Kalau kita ngobrol dengan Gus Muhammad Zaki Hadziq, kombinasinya unik. 40 persen ilmu, 30 persen tentang NU, 30 persen guyon bermutu tentang dunia pesantren. Nggak ada joke jorok, isinya canda tawa berkelas dan, sebagaimana lazimnya humor gaya pondokan, kita diajak menertawakan diri sendiri.
Gus Zaki hampir mirip dengan sepupunya, Gus Dur. Grapyak-semanak, pendengar yang baik, dan pembicara yang asyik. Kesamaan lain: sama-sama terampil mengambil hikmah/ibrah dari peristiwa sederhana lalu diulas dengan ilmu. Bedanya, Gus Dur mengulasnya melalui tulisan, Gus Zaki melalui lisan. Kalau sudah pernah ngobrol dengan Gus Zaki, biasanya keluar kisah-kisah tentang kesederhanaan orang-orang biasa yang punya pemikiran dan perbuatan luar biasa. Orang kecil dengan kontribusi besar. Gus Zaki biasanya juga mengulasnya di status fesbuknya.
Gus Dur dan Gus Zaki sama-sama cucu KH. M. Hasyim Asy’ari. Bedanya, Gus Dur melalui jalur istri Kiai Hasyim yang bernama Bu Nyai Nafiqoh, Sewulan, Madiun, sedangkan Gus Zaki dari jalur Bu Nyai Masruroh, Kapurejo, Pagu Kediri. Kalau kita menonton film Sang Kiai, di situ ada istri Kiai Hasyim yang akrab disapa Nyai Kapu—yang diperankan oleh Christine Hakim–, itulah Nyai Masruroh, neneknya Gus Zaki.
Pernikahan Kiai Hasyim-Nyai Masruroh, antara lain melahirkan Nyai Khadijah yang kemudian dinikahi oleh KH. Muhammad Hadziq Mahbub. Dari pernikahan ini lahir Gus Ishomuddin Hadziq, Gus Muhammad Fahmi Amrullah dan Gus Muhammad Zaki Hadziq. Gus Ishom terkenal sebagai salah satu cucu Kiai Hasyim yang paling cemerlang dan dianggap mewarisi kharisma dan keilmuan kakeknya. Beliau pula yang turut andil dalam mengumpulkan dan mentahqiq berbagai karya Kiai Hasyim sehingga bisa diterbitkan dengan judul Irsyadus Sari. Gus Ishom, yang digadang-gadang menjadi Rais Syuriah NU masa depan ini wafat di usia muda, 37 tahun, pada 2003. Kewafatan yang layak ditangisi sebagaimana dulu KH. A. Wahid Hasyim, wafat di usia 39 tahun.
Adik Gus Ishom, Gus Fahmi, kemudian menjadi pengasuh Pesantren Putri Tebuireng. Sedangkan adik bungsunya, Gus Muhammad Zaki Hadziq mengasuh pesantren yang berlokasi di depan Pondok Tebuireng. Namanya al-Masruriyah, dinisbatkan kepada nama Nyai Masruroh, neneknya, yang juga istri Kiai Hasyim. Selain mengasuh pesantren ini, Gus Zaki juga mengelola Pustaka Warisan Islam, penerbit yang fokus menerbitkan karya Kiai Hasyim Asy’ari. Dalam suatu kesempatan, Gus Zaki pernah bilang sambil bercanda. “Saya ini digojloki saudara para sepupu saya.”
“Kenapa, gus?”
“Nama penerbitnya kan Pustaka Warisan Islam, sama mereka disuruh mengganti nama menjadi Pustaka Warisan Kakak.”
Kami terbahak. Sebab, Maktabah Turats al-Islami atau diterjemahkan secara letterlijk menjadi Pustaka Warisan Islam adalah usaha yang dirintis oleh kakak Gus Zaki, yaitu Gus Ishom. Jadi, gojlokan itu memang pas. Setelah wafatnya Gus Ishom, Pustaka Warisan Islam yang bertanggungjawab dalam mengelola dan menerbitkan karya Kiai Hasyim Asy’ari dilanjutkan oleh Gus Zaki. Beliau juga bercerita jika bisa merawat Pondok al-Masruriyah dan juga merintis serta membangun SMP Terpadu Khadijah—yang juga dinisbatkan kepada ibunya—, antara lain berkat usaha jualan kitab.
“Selain itu dari jalur istighatsah,” kata Gus Zaki suatu ketika.
“Maksudnya, bagaimana Gus?”
“Ya, kalau saya kehabisan uang buat membangun pondok atau gedung SMP, saya ajak para santri istighotsah.”
Jadi, kemandirian yang pantas diacungi jempol.
Irsyadus Sari, kompilasi kitab karya Kiai Hasyim Asy’ari ini, memang semakin tebal dari tahun ke tahun. Sebab, hampir dua tahun sekali selalu ada manuskrip karya Kiai Hasyim yang baru ditemukan. Setelah ditelaah dan terbukti jika manuskrip itu karya kakeknya, Gus Zaki kemudian menyertakannya dalam cetakan terbaru. Untuk yang cetakan tahun ini total ada 22 kitab, disertai juga dengan peta sanad keilmuan Hadratussyekh.
Berbicara soal kitab ini, bersama Gus Ahmad Firdausi, sekretaris Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) Jawa Timur, saya sudah meminta kesediaan waktu beliau untuk memberikan ‘ijazah ‘ammah berbagai kitab dalam Irsyadus Sari, wirid serta istighasah susunan pendiri NU itu. Rencananya digelar di PP. Mabdaul Ma’arif Jombang-Jember pada 6 April 2020. Apa daya, Covid-19 yang melanda menggagalkan rencana ini.
Bahkan, terakhir kali saya berkomunikasi dengan Gus Zaki pada 26 Mei 2020 kemarin juga berkaitan dengan jual beli kitab. Saya mendapatkan pesanan 20 eks kitab Nurul Mubin fi Mahabbati Sayyidil Mursalin, karya KH. M. Hasyim Asy’ari, beberapa hari sebelumnya. Pesanan sudah saya sampaikan kepada Gus Zaki, namun belum sempat dikirim. Beliau meminta maaf dan mengaku jika kondisi kesehatannnya sudah 3 hari drop. Kemudian, melalui WA, dlaam kondisi yang tidak stabil, beliau melampirkan foto resi pengiriman. Sebuah profesionalisme yang layak diacungi jempol!
Dan, kemarin, saya tersentak dengan kabar kemangkatannya. Takdir memang tidak bisa dihindari, namun kenangan kebaikan dan kemuliaannya tetap pantas diingat dan diteladani.
***
Selain humor dan caranya menelisik hikmah dari peristiwa sekecil apapun, salah satu ciri khas lain Gus Zaki adalah tawadlu’-nya. Dari caranya berpakaian, bertutur kata, serta gesturnya saat mendengarkan orang lain berbicara, sudah tampak gambaran sikap yang nguwonge-wong. Karakter seperti ini, selain di bentuk dari ikilm keluarganya, juga dipengaruhi oleh guru yang sangat dia cintai, KH. Zuhri Zaini, pengasuh PP. Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, tempatnya menuntut ilmu.
Para sahabat selalu mengenang Gus Zaki dengan sifat mulianya, semangatnya dalam berkhidmah di NU dan dunia pesantren, sifat tawadlu’-nya, dan tentu saja berbagai humornya. Selamat jalan, Gus!