Sedang Membaca
Pribumisasi Ilmu Ke-Islam-an Sosial: Tanggapan untuk Amin Mudzakkir
Ahmad Suaedy
Penulis Kolom

Dekan Fakultas Islam Nusantara UNUSIA. Peneliti Islam Asia Tengara, menyelesaikan S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menulis beberapa buku.

Pribumisasi Ilmu Ke-Islam-an Sosial: Tanggapan untuk Amin Mudzakkir

Whatsapp Image 2020 07 14 At 4.27.05 Pm

Seorang sejarawan Belanda pernah menulis bahwa, usaha dekolonialisasi penulisan sejarah Indonesia digagalkan oleh elit Indonesia sendiri karena ketergantungan mereka kepada kolonial dan asing. Saya kira statemen tersebut bukan isapan jempol.

Dalam pandangan saya pribumisasi dalam keilmuan baik keilmuan Islam maupun sosial adalah searti belaka dengan dekolonialisasi. Dekolonialisasi dari Barat maupun dari hegemoni keilmuan Islam terutama aliran dengan apa yang disebut Islam modernis. Keilmuan modernis dalam Islam cenderung hendak membuang legacy keilmuan substansi dan metodologi Islam klasik dan meloncat ke substansi dan metodologi Barat modern. Ini misalnya berbeda dengan post tradisional Islam yang hendak menghidupkan kembali warisan keilmuan klasik Islam dalam merespon perubahasan sosial di mana keilmuan Barat sebagai bagian dari usaha tersebut. Keilmuan Islam klasik yang dimaksud adalah keilmuan yang secara historis justru menjadi akar dari kemajuan Barat saat ini.

Namun, dekolonialisasi juga tidak dengan sendirinya membenci dan menolak sama sekali keilmuan Barat melainkan menempatkannya pada suatu bagian dari epistemologi dan metodologi keilmuan pribumi atau meminjam diskursus Edward Said yang lebih populer sebagai orientalism. Keilmuan yang mengkritisi atau mencari jalan lain dari orientalisme mungkin bisa disebut post orientalisme. Dalam konteks ini tiga kata pribumisasi, post kolonial dan post oriental, bagi saya, bisa dianggap setara dan bisa digunakan secara bergantian.

Baca juga:  Wahai Papua, Kami Mencintaimu dengan Cara Istimewa

Dengan mengikuti jalan pikiran W.B. Hallaq yang mengritik keras orientalisme Said, mengatakan bawah Said terlalu menjeneralisasi terhadap orientaslisme yang dianggapnya seluruhnya negatif  sehingga mengesankan orientaslime Said bukan lagi berada pada level keilmuan melainkan lebih ideologis anti orientalisme.

Hallaq mengatakan bahwa bagaimanapun orientalisme ada sisi bagusnya yang dalam hal tertentu memberi pencerahan dalam metodologi dan beberapa orientalis menulis dengan penuh empati dan memberi jalan pencerahan. Yang perlu dikritik dari orientalisme, kata Hallaq, adalah basis nilai keilmuan yang anti spiritual, dengan kata lain, sekularisme. Basis nilai dari keilmuan ini saya kira bukan hanya Islam tetapi ketimuran secara umum.

Dalam hal ini apa yang dikatakan Amin Mudzakkir tidak seluruhnya benar. Pribumisasi ilmu sosial mungkin benar sama sekali tidak mengikutkan agenda pribumisasi Islam tetapi pribumisasi Islam tidak bisa tidak mengikutikan upaya pribumisasi ilmu sosial, paling tidak yang dilakukan oleh kalangan Islam Nusantara. Dalam kajian Islam Nusantara deorientalisme atau dekolonialisasi menjadi basis komitmen sedangkan post kolonial menjadi metodologi dan pendekatan yang inhern di dalamnya.

Dalam perkembangan keilmuan Islam di Indonesia sekarang ini ada tiga tahap atau jenis pendekatan, yaitu pertama adalah orientalisme atau kolonialisme, suatu karya yang melahap habis nilai, ideologi dan metodologi Barat sekular. Dengan kata lain, Barat melihat Islam. Kedua adalah neorientalisme atau neokolonialisme, yaitu karya yang berusaha membangun perspektif Islam tetapi digunakan untuk melihat Islam itu sendiri.

Baca juga:  Pegon Jerman: Luput dari Penelitian

Sedangkan ketiga adalah, saya ingin menyebut, post orintealisme atau post kolonialisme Islam. Suatu karya atau riset dimana Islam digunakan untuk melihat isu-isu sosial politik pada umumnya. Dalam perspektif Islam Nusantara post kolonial sebagai bagian dari metodologi dan pendekatan pribumisasi Islam yang disebut post tradisional Islam. Meskipun post kolonialisme itu sendiri berasal dari Barat tetapi dari perspektif Islam Nusantara digunakan untuk melihat fenomena di luar diskursus Islam itu sendiri.

Dalam hal ini saya mengategorikan karya dari dua penulis tentang pluralisme NU yang disebut Amin itu sebagai karya yang berperspektif  kolonial atau orientalistik. Menggunakan analisis dari sejarawan yang dikutip di awal tulisan ini, itu disebabkan karena elit yang tidak tahan untuk melakukan pencarian perspektif diri sehingga mencantolkan diri ke asumsi-asumsi kolonial. Ketidakpercayaan diri seperti inilah yang digelisahkan oleh Ignaz Kleden dalam proyek pribumisasi ilmu sosial.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top