Sedang Membaca
Resensi Buku: Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis
Boy Ardiansyah
Penulis Kolom

Guru Madrasah, Mahasiswa Pascasarjana Institut Pesantren KH Abdul Chalim Pacet Mojokerto.

Resensi Buku: Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis

Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis

Buku ini merupakan hasil kajian dan penelitian yang dilakukan oleh el-Bukhari Institute. Hampir semua penulis adalah santri dari Prof. Dr. KH Ali Mustafa Yaqub, MA. Seorang ulama ahli hadis yang pernah menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta. Semasa hidupnya, KH Ali Mustofa tidak pernah lelah dalam memberikan pencerahan dan meluruskan pemahaman masyarakat terkait hadis Nabi SAW. Abdul Karim Munte dan kawan-kawannya menerbitkan buku ini salah satunya adalah sebagai bentuk merawat perjuangan yang telah di rintiss oleh KH Ali Mustafa Yaqub.

Prof. Dr. KH Said Aqil Husin al-Munawar, MA Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sebagai penulis pengantar ahli menulis dengan judul “Merawat Metode Ulama Dalam Memahami Hadis”. Dalam pengantar ini beliau mengatakan bahwa buku “Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis” memberikan sumbangan tentang peran penting metode pemahaman dan pemahaman ulama muktabar dalam memahami hadis. Bukan saja dengan memahami arti tekstual hadis, lalu mencocok-cocokkannya dengan kenyataan social politik begitu saja. Para penulis buku ini juga berupaya keras menghadirkan pendapat para ulama dalam memahami hadis-hadis Nabi SAW, yang sering  diabaikan oleh banyak umat Islam dalam proses memahami hadis.

Sebagai prolog dalam buku ini adalah Yenny Zannuba Wahid, Direktur Wahid Foundation. Menurut Yeny Wahid, yang menarik dalam buku ini adalah suguhannya mengenai hadis-hadis terkait tema-tema penting yang mungkin sering didengar masyarakat namun tidak diketahui secara detail konteks dan pemaknaanya secara tepat. Kajian-kajian semacam ini bagi kami harus terus dilakukan dan hasilnya harus bisa disebarkan secara lebih massif melalui medium-medium yang kreatif seperti gambar atau audio-visual. Kami berharap melalui karya-karya semacam ini narasi damai tentang Islam makin menguat dan memberi kontribusi besar bagi kehidupan toleransi di Indonesia.

Baca juga:  Catatan Yahya Cholil Staquf: PBNU, Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama

Dalam buku ini di jelaskan bahwa IS melakukan propaganda jihad merujuk pada hadis Riwayat Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW, berkata :

“Siapa yang wafat dan tidak pernah berperang serta tidak terlintas sedikitpun di hatinya untuk perang, makai a mati dalam kondisi munafik.” (H.R. Muslim)

Berdasarkan hadis ini, IS mengklaim orang yang semasa hidupnya tidak pernah berjihad atau minimal niat jihad, maka dia mati dalam keadaan munafik. Secara umum, hais ini dihukumi Shahih oleh mayoritas ulama, apalagi diriwayatkan oleh Muslim Ibn Hajjaj, al-Baihaqi,dan ulama hadis senior lainnya. Kendati demikian, hadis ini tidak dapat dipahami secara tekstual dan literal. Supaya mendapatkan pemahaman yang utuh terhadap hadis di atas, perlu dilakukan penelusuran terhadap latar belakang sabda Nabi itu, sebab tidak semua hadis shahih berlaku umum, dapat di terapkan pada semua kondisi, dan harus diamakan oleh setiap orang.

Menurut Ibn Mubarak, hadis ini tidak berlaku umum dan hanya boleh diterapkan pada situasi perang. Memahaminya secara mentah-mentah, tanpa kritis, dan mengamalkannya pada situasi damai adalah sebuah kekeliruan.

Dalam buku ini juga di jelaskan apakah penggunaan bendera bagian syariat atau bukan? Menurut KH Ali Mustafa, ada dua indikator yang yang dapat digunakan untuk membedakan syariat dan bukan syariat di dalam memahami hadis Nabi SAW.: Pertama, apabila amalan tersebut hanya dilakukan oleh umat Islam dan tidak dilakukan agama lain berarti itu bagian dari syariat ; kedua, jika sebuah perbuatan dikerjakan oleh semua orang, baik Muslim maupun non-Muslim, dan sudah ada sejak sebelum kedatangan Islam, maka perbuatan tersebut bukanlah termasuk syariat Islam, melainkan termasuk budaya.

Baca juga:  Wajah yang Haram Ditampakkan

Berdasarkan dua indicator ini dan sekaligus merujuk pada fakta sejarah, bendera bukanlah bagian dari syariat Islam karena sudah ada sebelum kedatangan Islam dan digunakan oleh semua pasukan perang, baik Muslim atau non-Muslim. Ibn Khaldun menjelaskan, memperbanyak bendera, memberi warna dan memanjangkannya, hanya semata-mata untuk menakuti musuh dan kepentingan politik suatu pemerintahan.

Selanjutnya hadis yang diluruskan dalam buku ini adalah hadis yang di riwayatkan Abu Hurairah r.a. di mana beliau menceritakan bahwa Rasul SAW melarang umat Islam memulai salam kepada non-Muslim (Yahudi dan Nasrani) serta menganjurkan umat Islam untuk memaksa mereka menepi saat berpapasan di jalan. Berikut petikan hadisnya:

“Janganlah kalian memulai salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani! Apabila kalian bertemu dengan salah seorang dari mereka di sebuah jalan, maka paksalah ia agar menepi ke pinggir jalan”(H.R. Ahmad, Muslim, dan lain-lain).

Secara literal hadis ini terkesan rasis dan diskriminatif. Al-Thabari melalui sebuah Riwayat yang berasal dari Sufyan Ibn ‘Uyainah menyebutkan bahwa boleh saja memulai salam terhadap kafir zimmi karena mengamalkan keumuman firman Allah SWT. Sebagai berikut :

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berlaku adil”(Q.S AL-Mumtahanah/60 : 7).

Baca juga:  Perempuan yang Bermukim di Literasi

Ayat ini juga dikutip oleh Yusuf al-Qardhawi dalam karyanya Fi Fiqh al-Aqalliyat al-Muslimah  Ketika membolehkan Muslim mengucapkan salam kepada non-Muslim sebagai upaya menjaga perdamaian antar umat manusia.

Judul Buku      : Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis

Penulis             : Abdul Karim Munte, dkk

Penerbit           : Yayasan Pengkajian Hadits el-Bukhari

Tebal               : 165 halaman

ISBN               : 978-602-74686-2-7

 

Buku bisa dipesan lewat admin Alif.id

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top