Penulis tidak mengikuti perkembangan polemik nasab para habaib yang belakangan ramai diperdebatkan. Informasi yang sesekali penulis dapatkan hanya melalui feed YouTube yang secara kebetulan muncul karena algoritma kecenderungan pengguna, seperti debat yang melibatkan Guru Gembul yang belakangan penulis tonton.
Tulisan ini sendiri sama sekali tidak bermaksud membicarakan polemik nasab habaib, tetapi lebih kepada implikasi sosial yang mungkin saja diakibatkan olehnya. Alasan penulis mengetengahkan masalah ini karena momen polemiknya yang bersamaan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad saw. Dalam pertanyaan sederhana, barangkali masalahnya dapat dirumuskan seperti ini, “Apakah polemik nasab habaib berpengaruh pada pilihan teks maulid?”
Sebelum masuk kepada ulasan dan menjawab pertanyaan tersebut, penulis hendak meyakinkan kepada pembaca sekalian bahwa apa yang penulis sebutkan dalam tulisan ini semata-mata hanya data yang penulis sajikan sebagai bahan penyusun jawaban dari pertanyaan yang penulis ajukan. Tidak ada maksud dan tujuan lain.
Ada begitu banyak pilihan teks maulid yang dapat dibaca. Tiga di antaranya yang paling populer adalah ‘Aqd al-Jauhar fi Maulid al-Nabiy al-Azhar atau biasa disebut Al-Barzanjiy karya Sayyid Ja‘far bin Hasan bin ‘Abd al-Karim al-Barzanjiy al-Huzainiy (1126-1177 H.), Al-Diba‘ karya ‘Abd al-Rahman al-Diba‘iy, dan Al-Burdah karya Muhammad bin Sa‘id bin Hammad bin ‘Abdullah al-Shanhajiy al-Bushairiy.
Teks-teks maulid ini, sepengetahuan penulis, lazim dibaca di kalangan masyarakat awam pada malam Jumat, malam Senin, dan 12 malam jelang peringatan puncak maulid Nabi Muhammad saw. Di samping itu, teks-teks ini juga dapat dikatakan masuk dalam ‘kurikulum resmi’ pesantren seperti ketika penulis nyantri di Kudus dan Rembang dulu.
Selain tiga teks maulid di atas, ada juga Maulid Syaraf al-Anam karya Syihab al-Din Ahmad bin ‘Aliy bin Qasim al-Maliki atau masyhur disebut Al-Hariri, yang menurut Muhammad Akmaluddin cukup jarang dibaca, serta maulid Simth al-Durar fi Akhbar Maulid Khair al-Basyar wa Ma lah min Akhlaq wa Aushaf wa Siyar karya Habib ‘Aliy bin Muhammad bin Husain al-Habsyiy (1259-1333 H.). Teks maulid yang terakhir inilah yang menjadi fokus pembahasan.
Menurut informasi yang diberikan Muhammad Asad dalam tulisannya berjudul Sejarah Masuknya Simthud Durar di Indonesia, maulid ini sudah masuk di Nusantara sebelum tahun 1917 Masehi melalui murid dan keturunan pengarangnya sendiri, Habib ‘Aliy (w. 1917 M.). Namun demikian, popularitas maulid tersebut mencapai puncaknya di tangan Habib Anis bin ‘Alwiy al-Habsyi (w. 2006 M.) di Surakarta (Solo).
Penulis sendiri ingat pernah menghadiri Haul Solo ketika masih SD sebelum tahun 2004 Masehi bersama mendiang ibu. Kemudian ketika menginjak usia Tsanawi (MTs), sekitar tahun 2004-2007 Masehi, mulai populer majelis-majelis selawat yang diinisiasi oleh Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf.
Di momen Habib Syech inilah santri-santri mulai mengenal dan menggandrungi maulid Simth al-Durar. Untuk sesaat, maulid-maulid yang lain tersingkir karena para santri ‘sibuk’ mempelajari intonasi yang menjadi ciri khas ‘Maulid al-Habsyi’ tersebut.
Mungkin karena hampir seluruh perjalanan maulid Simth al-Durar di Indonesia yang tidak lepas dari para habaib inilah yang menjadikannya terafiliasi dengan circle habaib. Kendati jika kita bandingkan dengan Al-Barzanjiy yang sama-sama ditulis oleh seorang habib, sayyid, keturunan Kanjeng Nabi, perlakuan yang diterima nyatanya tidak sama.
Nah, karena terafiliasi dengan lingkaran habaib, Simth al-Durar menjadi teks maulid yang cukup terdampak dengan adanya polemik nasab habaib. Sebagian kalangan yang telah ‘mengganti’ teks maulidnya dengan Simth al-Durar, kini lebih memilih mengembalikannya seperti semula, teks-teks maulid yang sejak dulu telah menjadi pilihan.
Beberapa waktu yang lalu, penulis berkesempatan duduk bersama dalam satu majelis dengan KH. Achmad Chalwani, pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi Berjan, Gebang, Purworejo. Di kesempatan tersebut, Kiai Chalwani ditanya salah seorang kiai mengenai pilihan teks maulid. Kejadiannya mirip dengan video yang belakangan ini viral tentang sejarah JATMAN (Jam‘iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mu‘tabaroh an-Nadhliyyah) yang kemudian disusul berita sowan beliau ke PBNU pada Senin (2/9/2024).
Dalam jawabannya, beliau lantas menjelaskan bahwa sudah sejak dulu beliau menyarankan untuk mengembalikan pada teks-teks maulid yang sudah biasa digunakan sebelum beralih kepada Simth al-Durar.
Dari jawaban Kiai Chalwani ini, seolah-olah tidak ada hubungan antara polemik nasab habaib dengan pilihan teks maulid. Alasannya karena saran untuk kembali pada teks maulid selain Simth al-Durar telah beliau suarakan sejak lama. Meski begitu, pertanyaan yang dilontarkan oleh salah seorang kiai sebelumnya menyiratkan adanya sesuatu yang terkait antara polemik nasab habaib dengan pilihan teks maulid hingga ia mengharapkan afirmasi dari Kiai Chalwani.
Dari sini penulis kemudian berkesimpulan bahwa iya, polemik nasab habaib turut memberikan pengaruh kepada pilihan teks maulid kendati hanya dijumpai pada level masyarakat tertentu, yang menaruh perhatian khusus terhadap polemik nasab ini. Sedang bagi masyarakat awam sisanya, apa pun teks maulid yang mereka pilih adalah sama, sama-sama berisi perjalanan hidup Nabi Muhammad shallallah ‘alaih wa sallam. Wallah a‘lam bi al-shawab. []