Sedang Membaca
Praktik Nahi Munkar bil Ma’ruf: Mengingat Bapak
Alim
Penulis Kolom

Direktur Institute of Disaster and Emergency Medicine (I-DEM). Meminati dunia seni dan buku. Tinggal di Jogjakarta

Praktik Nahi Munkar bil Ma’ruf: Mengingat Bapak

  • Bersama beberapa tetua kampung, Bapak mengembangkan kampung menjadi lebih hijau. Sebagai seorang insinyur, Bapak mengarahkan pembangunan mushala menjadi masjid yang cukup besar. Mulai dari perencanaan pembangunan, mengatur sirkulasi anggaran, hingga finishing pembangunan masjid dilakoni Bapak day by day.

Saya tumbuh di sebuah kampung “abangan”. Jauh sebelum saya lahir dan bertempat tinggal di situ, tingkat keabangan kampung itu cukup pekat. Ada beberapa preman yang namanya cukup dikenal di dunia persilatan perpremanan Jogja. Minuman keras, adu jago, dan lain-lain cukup marak.

Tersebutlah seorang tokoh masyarakat, kami memanggilnya Pak Wakidi. Beliau membina masyarakat kampung itu –sejauh yang saya ingat– sejak tahun 70an. Tahun itu tentu sebelum saya lahir. Jadi ketika saya kecil di situ sempat mengenal beliau, sempat salim dan cucup tangan beliau.

Menurut Bapak, namanya Sentot Hardwiyono. Pak Wakidi sangat sabar mengajar ngaji, menghidupkan musala dengan pengajian, tadarusan dan kegiatan lain. Musala tidak terlalu besar, tapi cukup memberi “warna hijau” di kampung kami, yang dominan abangan dan sebagian kuning (orde baru). Ceritanya Pak Wakidi melakukan “babad alas”. Bapak saya mengerti detail Pak Wakidi, karena sangat dekat.

Setelah Pak Wakidi meninggal dan keluarga kami sempat pindah kontrak dari satu ke tempat lain di seputaran Jogja –saya masih sekolah MTs/SMP– keluarga kami kembali ke kampung itu. Mungkin memang sudah takdir, atau mungkin juga karena doa Pak Wakidi, Bapak dapat tanah di situ sekitar 79 m2. Ya, mungkin doa Pak Wakidi karena Bapak saya pernah dititipi Pak Wakidi untuk melanjutkan penghijauan di kampung itu.

Baca juga:  Ngaji Gus Baha: Terapi Spiritual di Tengah Gencarnya Islam Bernada Sedih

Perjuangan dilanjutkan. Jadilah Bapak menjadi semacam ustaz kampung yang berperan seperti Pak Wakidi. Meski bukan lulusan pesantren, bekal ngaji Bapak sejak mahasiswa di berbagai pusat kajian, dan pernah menjadi Bapak Asrama mendampingi Kiai Dunuwi Hamim, menjadi modal yang baik.

Bersama beberapa tetua kampung, Bapak mengembangkan kampung menjadi lebih hijau. Sebagai seorang insinyur, Bapak mengarahkan pembangunan mushala menjadi masjid yang cukup besar. Mulai dari perencanaan pembangunan, mengatur sirkulasi anggaran, hingga finishing pembangunan masjid dilakoni Bapak day by day.

Dana jariyah diberikan oleh seorang tokoh di Jakarta yang punya hubungan darah dengan kampung itu, dan memberi kepercayaan kepada Bapak dengan amat sangat sangat percayanya. Mungkin karena manyandang gelar pengganti Pak Wakidi.

Selain fisik, isi masjid makin baik. Jamaah makin ramai, kegiatan masjid makin banyak, TPA punya banyak santri, pengajian ibu-ibu, pengajian bapak-bapak sangat rutin. Kalau dulu pengelolaan Idul Adha dan kurban tidak tertata, sebagian daging hilang entah ke mana, transparansi penerima daging belum baik, makin kesini makin baik.

Meski Bapak orang Muhammadiyah, justru Bapaklah yang memiliki ide agar salat Idul Fitri dan Adha dilaksanakan di masjid itu, bukan di lapangan yang jaraknya lumayan jauh seperti sebelum-sebelumnya. Tak lain dan tak bukan, untuk menghidupkan dan melanggengkan iklim relijius kampung kami. Masjid menjadi sentra kegiatan dan kebudayaan kampung kami, kampung yang dulunya abangan.

Baca juga:  Di Rumah, Kami Belajar Bersama Sebuah Arti Kemaslahatan Bersama

***

Pernah suatu malam, tak jauh dari rumah, beberapa orang, ada yang remaja ada yang sudah setengah baya, preman lah… Kongkow-kongkow hingga larut malam. Suara tawanya bisa terdengar sampai depan gang: nyanyi-nyanyi, main kartu, amat bising.

Dan, rupanya ada minuman keras juga menemani mereka. Ini sudah berlangsung beberapa kali dan berpindah-pindah tempat di kampung kami.

Saat itu karena dekat dari rumah, kami makin terganggu juga karena nggak bisa tidur. Apa yang dilakukan Bapak?

Bukan mengusir, bukan manggil laskar (waktu itu belum ada FPI) untuk “menyatroni” mereka meski Bapak sangat bisa melakukannya karena memang punya akses ke laskan. Saat itu Bapak keluar rumah dan duduk-duduk saja di depan rumah, kadang melihat ke arah mereka. Ya, cuma begitu.

Lama kelamaan tawa mereka memelan. Gitar mulai ditaruh. Main kartu berhenti dan mereka hanya ngobrol-ngobrol, itupun nggak lama. Akhirnya satu-satu pergi. Ada satu orang yang mendekati Bapak, sedikit basa-basi menyapa Bapak dengan cara bicara yang agak ngelantur.

Ia menyampaikan minta maaf kalau bising dan mengganggu. Bapak menyampaikan beberapa hal, lalu orang itu pamit.

Sejak malam itu, tidak ada lagi kebisingan oleh mereka.

Apakah mereka menjauh? Tidak. Beberapa kali di antara mereka datang ke rumah, bertamu baik-baik menemui Bapak dengan pakaian rapi. Ada yang konsultasi pekerjaan, di lain kesempatan ada yang curhat keluarga, minta bantuan, ada juga yang minta diajari ngaji…

Tidak, Bapak tidak pernah menghardik mereka, tidak pernah mengusir mereka, tidak pernah sekalipun mengerahkan massa meski mungkin di mata orang perilaku mereka adalah penyakit masyarakat.

Yang dilakukan Bapak dan para tetua masjid adalah membangun iklim yang relijius dan nyaman, mulang ngaji, menata aktivisme di masjid, membantu kalau ada warga yang membutuhkan dan lain-lain.

Semua itu akhirnya mengubah budaya kampung kami dan terbukti mencegah keburukan, Nahi munkar, di antara mereka. Saya amat bersyukur dan berbahagia pernah mendampingi Bapak, meski hanya menjadi teman diskusi yang tak punya amal apa-apa.

Baca juga:  Jaga Jarak; Antara Sindrom dan Kompetensi Budaya

Bapak sudah Pulang ke Rahmatullah, mungkin ketemu Pak Wakidi di alam sana dan sedang ngobrol ceria sambil ngopi atau ngaji.

Allahumaghrilahuma, Ya Allah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top