Sedang Membaca
Ibu Sinta dan Perjuangan Melawan Diskriminasi
Ali Usman
Penulis Kolom

Menulis tema-tema agama dan politik. Pengurus Lakpesdam PWNU DIY.

Ibu Sinta dan Perjuangan Melawan Diskriminasi

Ibu Sinta Nuriyah Abdurahman Wahid dianugerahi gelar doktor honoris causa bidang sosiologi agama oleh Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu (18/12/19), di kampus setempat. Penganugerahan ini sebagai bentuk apresiasi terhadap perjuangan istri almarhum Abdurahman Wahid (Gus Dur) atas dedikasinya melakukan advokasi dan pemberdayaan sosial, terkait dengan isu-isu diskriminasi dan hak asasi manusia (HAM).

Saat penganugerahan, Ibu Sinta menyampaikan isi pidato yang berjudul, Inklusi dalam Solidaritas Kemanusiaan: Pengalaman Spiritualitas Perempuan dalam Kebhinekaan. Dalam pidatonya, Ibu Sinta mengelaborasi argumenn normatif berdasarkan doktrin agama Islam yang bersumber dari al-Qur’an maupun hadis dan pengalamannya mendampingi kelompok-kelompok, yang dalam istilah sosiologi disebut “marginal” dan “kaum papa”. 

Ibu Sinta bahkan menjadi tambatan hati banyak kalangan aktivis (perempuan), untuk memberikan pertimbangan serta arahan dalam setiap persoalan sosial. Sebuah dedikasi yang mirip dan memang sejalan dengan apa yang juga dilakukan oleh mendiang Gus Dur.

Seperti yang telah disampaikan di dalam pidato pengukuhannya, Ibu Sinta sejak tahun 2000 menjalankan misi profetik sahur keliling saat bulan Ramadhan tiba, dan telah dilakukan ke hampir semua daerah seantero negeri. Kegiatan sahur keliling yang digagas Ibu Sinta secara inklusif melibatkan tidak hanya warga muslim setempat, tetapi juga dihadiri oleh warga dan tokoh-tokoh penganut agama non-muslim.

Baca juga:  Risalah fi Kaifiyyah Shalatit Tarawih Karangan Nyai Hj. Siti Zubaidah Hasbiyallah Klender (1967)

Itulah sebabnya, inklusivitas kegiatan sahur keliling, kadang ada sebagian kalangan yang mencibir secara negatif, seperti terjadi pada 2016 di Semarang. Yang semula kegiatan direncakan di dalam gereja Ungaran, namun atas desakan dari kelompok tertentu, seperti FPI, acara pindah lokasi. Dan seperti biasa, media yang berafiliasi kepada FPI, termasuk media “NU Gari Lurus” melakukan framing berita yang cenderung sinis kepada Ibu Sinta.

 

Advokasi disabilitas

Namun demikian, di luar kegiatan sahur keliling tersebut, sebenarnya terdapat “karya” lain Ibu Sinta, yaitu tentang afirmasinya kepada kalangan disabilitas. Saat PBNU launching buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas (2018), ia bercerita bahwa sejak ditimpa musibah pada tahun 1990, telah aktif memberikan penguatan kepada kalangan disabilitas. 

“Kami dulu keliling Indonesia memberikan kursi roda ke mereka bukan cuma-cuma. Kita minta mereka membayar hanya Rp.25.000. Hal ini tidak ditujukan untuk menarik uang itu, tapi semata bahwa kursi ini tidak dibagikan cuma-cuma”, ungkap Ibu Shinta, sebagaimana dilansir oleh banyak media.

Maksud pembelian kursi roda tersebut ingin menghadirkan persepsi di kalangan disabilitas bahwa fasilitas yang mereka dapatkan bukan dibagikan atas dasar kasihan. Fasilitas seperti kursi roda, tongkat, dan lain sebagainya didapat dengan transaksi sebagaimana orang pada umumnya.

Baca juga:  Sederet Nama Penulis Perempuan yang Berkontribusi terhadap Pendidikan Literasi di Lingkungan Pesantren

Pada saat ke Jepang Hj. Shinta menyatakan kekaguman karena infrastruktur di sebuah rumah sakit di sana sangat ramah terhadap kalangan disabilitas. Dari sana, ia melakukan gerakan ramah disabilitas lebih intensif. Ia bercerita bahwa pernah membuat Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional (GAUN) 2000. Pihaknya membuat toilet, lift, loket untuk disabilitas. Ia melibatkan Agum Gumelar yang saat itu jadi Menhub saat Gus Dur jadi presiden.

Tapi ketika Gus Dur turun, menurut Ibu Sinta, semua gerakan itu ikut turun. Yang tersisa hanya lift. Itu pun digunakan oleh mereka yang nondisabilitas. Yang bernasib disabilitas harus antri dengan mereka. Artinya kesadaran masyarakat masih rendah.

Oleh karena itu, tanggung jawab terhadap pemenuhan hak-hak disabilitas tidak hanya dipikul oleh penyandang disabilitas sendiri dan keluarganya, tetapi juga tanggung jawab masyarakat, ormas dan terutama negara (pemerintah). Dengan perspektif ini, maka membangun situasi sosial yang ramah disabilitas adalah kewajiban, sebagaimana diamanatkan UU no. 8 tahun 2016.

Sayangnya, hingga saat ini, layanan dan fasilitas publik yang ramah disabilitas masih sangat terbatas. Jalan raya misalnya, tidak sepenuhnya bisa digunakan dengan nyaman oleh penyandang disabilitas. Demikian pula transportasi umum, mulai dari bus (dalam kota maupun antar kota), kereta api, kapal laut hingga pesawat udara. Kondisi ini tentu saja sangat menyulitkan para penyandang disabilitas, sehingga mereka nyaris selalu butuh bantuan orang lain untuk bisa menjalankan aktivitasnya di luar rumah.

Baca juga:  Ienas Tsuroiya, Perempuan Tangguh Di Balik Dakwah Gus Ulil

Itulah kontribusi pemikiran dan aksi dari Ibu Sinta. Selamat dan sukses.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top