ini pun dianjurkan dihindari dan tanah pertanian di bawah dua ha itu sebaiknya “dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan” (Kompilasi Hukum Islam, Pasal 189).
UU No. 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani menegaskan kembali visi di atas. Pasal 12 mengharuskan pemerintah untuk melindungi penggarap atau petani gurem tanaman pangan yang lahan garapan atau usaha taninya paling luas dua ha.
Di antara bentuk pemberdayaan petani adalah konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian (Pasal 7). Hal ini diwujudkan melalui pemberian maksimum dua ha tanah negara bebas yang ditetapkan sebagai kawasan pertanian kepada petani yang telah melakukan usaha tani paling sedikit lima tahun berturut-turut (Pasal 58 ayat 3).
Kendati terus ditegaskan dalam aneka regulasi, visi transformasi agraria ini tak kunjung berhasil diwujudkan. Sensus Pertanian sejak 1963 hingga 2003 terus menunjukkan trend peningkatan penguasaan tanah pertanian skala gurem (di bawah 0,5 ha), yakni: 43,6% pada 1963, 45,7% (1973), 44,5% (1983), 48,6% (1993), dan 51% (2003). Sementara itu, kelas petani menengah dengan penguasaan tanah pertanian 2-5 ha cenderung mengalami stagnasi sejak 1983, yakni sebesar 11,2% (1983), 11% (1993), dan 11,4% (2003). Bahkan jika skala penguasaan tanah petani kelas menengah ini diturunkan di bawah batas minimum yang ditetapkan, misalnya menjadi 0,5-2 ha, kelas ini pun tidak kunjung terwujud karena persentasenya terus menurun: 44,7% (1963), 42,8% (1973), 42% (1983), 39% (1993), dan 35,8% (2003).
Kegagalan visi transformasi agraria di atas terutama disebabkan oleh ketidakseriusan pemerintah menjalankan agenda reforma agraria. Pasca “tragedi nasional 1965”, agaknya transmigrasi-lah satu-satunya program pemerintah yang mengupayakan alokasi tanah pertanian minimum dua ha—terlepas dari berbagai persoalan yang membelitnya. Ironisnya, bahkan di wilayah transmigrasi ini pun batas minimum tersebut sering tidak bisa bertahan lebih dari dua generasi. Setelah itu, penguasaan tanah terus terfragmentasi di tengah masih besarnya tenaga kerja pedesaan yang bergantung pada sektor pertanian. Akibatnya, proses guremisasi usaha pertanian kembali terjadi.
Di tengah ketidakseriusan pemerintah ini, berlangsung tiga proses yang menciptakan tantangan mendasar bagi perwujudan visi transformasi agraria di atas. Pertama, proses diferensiasi agraria akibat kian komersialnya seluruh input dan tahapan produksi komoditas pertanian. Kedua, proses fragmentasi tanah akibat pewarisan dari generasi ke generasi. Ketiga, proses pengambilalihan tanah (land dispossession) untuk berbagai proyek pembangunan, konsesi pertanian, perkebunan dan kehutanan, maupun berbagai investasi terkait tanah lainnya.
Konversi lahan pertanian pangan merupakan segi lain yang terkait erat dengan tiga proses di atas, khususnya proses penggusuran tanah petani. Kendati regulasi perlindungan lahan pertanian pangan telah lama tersedia (UU No. 41 tahun 2009), namun pemerintah tak kunjung berdaya mengendalikan konversi lahan ini. Data Kementerian Pertanian pada tahun 2012 menyebutkan, rata-rata konversi lahan mencapai 100 ribu ha per tahun (Detik.com, 30/8/2017). Studi Mulyani et al (2016) memperkirakan bahwa lahan sawah yang kini seluas 8,1 juta ha akan tersisa menjadi sekitar 6 juta ha saja menjelang tahun 2045 nanti.
Reforma Agraria dan Keterbatasannya
Reforma agraria adalah sebuah paket kebijakan yang mencakup land reform dan access reform. Komponen pertama adalah pembaruan penguasaan tanah untuk mewujudkan struktur agraria yang lebih adil. Sedangkan komponen kedua berarti penyediaan berbagai program pendukung guna meningkatkan produktivitas lahan, nilai tambah produk pertanian, dan jaminan akses pasar. Secara konsepsional, kedua komponen kebijakan ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Setelah mengalami aborsi dini pada pertengahan 1960-an, reforma agraria menjadi kebijakan sektoral ketimbang landasan strategis pembangunan nasional. Sejak itu, land reform bukan lagi merupakan program prioritas dan pelaksanaannya jarang yang berhasil menyediakan tanah baru (fresh land) kepada petani miskin, apalagi hingga seluas dua ha. Program transmigrasi adalah pengecualian dalam hal ini, terlepas dari berbagai persoalan yang membelitnya.
Apa yang biasa dilaporkan oleh pemerintah sebagai land reform pada kenyataannya lebih sering dijalankan di tanah-tanah yang secara de facto telah dikuasai petani, dan bukan berasal dari tanah kelebihan luas maksimum seperti diperintahkan oleh UU No. 56 PRP tahun 1960.
Penguasaan tanah secara de facto ini biasanya dilakukan petani melalui strategi harian “kultivasi” di atas tanah negara atau melalui perjuangan “aneksasi” di atas tanah-tanah konsesi yang dipertikaikan (Sitorus 2004).
Dalam kasus “kultivasi”, pelaksanaan land reform lebih sering merupakan legalisasi tanah (land titling) ketimbang (re)distribusi tanah dalam arti yang sebenarnya. Tidak heran jika aktivis gerakan agraria sangat kritis terhadap praktik land reform semacam ini. Mereka menganggap program “bagi-bagi sertifikat” ini sebagai land reform palsu karena justru mengukuhkan struktur ketimpangan agraria yang ada di antara para petani sendiri.
Gerakan agraria, karena itu, cenderung menekankan pelaksanaan land reform di areal “aneksasi”. Bagi mereka, pengakuan atas klaim petani terhadap tanah-tanah di areal “aneksasi” memberi peluang yang lebih besar untuk mewujudkan land reform yang genuine. Sayang, tanpa dukungan politik dan regulasi yang memadai, negosiasi penyelesaian konflik ini banyak bergantung kepada kebaikan hati pemilik konsesi. Jika areal yang mereka lepaskan terlampau kecil (dan biasanya inilah yang terjadi), pembagian tanah di antara petani menjadi terlalu sempit. Hal ini tidak jarang memicu konflik di antara petani sendiri.
Dalam kedua praktik land reform di atas, hak milik individual menjadi skema dominan dan agaknya juga satu-satunya dalam program (re)distribusi tanah. Pada saat yang sama, integrasi program ini dengan berbagai jenis access reform yang diperlukan seringkali terbentur oleh ego sektoral di antara badan-badan pemerintah sendiri. Akibatnya, skema hak milik individual hanya melahirkan pasar tanah bebas yang justru merugikan petani gurem yang dibiarkan berjuang sendiri tanpa dukungan yang memadai.
Tidak heran jika peralihan tanah dan akumulasinya pada segelintir orang merupakan gejala yang lazim ditemukan di lokasi-lokasi land reform, termasuk di areal “aneksasi” yang pelaksanaannya didorong dan dikawal oleh gerakan agraria (Sirait 2017; Shohibuddin et al 2017).
Pada kesudahannya, pelaksanaan reforma agraria yang parsial selama ini telah membuatnya gagal mewujudkan dua visi transformasi agraria di atas khususnya ketika dihadapkan pada tiga tantangan berikut. Pertama, proses diferensiasi agraria akibat kian komersialnya seluruh input dan tahapan produksi komoditas pertanian. Kedua, proses fragmentasi tanah akibat pewarisan tanah dari generasi ke generasi. Ketiga, proses pengambilalihan tanah untuk berbagai proyek pembangunan, konsesi perkebunan dan kehutanan, serta berbagai investasi terkait tanah lainnya.
Dihadapkan pada ketiga proses tersebut, berbagai praktik land reform selama ini boleh dikatakan hanya menunda permasalahan untuk beberapa waktu; sebuah “interupsi” singkat belaka sebelum akhirnya kecenderungan guremisasi tanah berlangsung kembali. Akibatnya, kelas petani menengah tidak kunjung terwujud dan kebuntuan visi transformasi agraria pun terus berkepanjangan.