“Tiga macam kenikmatan duniawi: teman yang penyayang (shadiq waadd), berteman dengan raja yang pemurah (muluk jawwad), dan berkumpul dengan orang yang mendatangkan manfaat (mufid) dan mau menerima arahan (mufad),” Abu Yazid al-Busthomi.
Persahabatan adalah salah satu topik kajian sufistik Abu Yazid, yang tidak bisa dipisahkan dari ajarannya tentang cinta kasih. Memiliki sahabat yang mendatangkan manfaat, pemurah, dan penuh kasih sayang pada kita, sudah barang tentu akan mendatangkan kebahagiaan di hati. Sebaliknya pun begitu. Betapa sempit dunia ini bila semua kenalan dan sahabat merugikan diri kita.
Karenanya, bagi Abu Yazid, ada dua perkara yang menyebabkan kehancuran hidup manusia: “tarkul hurmah (menodai kehormatan)” dan “nisyanul minnah (melupakan pemberian)”. Kehormatan seseorang bisa ternodai dalam sebuah relasi persahabatan apabila melupakan kasih sayang yang sudah diberikan. Persahabatan bisa hancur bila masing-masing pihak tidak menghargai pengorbanan yang telah berlalu.
Pengorbanan seorang sahabat/teman, bukan hanya harus dihormati dan diapresiasi. Lebih dari itu, sebisa mungkin jangan dipertanyakan. Setiap individu memiliki batas kemampuan masing-masing. Apa yang sudah dilakukan adalah ekspresi dari kemampuan/potensi mereka. Karenanya, Abu Yazid mengatakan: “la in yuqala li lima la taf’al ahabbu ilayya min an yuqala li lima fa’alta.” Saya lebih suka ditanya: ‘mengapa tidak engkau lakukan?’ daripada ditanya: ‘mengapa engkau lakukan?’
Mempertanyakan apa yang sudah dilakukan sama saja dengan mempertanyakan secara kritis kemampuan dan potensi seseorang. Hal itu berpotensi besar menyinggung perasaan. Sebaliknya, mempertanyakan apa yang belum dilakukan itu sama saja dengan membuka solusi dan alternatif lain yang mungkin bisa dilakukan di hari-hari esok. Abu Yazid sedang mengajarkan cara berkomunikasi yang baik dalam menjaga hubungan persahabatan.
Dalam persahabatan, tentu silang sengkarut perbedaan dan percekcokan tidak dapat dihindari. Tetapi, Abu Yazid memiliki konsepnya sendiri. “Idza shahabaka insanun wa asa-a ‘isyrataka fadkhil su-a khuluqihi fi husni khuluqika, hatta yahinakal ‘aisyu,” ujar Abu Yazid. Apabila kamu bersahabat dengan seseorang, lalu ia merusak hubunganmu, maka masukkanlah keburukan sifatnya itu ke dalam kebaikan sifatmu, sampai kehidupan itu sendiri yang berubah dan membuatmu nyaman.
Konsep Abu Yazid yang demikian berdampak psikologis-kognitif. Artinya, seseorang tidak akan menyalahkan sahabatnya yang berbuat buruk, tetapi keburukan sahabat menjadi batu lompatan untuk menguji tingkat keimanan serta sejauh mana kelapangan dadanya sendiri. Inilah arti penting dari ujaran Abu Yazid.
Begitu sebaliknya, apabila mendapatkan keuntungan, maslahat dan manfaat dari seorang sahabat, maka pikiran dan perasaan kita segera alihkan kepada Allah, dan jangan terikat dengan pribadi manusia. Kata Abu Yazid, “Idza an’ama ‘alaiku mun’imun binikmatin fasykurillaha abadan, fa innahulladzi a’thafal quluba ‘alaika.” Jika ada seseorang yang memberimu sebuah kenikmatan, segeralah bersyukur pada Allah karena Allah yang melembutkan jiwa dan hati mereka padamu.
Kelembutan hati dan bagusnya perangai adalah inti dari ajaran tasawuf. Abu Yazdi mengatakan, “At-tashawwufu syaddul arfaqi wa shaddul arwaqi.” Tasawuf adalah cinta kasih yang kuat, dan memangkas taring yang tajam. Artinya, tidak melukai perasaan orang lain dengan ucapan dan perbuatan buruk. Bagi Abu Yazid, ada sepuluh macam perkara yang merupakan kewajiban manusia (faridhah ‘alal badan). Satu di antaranya: kaf-ul adza minal ikhwan. Mencegah diri untuk tidak menyakiti saudara.
Dalam kesempatan lain, Abu Yazid mengurai prinsip-prinsip etis dan moril versinya, yang melandasi bangunan pergaulan dan persahabatan antar manusia. Ada sepuluh perkara yang membuat manusia hina: keras kepala (hiddah), pemarah (ghadhab), sombong (kibr), zalim (baghyu), suka mendebat (mujadalah), kikir (bukhl), berperilaku buruk (izhhar al-jafa’), menodai kehormatan orang lain (tark hurmah al-mukmin), asusila (su-ul khulq), dan tidak punya kesadaran (tark inshaf).
Sebaliknya, ada sepuluh perkara yang membuat manusia mulia: lemah lembut (hilm), memiliki rasa malu (haya’), berpengetahuan luas (‘ilm), jauh dari maksiat (wara’), bertakwa (taqwa), berakhlak mulia (al-hulq al-husn), menjauhi absolutisme (ihtimal), penuh kasih sayang atas sesama (al-mudarah/mulathafah), menahan emosi (kazhm al-ghaizh), dan tidak banyak bertanya (tark as-su-al).
Dalam konteks hubungan pergaulan, menurut Abu Yazid, beberapa pantangan yang merusak adalah: berteman dengan orang yang tidak meningkatkan nilai keagamaan, menjauhi orang-orang yang baik (mufaraqah ahl al-khair), mengikuti hawa nafsu, tidak suka berjamaah (mujanab al-jama’ah), suka berkumpul dengan ahli bid’ah, melakukan hal-hal yang sia-sia, suka menuduh dan berpikiran negatif pada orang lain (tuhmah al-halq), ingin jadi yang terdepan (thalab al-’uluw), ambisius ingin jadi pemimpin (thalab al-riasah), dan kesemsem duniawi.
Semua nilai-nilai etis dan moral tersebut adalah pedoman bagi kita semua, seperti Abu Yazid sarankan, untuk membangun hubungan sosial yang harmonis dan sinergis. Tidak mungkin hubungan sosial harmonis dan sinergis ini terbangun apabila masing-masing individu bersaing ingin menjadi yang terkemuka dan terdepan, apalagi menghalalkan segala cara dan mengorbankan persahabatan, demi mengejar tujuan duniawi yang pendek. Wallahu a’lam bis shawab.
(Tamat)
Sumber:
Qasim Muhammad Abbas, Abu Yazid al-Basthami, Damascus: Al-Mada, 2004.