Sedang Membaca
Perilaku New Normal
M. Ishom el-Saha
Penulis Kolom

Dosen di Unusia, Jakarta. Menyelesaikan Alquran di Pesantren Krapyak Jogjakarta dan S3 di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Perilaku New Normal

1 A Keluarga

Pada dasarnya perilaku seseorang pada saat new normal tidak lepas dari keadaan individu yang bersangkutan dan lingkungan di sekitarnya. Perilaku berlebihan maupun prilaku tak wajar, seperti yang akhir-akhir ini muncul dalam pemberitaan media sosial, sebetulnya didorong atas motif tertentu yang mengakibatkan suatu perubahan dalam diri seseorang maupun kelompok.

Perubahan merupakan kegiatan atau proses yang membuat sesuatu pada seseorang berbeda dengan keadaan sebelumnya. Yakni perubahan yang muncul dan tampak berbeda antara sebelum dan pada saat new normal. Perubahan itu mencakup pengetahuan, sikap, perilaku, individual, dan perilaku individu maupun kelompok yang terjadi pada masa individu dan kelompok menjalani kenormalan baru.

Menurut Kurt Lewin, perubahan pada individu maupun kelompok itu disebabkan adanya force-filed sebagai kekuatan penekan yang bersifat alamiah (power-based), baik pada diri individual, kelompok, maupun organisasi. Sementara kekuatan tekanan (driving forces) selalu akan berhadapan dengan penolakan (resistences) untuk berubah. Dalam kondisi semacam ini perubahan dapat terjadi dengan memperkuat driving forces dan melemahkan recistences to change.

Lebih jelasnya, menurut Kurt Lewin proses perubahan terjadi melalui tahapan-tahapan berupa:
(1) Unfreezing, yaitu suatu proses penyadaran tentang perlunya, atau adanya kebutuhan untuk berubah, seperti kesadaran memutus mata rantai penyebaran virus Covid 19,
(2) Changing, merupakan langkah tindakan, baik merupakan driving forces maupun memperlemah resistances, seperti kesadaran melakukan physical distancing dalam segala aktivitas dan;
(3) Refrezing, membawa kembali kelompok kepada keseimbangan yang baru (a new dynamic equilibrium), seperti gerakan massal bekerja, beribadah, dan sekolah dari rumah.

Baca juga:  Pendidikan dalam Serat Wedharaga

Selain Kurt Lewin terdapat pendapat yang diutarakan Lippit. Dia mencoba mengembangkan teori yang disampaikan oleh Lewin dan menjabarkannya dalam tahap-tahap yang harus dilalui dalam perubahan berencana, yaitu: (1) Tahap inisiasi keinginan untuk berubah, (2) penyusunan perubahan pola relasi yang ada, (3) melaksanakan perubahan, (4) perumusan dan stabilisasi perubahan, dan (5) pencapaian kondisi akhir yang dicita-citakan.

Dalam konteks perubahan perilaku orang pada saat pemberlakukan PSBB maupun kenormalan baru sekarang ini, tak cukup dapat dipahami dengan melihat kepribadian individu yang melakukannya. Akan tetapi yang lebih penting adalah struktur tempat perilaku tersebut terjadi.

Saya ingin menyontohkan perilaku masyarakat di Cengakareng dengan Kalideres yang kebetulan berdekatan dengan tempat tinggal saya.
Kecamatan Cengkareng dinilai sukses melakukan PSBB dan New Normal dibandingkan Kecamatan Kalideres sebab mampu menekan penularan virus Covid 19.

Tahap yang disebut Refrezing mampu dikondisikan di Cengkareng: Bukan hanya tidak melakukan shalat jum’at dan tarawih di mushalla dan masjid, tetapi tradisi syawalan Betawi yang dikenal masih dipertahankan di Cengkareng, khusus tahun ini ditiadakan.
Para guru, ustadz, kiai, dan tokoh masyarakat dengan kesadaran mereka meniadakan acara open house yang biasanya dilakukan setiap lebaran. Kenapa hal itu tidak terjadi di Kalideres yang berdekatan dengan Cengkareng, sekalipun di wilayah itu terdapat tokoh-tokoh penting sekaliber DKI? Hal yang sama juga dapat dikaji antara provinsi Jawa Timur dan DKI Jakarta yang terus melonjak angka terpapar Covid 19 dengan provisnsi lainnya di pulau Jawa.

Baca juga:  Menelisik Wahabi (14): Debat Ayat-Ayat Mutasyabihat

Dengan pengertian lain prilaku individual senantiasa berhubungan dengan relasi interpersonal yang melahirkan sikap dan prilaku kolektif. Dalam relasi interpersonal itu ditandai dengan berbagai aktivitas tertentu, baik aktivitas yang dihasilkan berdasarkan naluriah semata atau justru melalui proses nalariah tertentu.

Sebagaimana dinyatakan oleh Krech et. al. (1962) bahwa untuk memahami perilaku sosial individu, dapat dilihat dari kecenderungan-kecenderungan ciri-ciri respon interpersonalnya, yang terdiri dari:
1) Kecenderungan Peranan (Role Disposition); yaitu kecenderungan yang mengacu kepada tugas, kewajiban dan posisi yang dimiliki seorang individu,
2) Kecenderungan Sosiometrik (Sociometric Disposition); yaitu kecenderungan yang bertautan dengan kesukaan, kepercayaan terhadap individu lain, dan
3) Ekspresi (Expression Disposition), yaitu kecenderungan yang bertautan dengan ekpresi diri dengan menampilkan kebiasaaan-kebiasaan khas (particular fashion).

Terutama kecenderungan peranan (Role Disposition) terdapat pula empat kecenderungan yang bipolar, yaitu: Pertama, Ascendance-Social Timidity yaitu kecenderungan menampilkan keyakinan diri, dengan arah berlawanannya social timidity yaitu takut dan malu bila bergaul dengan orang lain, terutama yang belum dikenal.

Kedua, Dominace-Submissive yaitu kecenderungan untuk menguasai orang lain, dengan arah berlawanannya kecenderungan submissive, yaitu mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain.

Ketiga, Social Initiative-Social Passivity yaitu kecenderungan untuk memimpin orang lain, dengan arah yang berlawanannya social passivity yaitu kecenderungan pasif dan tak acuh.

Baca juga:  Membongkar Misteri “Al-Ummi” Kanjeng Nabi

Keempat, Independent-Depence yaitu untuk bebas dari pengaruh orang lain, dengan arah berlawanannya dependence yaitu kecenderungan untuk bergantung pada orang lain.

Dengan demikian, perilaku sosial individu dilihat dari kecenderungan peranan (role disposition) dapat dikatakan memadai, manakala menunjukkan ciri-ciri respons interpersonal sebagai berikut: (1) yakin akan kemampuannya dalam bergaul secara sosial; (2) memiliki pengaruh yang kuat terhadap teman sebaya; (3) mampu memimpin teman-teman dalam kelompok; dan (4) tidak mudah terpengaruh orang lain dalam bergaul.

Sebaliknya, perilaku sosial individu dikatakan kurang atau tidak memadai manakala menunjukkan ciri-ciri respons interpersonal sebagai berikut : (1) kurang mampu bergaul secara sosial; (2) mudah menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain; (3) pasif dalam mengelola kelompok; dan (4) tergantung kepada orang lain bila akan melakukan suatu tindakan.

Berdasarkan paparan ini, individu yang hidup dalam struktur daerah yang dikatakan memadai tampaknya sulit beradaptasi dengan PSBB maupun New Normal. Sebaliknya individu yang hidup dalam struktur wilayah yang kurang memadai lebih mudah beradaptasi dengan PSBB maupun New Normal. Hal itu karena PSBB dan New Normal dipandang sebagai fase kesehatan masyarakat.

Akan tetapi jika yang dimaksud PPSBB dan New Normal adalah fase kesehatan ekonomi maka individu yang hidup dalam struktur daerah “memadai” seperti DKI Jakarta dan Jawa Timur tentu saja lebih siap dengan risiko kerentanan kesehatan sosial yang berat juga. Tinggal pilih yang mana?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top