Tak banyak orang Barat, dalam hal ini Belanda, yang sedemikian setianya pada gurunya yang sekedar seorang Jawa yang inferior tatkala mereka menjadi kelas dominan di Nusantara. Carel Frederik Winter merupakan salah seorang di antaranya. Winter datang ke Jawa sebagai seorang ahli linguistik yang tentu saja menjadi bagian dari garda terdepan agenda kolonialisasi Belanda di Nusantara.
Meskipun jauh lebih tua, Winter terkesan sayang sekali pada gurunya yang ia anggap sebagai anaknya sendiri. Pepatah Jawa “kebo nyusu gudhel” (orang tua yang belajar pada anaknya) terasa mengena untuk melukiskan hubungan antara Winter dan Ronggawarsita. Dalam salah satu suratnya Winter memanggil Ronggawarsita dengan sebutan “Anak” dan mengatasnamakan dirinya sendiri sebagai “Ramanta” (Ayahanda).
Ketika saya berkunjung ke makam Ronggawarsita di Desa Palar, Trucuk, Klaten, terdapat sebuah makam yang bentuknya sangat berbeda dengan makam-makam yang lainnya. Ia terlihat seperti seonggok tugu yang memiliki cungkup atau bangunan yang memayungi makam. Pada tugu itu terdapat keterangan bahwa makam itu merupakan makam C.F. Winter yang dipindahkan untuk mengikuti gurunya, Ronggawarsita. Makam ini terletak di jalan setapak yang menuju bangunan makam Ronggawarsita dan kedua isterinya.
Kedekatan antara Winter dan Ronggawarsita tak sekedar tercermin dari kompleks pemakaman yang sama. Beberapa korespondensi keduanya menunjukkan hubungan yang tak biasa sebagaimana yang telah saya singgung. Salah satu korespondensi yang menggelitik saya adalah ketika Winter menanyakan tentang arti dari sebuah penggalan deskripsi dalam salah satu karya sastra Jawa.
“Anak Raden Ngabei Ranggawarsita, kula anedha pitulung nerangaken ingkang kasebut ing ngandhap punika.
‘Kongas mengas tumameng ganda mrik/ widening dalu menuhi grana/ graitenging tyas rarase/ wangwang wangunan wungu/ wonga-wonganing dyah kaeksi/ wus kawawas jroning tyas/ wiweka kawetu.’
Punika panedha kula mugi sampeyan jarwani ingkang terang. Kalih dening malih kula sampun anampeni jarwanipun rajatatu, ingkang punika sakalangkung tarima kasih kula ing sampeyan.
Ramanta kang tresna tuhu,
Winter.”
Dalam salah satu suratnya ini Winter meminta untuk diterangkan perihal arti dari sebuah ungkapan deskriptif yang lazim ditemui dalam kesusastraan Jawa. Dan memang, salah satu kekhasan kesusastraan Jawa klasik saya kira adalah pada deskripsi atas lokasi, suasana maupun tokoh-tokohnya yang sangat detail sebagaimana pula yang tampak pada sastra pedalangannya yang hiperrealistis (Paceklik yang Tak Terbetik, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).
Dari jawaban atas permintaan Winter ini dapat diketahui imajinasi dari seorang Ronggawarsita. Barangkali, Ronggawarsita akan terkekeh sebagaimana orang-orang pedesaan tradisional yang menjelaskan perihal “apem” pada orang-orang urban modern yang tak akrab dengan bancakan atau slametan. Barangkali, ketika mendengarkan deskripsi tentang “apem,” asosiasi orang-orang urban modern akan mengaitkannya dengan “vagina.” Persis juga sebagaimana orang-orang urban modern di masa sekarang yang akan terkekeh ketika mendengar istilah “baby” untuk menyebut kekasihnya yang akan dimaknai sebagai “bayi” yang terkesan menghina bagi orang-orang pedesaan tradisional.
Namun demikian, sebagai seorang “anak” yang sekaligus adalah guru dari Winter, Ronggawarsita tetap menerangkan permintaan “ayah” sekaligus muridnya itu dengan sopan.
“Kawula nuwun, menggah tegesipun ing ngandhap punika.
‘Kaambet mulek lebeting ganda amrik/ wangi ing sadalu ngebeki grana/ anangekaken manah esthanipun supados nunten enggala wungu/ susunipun tiyang estri ingkang katingal/ sampun ngantos kacipta salebeting galih/ wiweka kawedalena.’
Kawula nuwun atur sembah sungkem kawula pun Ngabei Ranggawarsita.”
Ketika menyimak penafsiran Ronggawarsita atas ungkapan deskriptif itu terlihat betapa imajinasi sang pujangga terakbar Jawa membiakkan bentuk imajinasi lain yang mungkin sama sekali berbeda dengan konteks ungkapan deskriptif tersebut. Yang cukup menggelitik saya adalah asosiasi Ronggawarsita atas kalimat “wonga-wonganing dyah kaeksi” yang secara harfiah sebenarnya bermakna “keterbukaan perempuan yang terlihat.” Ibarat perempuan berhijab yang tiba-tiba menyingkapkan hijabnya.
Namun demikian, Ronggawarsita menafsirkan kalimat itu sebagai “susunipun tiyang estri ingkang katingal” atau “payudara perempuan yang menyembul keluar.” Apakah imajinasi Ronggawarsita sebegitu “rendah”-nya hingga ia memaknainya seperti itu? Bagi orang-orang puritan yang tak terbiasa dengan kesemuan kesusastraan Jawa yang memang terkenal halus sehingga melahirkan ungkapan “Jawa nggone semu,” tentu ungkapan deskriptif tersebut terasa “rendah” ketika ukuran kerendahan itu adalah pada eksploitasi hal-hal yang berbau seksual.
Orang-orang puritan yang memang terkenal pula dengan “kedangkalan” pemahaman ataupun pemaknaannya, tentu akan memaknai secara keseluruhan ungkapan deskriptif tersebut sebagai “cabul” ketika kata kuncinya adalah pada pemaknaan Ronggawarsita perihal “wonga-wonganing dyah kaeksi” sebagai “susunipun tiyang estri ingkang katingal.” Seumpamanya ketika dirangkai dengan kalimat sebelumnya yang ditafsirkan Ronggawarsita sebagai “anangekaken manah esthanipun supados nunten enggala wungu” atau membangunkan hati agar kemudian cepatlah bangkit berdiri. Apalagi ketika dikaitkan pula dengan kalimat sesudahnya, “sampun ngantos kacipta salebeting galih/ wiweka kawadalena” atau jangan sampai muncul pada angan semata, segera keluarkanlah. Tentu, ungkapan ini hanyalah sekedar ungkapan yang membangkitkan syahwat belaka.
Saya kira, apa yang dilakukan oleh seorang Ronggawarsita bukanlah sebentuk ekspresi otak kotor atau imajinasi rendah atas sebuah ungkapan pasemon. Dari penjelasan Ronggawarsita pada Winter dapat diketahui bagaimana kecerdasan seorang buyut Yasadipura itu dalam menjelaskan hal-hal yang terkesan rumit dan tak akrab secara efektif. Terkadang, saking dekatnya, orang menjadi lupa atas suatu hal yang sama yang diungkapkan dengan bahasa yang berbeda.
Taruhlah perihal istilah “ngelmu kasampurnan” ataupun istilah “sangkan-paraning dumadi” dalam kebudayaan Jawa yang kerap dilabeli sebagai “abangan” oleh orang-orang yang lupa yang sebenarnya hanyalah parafrase dari ilmu dan laku ibadah haji, sehingga karenanya menjadi sebuah kontroversi (Jenar dan Ortodoksi Tak Tahu Malu, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Suatu hal dianggap kontroversial tak semata disebabkan oleh tubrukan atau overlapping dua dunia atau dua perspektif yang berbeda. Kerapkali kontroversi juga lahir seperti halnya seorang yang mencari-cari kacamata yang sebenarnya tengah menempel di ubun-ubunnya. Dengan kata lain, kontroversi seringkali juga terjadi ketika orang lupa pada hal-hal yang sejatinya dekat sehingga saking dekatnya menjadi terlupakan dan ketika sesuatu yang dekat itu diungkapkan dengan bahasa yang berbeda akan secepat kilat melahirkan reaksi.
Oleh karena itu, untuk menjelaskan sebuah ungkapan atas sesesap suasana rumit yang memesona—seperti kondisi penyatuan dengan alam—yang diungkapkan dengan bahasa kawi, campuran bahasa Jawa kuno dan sansekerta, pada seorang Belanda yang baik secara geografis, kultural maupun satrawi tak akrab dengan suasana yang dicandra, cukuplah anak Mas Pajangswara itu menjelaskan rasa yang timbul ketika menghadapi susu perempuan yang menyembul keluar.