Mukhammad Lutfi
Penulis Kolom

Alumnus Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Humaniora UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.

Langgar, Kiai Langgar, dan Jemaah Langgar

Saya anak kampung yang kebetulan saat ini sedang belajar di kota Malang. Mungkin bagi teman-teman yang kebetulan juga dari kampung dan kini sedang belajar di kota, akan menemui pola kehidupan beragama dan bermasyarakat yang bisa jadi berbeda antara kampung dan kota.

Saya tidak akan bicara tentang perbedaan itu. Namun di sini saya akan mengulas sedikit tentang salah satu institusi kultural yang berada di tengah-tengah masyarakat muslim yang ada di pedesaan atau kampung. Institusi kultural itu ialah langgar.

Fungsi utama langgar tak ubahnya merupakan tempat ibadah seperti halnya masjid, hanya saja di langgartidak dilaksanakan salat jum’at. Selebihnya, langgar oleh sebagian masyarakat muslim pedesaan Jawa dijadikan sebagai sentra aktivitas warga, tempat berjamaah bersama tetangga, tempat mengaji bagi anak-anak, pengajian ketika hari-hari besar Islam, slametan dari hajatan warga dan masih banyak lagi aktivitas kemasyarakatan yang dilaksanakan di langgar.

Berbicara tentang langgar tidak bisa dilepaskan dari kiai langgar, dan para jama’ah dari langgar tersebut. Saya akan mengawalinya dari langgar terlebih dahulu.

Arsitektur Langgar
Menurut Azra (1999:130), langgar di beberapa daerah lain dikenal dengan tajug, surau, dan mushola. Secara umum bangunan langgar ini memiliki bagian-bagian ruangan seperti pengimaman, induk ruangan, dan serambi. Ruang langgar ini bisa berbeda-beda di setiap langgar yang ada, akan tetapi akan tetapi dapat dipastikan tidak terlepas dari tiga ruangan umum yang saya sebutkan tadi.

Baca juga:  Masjid Bani Solan Magetan: Merekatkan Persaudaraan, Merangkul Semua Golongan

Selain ruangan-ruangan yang dimiliki, jenis arsitektur langgar juga beragam. Di antaranya adalah langgar tropo atau angkringan, langgar gedong,, dan langgar meru (Mawardi, 2014).

Langgar tropo atau langgar angkringan, arsitektur bangunan langgar ini berbentuk rumah panggung, terbuat dari kayu, luasnya sekitar 5×7 meter persegi, dan tinggi lantainya sekitar satu meter dari tanah, dindingnya terbua dari kayu atau bilik bambu (gedhek), atapnya berbentuk pelana, dan pada bagian depannya terdapat beranda kecil (serambi) tempat jama’ah duduk-duduk sambil menunggu waktu salat tiba. Bangunan langgar jenis ini umumnya ada pada zaman old, tapi tidak menutup kemungkinan ada beberapa daerah yang mempertahankan arsitektur dari bangunan langgar jenis tropo atau angkringan ini.

Langgar gedong, biasanya jenis langgar ini merupakan bentuk metamorfosis dari langgar tropo yang mengalami proses renovasi. Bentuknya tidak lagi seperti rumah panggung, akan tetapi sudah berpondasi batu dan dindingnya terbuat dari susunan batu bata dan semen (diplester), bangunannya sudah permanan dan menggunakan lantai keramik.

Langgar meru,arsiterktur langgar jenis ini disebut meru karena model atap langgar ini bersusun tiga sebagaimana model atap masjid agung Demak. Model bangunan langgar umumnya sudah bebrbentuk bangunan permanen dengan berdindingkan campuran batu bata dan kayu jati berukir indah, beratapkan genting menggunakan mustaka bermotif bunga kuncup, ruangan langgar dihiasi oleh banyak ornamen dan kaligrafi, dan biasanya bangunan ini dibangun oleh orang yang sangat kaya pada masanya.

Baca juga:  Masjid Cheng Hoo Menginspirasi Wisata Religi Indonesia

Kiai Langgar
Elemen yang tak kalah penting dari peradaban langgar adalah Kiai langgar. Langgar di pedesaan pada umumnya didirikan berdekatan dengan rumah orang yang mendirikannya. Bisa di samping atau depan rumah dari sang pendiri langgar tersebut. Pada umumya pula sang pemilik/pendiri langgar itulah yang menjadi kiai dari langgar tersebut.

Tidak menutup kemungkinan antara pendiri langgar dan kiai langgar adalah orang yang berbeda, hal seperti biasanya terjadi pada pendiri langgar merupakan tokoh masyarakat ataupun masyarakat biasa dan sedangkan kiai langgar adalah jemaah langgar yang memiliki ilmu agama lebih, kemudian diamanahi oleh sang pemilik langgar untuk menghidupkan aktivitas yang ada di langgar. Hal ini tentunya berdasarkan musyawarah mufakat dan kemudian disepakati oleh semua jama’ah langgar.

Posisi kiai langgar sangatlah dominan, dia dianggap sebagai panutan. Kualitas pribadi sang kiai merupakan kharisma yang sangat penting, terutama apabila menyangkut hubungannya dengan jama’ah langgarnya atau umat di pedesaan. Bahkan kiai langgar bisa menjadi cikal bakal munculnya pesantren, sebagai contoh langgar Kiai Hasyim yang kemudian berkembang menjadi pesantren Tebuireng Jombang (Wahid, 2001:10-11), langgar Kiai Munawir yang kemudian berkembang menjadi pesantren Krapyak Yogyakarta (Mawardi, 2006:210).

Maka tidak mengherankan jika di pedesaan penyebutan nama langgar merujuk pada nama sang kiai langgar maupun pemilik langgar.

Jemaah Langgar
Jemaah langgar yang dimaksudkan tidak langsung merujuk pada spesifik orang yang berada dalam barisan shaf salat saat berjama’ah. Simpelnya begini, Jemaah langgar adalah orang yang biasanya berkumpul dan terlihat banyak ketika salat tarawih di malam pertama, datang selametan saat malam takbiran. Karena pada momen itulah biasanya orang tua, muda-mudi , dan para perantau kembali ke kampung halaman kumpul tumplek blek di langgar. Itulah yang penulis maksud sebagai jama’ah langgar.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top