Sedang Membaca
Menonton Film di Festival Madani, Menangkap Kehidupan Kemanusiaan
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Menonton Film di Festival Madani, Menangkap Kehidupan Kemanusiaan

Madani Film Festival atau Festival Film Madani ke-2 Tahun 2019 sudah dibuka pada 21 Oktober 2019 di Epicentrum XXI oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, dilanjutkan pemutaran film Yomeddine, karya sutradara Mesir A.B Shawky. Festival film dengan tema Reconcile atau Ishlah ini hendak mengajak para penonton untuk bersama-sama menangkap kehidupan kemanusiaan dari banyak dimensi melalui pernyataan para sutradara/pembuat film. Seperti namanya, festival ini mengajak kita semua untuk menjejaki jalan madani, jalan peradaban.

Garin Nugroho sebagai seorang dari tujuh anggota Dewan Festival menegaskan, politik identitas yang terjadi belakangan ini telah mempengaruhi banyak hal dan memicu perilaku radikal di ruang publik. Ketika kita memasuki revolusi teknologi 4.0, kita seperti memasuki revolusi yang penuh kata-kata yang serba hitam-putih, sangat kasar, dukung mendukung sesuatu yang tidak memberikan rasa hormat kepada masyarakat.

Maka itu, Festival Film Madani, karena mengandung kata peradaban, maka hal yang paling penting adalah upaya membawa kita kembali kepada peradaban. “Setiap kali menonton film di festival ini, kita  masuk ke dalam apa yang disebut susastra, perasaan-perasaan terkecil manusia untuk menangkap kehidupan kemanusiaan dari banyak dimensi dari para sutradaranya,” kata Garin.

Tidak ada  jargon hitam putih, kata-kata vulgar, kata-kata penuh doktrin merajalela, yang semuanya bersumber serta bermuara pada kekerasan dan perang. “Lewat film ini, festival ini, kita kembali kepda jalan madani yaitu jalan peradaban. Dalam susastra, film menjadi penting, karena membawa pada perasaan-perasaan terkecil kemanusiaan,” tegas Garin lagi, dengan penuh penekanan.

Baca juga:  Sekitar 2000 Penonton Kunjungi Festival Film Madani 2019
Inayah Wahid membaca cerpen

Beragam, Menyatukan

Anies Baswedan menitikberatkan kepada pesan yang diusung festival ini, yang menurut ia  sangat menarik, yakni rekonsiliasi.  Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah jika difasilitasi lebih jauh,  agar bisa memantik para sineas di dalam negeri,  lalu terjadi pertukaran pengalaman,  ide, dan imajinasi yang muncul setelah itu festival ini.

“Kita menyadari persis,  yang disebut sebagai reconcile adalah hasil usaha. Ketika ada diversity (keberagaman), jangan lupakan unity (persatuan). Diversity over unity, dan unity adalah hasil usaha, sedangkan diversity itu  bawaan kita.  Kita semua agar menyadari pentingnya unity,” kata Anies.

Bagi Anies, imajinasi itu sangat penting.  Penonton film akan tertawa pada imajinasi pembuat film. Oleh karena itu, alangkah senang jika kita bisa mendapatkan film internasional yg bermutu, karena tidak mudah memilih film yang bermutu.

“Film Hollywood sangat dominan.  Padahal, banyak film bagus lain yang diputar di festival-festival  dunia, film yang membawa kehidupan keseharian yang lebih induktif,  yang menjalankan prinsip-prinsip Islam yang memunculkan diversity yang unik.  Sebaliknya, kita juga ingin film Indonesia menjadi film yang mempesona di negeri orang,” kata Anies.

Direktur Festival Film Madani Sugar Nadia bersukacita atas bertambahnya jumlah film dan tempat pemutaran film pada fetival kedua ini, termasuk juga bertambahnya para pendukung. Tempat pemutaran film meliputi Epicentrum XXI, CGV FX, @America, BINUS University Alam Sutera, Indiskop, American Corner Institut Teknologi Bandung, Institut Francais d’Indonesie (IFI) Thamrin, American  Corner Universitas Muhammadiyah Malang, dan BINUS University Kampus JWC.

Baca juga:  Omisijan dan Kidungan Sang Sunan

Sugar menekankan, festival ini membawa semangat merayakan keberagaman masyarakat muslim dunia, namun tidak bermaksud menjadi eksklusif hanya untuk masyarakat muslim saja. Festival ini juga hadir untuk merayakan keberagaman, merayakan kemanusiaan. Tujuh anggota Dewan Festival Festival Film Madani 2019 meliputi Ekky Imanjaya, Garin Nugroho, Hikmat Darmawan, Inayah Wahid, Krisnadi Yuliawan, Chiki Fawzi, dan Putut Widjanarko.

Hikmat menekankan pada dunia kita yang seperti semakin sukar mendamaikan iman dan ilmu. Agama menjadi hanya wilayah emosional, nalar rasional dianggap di luar (dan malah mengancam) agama. Fakta sukar dipercaya, dunia konon telah menjadi semesta pascakebenaran. Media dan media sosial kini jadi ajang pengerasan konflik horizontal.

Oleh karena itu, film memiliki potensi menjadi jembatan dalam sengkarut itu. Film bisa menjadi media bagi percakapan gagasan-gagasan. Dunia-dunia para tokoh yang hidup di layar bisa dihadirkan dalam keberbagaiannya, sekaligus dihadirkan dalam sebuah bingkai yang akan dilihat oleh banyak mata penonton. Di dalam bingkai kamera yang disorotkan ke layar, iman dan ilmu bisa didialogkan.

Putut Widjanarko menekankan hal  senada, bahwa festival ini turut menyumbang dalam diskusi mengenai Islam di ruang publik. Membicarakan Islam bukan melulu soal tafsir  atau hukum agama, mazhab, dan sebangsanya, namun bisa dalam wadah dan perspektif yang berbeda, yakni budaya. Melalui film, orang bisa melihat dan belajar mengenai kehidupan keberagamaan di luar Indonesia, yakni Mesir, Malaysia, Iran, Amerika Serikat, hingga Afganistan.

Baca juga:  "Yomeddine" (Pembuka Festival Film Madani): Perbedaan itu Menyatukan Hati

Yuk, nonton film-film bagus dalam Festival Film Madani 2019. Jadwal lengkap bisa dilihat di Instagram @madanifilmfest dan @alif__id. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top