Beberapa netizen mengira judul “Menonton” Film Iran semacam program menonton film Iran. Mohon maaf, yang tertera di flyer yang kami edarkan kemarin adalah program tiap pekan Alif.ID: Sajian Khusus, yang disajikan dalam bentuk esa-esai serial. Namun siapa tahu, di kemudian hari, setelah pandemi “dianggap” selesai, kami bisa menggelar Sajian Khusus berupa apresiasi film.
Kami tidak menyalahkan mereka yang keliru membaca. Kami mengartikan itu semacam kerinduan menonton film Iran secara bersama-sama, berkumpul, berdiskusi, sambil menyuruput teh atau kopi. Penjarakan fisik dan sosial sejak pertengahan Maret lalu memang bikin kita rindu banyak hal, salah satunya nobar film bermutu.
Kami memilih kata “menonton” dengan beberapa alasan. Pertama, enam dari sekitar delapan esai yang akan kami sajikan berisi ulasan film Iran. Enam esai tersebut semacam rekomendasi subyektif dari dua penulis kami yang tinggal di Teheran/Tehran: Afifah Ahmad dan Purkon Hidayat.
Kedua, film Iran terasa pas ditonton di rumah masih-masing bersama keluarga tercinta di masa pandemi ini. Film ini tidak saja mengaduk-aduk emosi kita, namun diharapkan memupuk empati kita di masa pandemi. Ya, empati harus dipupuk, dengan ikhtiar, seperti juga iman yang harus dijaga dengan melaksanakan rukun-rukun agama. Empati, sebagaimana juga keimanan, sesungguhnya bukan sesuatu yang given. Ia perlu dipelajari, dipupuk, dirawat.
Dan film-film Iran yang mulai diperbincangkan tahun 1990an di negeri ini, serasa pas kita tonton. Kenapa film iran digemari di sini?
“Keberpihakan pada kemanusiaan (utamanya masyarakat kelas bawah) seperti ini banyak pendukungnya karena sangat berkorelasi dengan kehidupan di Indonesia, yang juga membutuhkan keperpihakan banyak pihak,” tulis Ivvaty saat menyinggung sineas besar Iran bernama Majid Majidi, yang sangat terkenal di publik kita.
Sarujuk dengan Ivvaty, dua penulis kita –Afifah Ahmad dan Purkon Hidayat– dalam enam esainya juga menonjolkan sisi kemanusiaan film-film Iran, mulai dari film lama berjudul Karkheh to Rhein karya Ebrahim Hatamikia (Hatamikia tahun lahirnya sama dengan sineas kita Garing Nugroho, 1961) hingga film karya teranyar sutradara besar Majid Majidi (Majidi lahir tahun 1959, dua tahun lebih muda dari Hatamika dan Garin) yang berjudul The Sun (2019). The Sun diganjar sebagai film terbaik dalam festival Festival Film Fajr ke-38. Festival ini diadakan Februari 2020, kira-kira sepekan setelahnya, Iran lockdown. Mengharukan!
Sebagai penutup, Alif.ID akan menyajikan tulisan seorang esais dan sutradara muda berlatar belakang santri: Nurman Hakim. Apa yang ia kemukakan? Tunggu saja.
Tidak seperti Sajian Khusus, sebelumnya yang ditayangkan Rabu saja, kali ini kami akan menayangkan dari Rabu ini hingga Jumat. Akhirul kalam, kami mengucapkan terima kasih banyak buat para penulis, Afifah Ahmad, Purkon Hidayat, Susi Ivvaty, dan Nurman Hakim, juga pada ilustrator Alif Nurul Fajri.
Kepada para pembaca, semoga dapat menikmati sajian ini. Dan semoga berfaedah!
Salam takzim.