“Viral, Polisi Hentikan Ambulans yang Bawa Pasien gara-gara Bunyi Sirene, Sopir Dipukul,” demikian buny judul sebuah berita di Kompas.com. Silakan dibaca lingk tersebut hingga selesai.
Sepintas, isi berita pada tautan di atas sungguh aneh. Seorang pengemudi ambulans yang sedang membawa pasien menuju rumah sakit bertengkar dengan polisi yang melarangnya membunyikan sirine. Meski sopir dan orang-orang di dalam ambulans itu sudah menyatakan bahwa mereka membawa pasien, tampaknya si polisi tetap bersikeras, bahkan berusaha mematikan dan mengambil kunci mobil.
Sopir ambulans itu sedang bertugas. Menurut peraturan hukum, khususnya ketika membawa pasien kritis, sopir ambulans punya otoritas untuk menghidupkan sirine supaya kendaraan bisa melaju cepat dan nyawa pasien sebisa mungkin diselamatkan. Nyawa setiap orang punya harga yang tak ternilai.
Karena itu, semua kendaraan lain wajib minggir sementara. Polisi mestinya justru wajib membantu menertibkan pemakai jalan lain supaya memberi jalan dan ambulans bisa melaju tanpa hambatan. Di kota-kota besar di AS, jalan raya bahkan punya jalur khusus yang hanya boleh dilewati mobil ambulans, polisi dan petugas pemadam kebakaran dalam situasi darurat.
Ini polisi yang sedang bertugas justru melarang si sopir ambulans yang juga sedang bertugas. Kok bisa?
Menurut saya ini sebenarnya merupakan bagian dari gunung es lebih besar yang berkaitan pergeseran otoritas dan fenomena post-truth.
Beberapa waktu lalu, dalam suatu demonstrasi mahasiswa di Jakarta, kita membaca berita tentang mobil ambulans yang dikira membawa karungan batu, meski kemudian ada klarifikasi bahwa itu tidak benar. Dalam berita lain, kita juga membaca ada ambulans yang sebetulnya tidak membawa pasien tapi sengaja menghidupkan sirine sehingga memaksa orang lain harus repot minggir untuk memberi jalan.
Ada penyalahgunaan otoritas. Ada juga kecenderungan penolakan terhadap otoritas karena berbagai alasan.
Masih ingat, Prof. Quraish Shihab, yang kita tahu pendidikan S1-S3-nya adalah ilmu tafsir Qur’an, bahkan menjadi profesor dalam bidang itu serta menulis banyak sekali buku tafsir yang otoritatif? Tapi bahkan pemikir seotoritatif beliau–seperti terbaca dalam berita-berita yang muncul beberapa waktu lalu–bisa dengan ringan ‘direndahkan’ penafsirannya oleh orang-orang yang baru belajar Islam ‘kemarin sore’ hanya karena mereka tidak setuju dengan penafsiran beliau. Bahkan beliau “disyi’ah-syi’ah-kan” dengan maksud untuk mendelegitimasi otoritasnya. Gus Mus Ahmad Mustofa Bisri dan sejumlah tokoh terkemuka lain juga pernah mengalami hal yang sama.
Ini bukan fenomena khas Indonesia. Di AS beberapa waktu lalu, seorang ilmuwan ahli cuaca terancam dipecat gara-gara mengoreksi pengumuman Donald Trump yang keliru menyampaikan informasi kepada publik bahwa sebagian wilayah Alabama akan terkena dampak angin badai yang sangat mematikan. Padahal, tujuan si ahli tentu adalah untuk menyampaikan kebenaran sesuai expetise-nya, sekaligus untuk menenangkan masyarakat Alabama yang jadi panik karena mendapatkan informasi yang salah dari orang yang tak punya keahlian dalam bidang cuaca, meskipun ia seorang presiden. Media-media massa di AS yang menjalankan tugasnya dengan berpegang teguh pada prinsip jurnalisme yang ketat, seperti CNN, Washington Post, The New York Times, dll. justru belakangan kerap disebut sebagai “fake news” oleh Trump dan para pengikutnya karena media-media tadi menyampaikan berita yang tidak disukai oleh kaum konservatif pendukung presiden AS sekarang itu.
Ketika pilpres baru selesai, sebagian orang di Indonesia juga dengan ngotot menolak hasil quick count yang diselenggaraan oleh sejumlah lembaga polling yang bekerja profesional dengan prinsip ilmiah yang ketat, meskipun si penolak sendiri tidak punya ilmu tentang polling dan quick count. Bahkan sampai sekarang pun masih ada sebagian orang yang percaya bahwa pemilu kita direkayasa, hanya karena mereka ada pada pihak yang kalah.
Ini semua terkait dengan goncangnya, atau lebih tepatnya, terurainya “otoritas” dalam masyarakat. Ketika kepentingan atau keyakinan menjadi pertaruhan, dengan mudah pendapat seorang ahli yang disampaikan menurut kaidah ilmu pengetahuan akan disanggah bahkan oleh seseorang/kelompok yang tak pernah benar-benar belajar mengenai bidangdi mana suatu isu sedang disengketakan.
Inilah zaman post-truth, pasca kebenaran. Zaman ketika keyakinan pribadi dan kecenderungan psikologis dianggap sama valid, atau bahkan lebih penting ketimbang fakta obyektif. Hanya karena seseorang tinggal dan lebih sering bergaul dengan pemilih di suatu propinsi yang mayoritas mendukung suatu kandidat presiden–yang menimbulkan kesan bahwa “sebagian sangat besar” orang mendukung capres ybs–maka ketika hasil pemilu di seluruh Indonesia menyatakan capres-nya kalah, tuduhan pemilu curang langsung diteriakkan. Meski para pakar dan data obyektif telah dipaparkan oleh banyak ahli, banyak orang tetap tidak mau menerima kenyataan.
Kenyataan obyektif dan penjelasan pakar tak boleh menundukkan keyakinan pribadi.
Di AS fenomena ini sudah berlangsung cukup lama dan berawal dari apa yang disebut sebagai “science denial”, pengingkaran terhadap ilmu pengetahuan.
Yang kerap dianggap sebagai titik tolak adalah isu tentang hubungan antara rokok dan kanker paru-paru. Pada awal 1950-an, sejumlah riset ilmiah otoritatif di Amerika telah sampai pada kesimpulan bahwa merokok merupakan salah satu sebab kuat kanker paru-paru. Memang tidak pernah ada kesimpulan definitif yang bisa membuktikan bahwa merokok pasti akan mengakibatkan kanker paru-paru.
Dalam ilmu kesehatan, atau ilmu pengetahuan secara umum, tidak pernah ada relasi tunggal A-B, bahwa suatu akibat A pasti disebabkan oleh faktor B. Setiap penyakit kemungkinan sebabnya tidak pernah satu. Begitu juga suatu tindakan tertentu tidak pernah bisa ditunjuk sebagai penyebab tunggal suatu penyakit. Tapi menurut penelitian, jelas sekali, tar merokok merupakan faktor penyumbang menonjol kanker paru-paru (colek para ahlul hisap fanatik: Faruk Tripoli, Ali Shahab, dkk)
Akibat riset ilmiah itu rupanya secara ekonomi banyak perusahaan rokok di AS mengalami kerugian karena menurun drastisnya angka penjualan. Dalam buku Merchants of Doubt yang ditulis Naomi Oreskes dan Erik Conway (2010), sejumlah boss perusahaan rokok kemudian bertemu di Plaza Hotel New York City pada 1953. Atas saran John Hill, yang punya nama besar dalam public relations, daripada sibuk bersaing untuk menunjukkan kepada publik tentang rokok siapa yang lebih sehat, mereka sepakat untuk “melawan ilmu pengetahuan” dengan cara mensponsori riset ‘alternatif’ yang dilakukan sejumlah ilmuwan yang tergabung dalam Tobacco Industry Research Committee (TIRC).
Misi TIRC adalah untuk menunjukkan bahwa, meski ada data-data yang bisa dipakai sebagai bukti (evidence), klaim merokok adalah penyebab definitif kanker paru-paru tidak bisa dibuktikan (no proof). Poin inilah yang kemudian digemparkan lewat media massa dan dibiayai secara jor-joran oleh perusahaan rokok tadi. Berhasil. Publik menjadi ragu terhadap hasil riset sebelumnya dan bahkan para pengambil kebijakan pun terpengaruh.
Setelah lebih dari empat dekade, pada 1998, perusahaan rokok yang jadi sponsor TIRC akhirnya menutup tim riset yang dibuatnya itu dan harus membayar penyelesaian tuntutan hukum sebesar US$ 200 miliar karena mereka terbukti ‘menyembunyikan’ apa yang sebetulnya mereka ketahui dari awal: bahwa merokok merupakan salah satu faktor penyumbang sangat menonjol penyakit kanker paru-paru.
Jelas, hitung-hitungan bisnisnya mereka tetap tidak rugi. Sebab, keuntungan yang sudah mereka reguk selama 4 dekade jauh lebih besar dari US$ 200 miliar. Tapi sejak itu, muncullah “strategi tembakau” (tobacco strategy), yang digunakan oleh banyak orang untuk kepentingan yang berbeda-beda. Jurusnya sederhana: temukan celah dalam suatu riset yang dianggap merugikan (padahal, karena sifat ilmu pengetahuan yang terbuka dan terus berkembang, tidak ada satu riset pun yang bisa menarik kesimpulan definitif mengenai apapun dan karenanya selalu ada celah untuk ‘ditantang’), sebarkan ‘kelemahan’ riset tadi secara besar-besaran lewat media untuk menimbulkan kesan “kebenaran tidak pernah tunggal”, lalu lakukan lobi terhadap pengambil kebijakan dan pemerintah. Beres.
Isu global warming, lingkungan, polusi dan hal-hal besar lainnya adalah contoh yang lain. Perusahaan minyak, perusahaan logging, dll banyak mensponsori ‘riset alternatif’ untuk menegasikan klaim global warming dan isu lingkungan lainnya yang memang tidak mngkin dibuktikan secara definitif. Lah, bumi bulat saja tidak bisa dibuktikan bukan?
Post-truth adalah fenomena yang merupakan perkembangan lebih lanjut dari science denial ini.
Ketika logika post-truth sudah dianggap lazim, penjelasan pakar dan fakta obyektif apapun yang tidak sejalan dengan keyakinan atau perasaan seseorang/suatu kelompok ketika kepentingan mereka dipertaruhkan, dengan enteng mereka akan menolak argumen atau fakta yang disampaikan oleh pakar yang punya otoritas paling mapan dalam bidangnya sekalipun.
Mungkin itulah sebabnya, si polisi melarang pengemudi ambulans membunyikan sirine di Medan seperti dalam berita di atas. Mungkin karena ia tidak begitu percaya lagi kepada sopir ambulans, mungkin karena ia tidak mau repot harus menyuruh pengendara lain untuk minggir di kota yang lalu-lintasnya demikian semrawut, mungkin karena sebab lain. Yang jelas, sekarang makin banyak orang yang dengan mudah menegasikan apa yang disebut kenyataan obyektif dan penjelasan ilmiah seorang pakar atau mereka yang sudah jelas dijamin otoritasnya oleh hukum.
Lalu, bagaimana mengatasi disintegrasi otoritas akibat fenomena post-truth yang potensial menimbulkan kekacauan sosial ini?