“Anti Kadzab! (Anda pembohong!)” seruan itu terus didengung-dengungkan oleh sekelompok anak-anak dan remaja di komplek pengungsian Al Hol, Suriah kepada para wartawan yang datang meliput. Alih-alih menyapa jurnalis dengan baik, para pemburu berita justru kemudian diteriaki kafir dan dilempar batu. Mereka dianggap liyan meski sama-sama muslim dan telah mengenakan jilbab.
Respon yang didapati wartawan tersebut tentu sangat mengejutkan. Mereka tak mengira bahwa paham radikalisme pun menyusup dalam kepada generasi muda. Anak usia sekolah dasar hingga sekolah menengah yang diasumsikan pribadi yang masih suci dan berpikir polos kini bahkan sudah didaulat sebagai bibit teroris masa depan.
Ujaran kebencian yang dilancarkan oleh anak-anak muda tadi sejatinya mencerminkan fakta gelap bahwa doktrinasi sejak dini telah menjadi bagian strategi organisasi teroris untuk terus melancarkan aksinya. Bagi mereka, semakin awal diajarkan paham radikal, semakin mudah juga diarahkan ketika menginjak dewasa. Tak heran, beberapa waktu lalu kita menjumpai pelaku bom bunuh diri masih berusia belasan tahun seperti YF (18) dan FA (16) di Gereja Katolik Santa Maria Surabaya bersama orangtuanya.
Gerakan radikalisme yang mentargetkan remaja seperti mereka pun mempergunakan beragam cara, meski kedok hijrah melalui mentoring tersembunyi kerap dilakukan, namun itu bukan satu-satunya. Dalam perkembangannya, metode tutorial jelang ujian pun bisa menjadi gerbang awal masuknya doktrinasi radikalisme. Tapi ajakan memperdalam agama atau ‘hijrah’ sembunyi-sembunyi masih dominan diterapkan.
Hal ini sama seperti dialami oleh Yunita yang menceritakan pengalamannya melalui media sosial. Yunita kala itu mengakui hampir menjadi teroris akibat perjumpaannya dengan seorang perempuan yang minta dicarikan kamar kos. Pertemuannya tersebut ternyata tidak sebatas membantu sekilas saja. Usai dibantu, alih-alih sibuk dengan aktivitas masing-masing, si teman perempuan barunya tersebut justru semakin gencar untuk mengajak Yunita untuk belajar bersama terkait tafsir Al Quran yang sontak ia setujui karena pemahaman agamanya belum begitu mendalam.
Pada kesempatan berikutnya, kawannya tersebut mengajak seorang guru yang berusia sekitar 20an tahun untuk ke kamar kos Yunita dan mengajari mereka banyak materi tafsir. Tanpa menaruh curiga, Yunita dengan tekun menyimak semua yang ia ajarkan. Terlebih, tingkahnya sopan sekali, gaya bicaranya pun tenang dan meyakinkan membuat Yunita seakan terbius akan kata-katanya. Namun dalam ‘kelas privat’ tersebut, Yunita tidak diberikan kesempatan untuk bertanya. Ia hanya diminta membuka Al Quran, kemudian sang mentor akan memerintahkan untuk membaca surat sekian dan ayat sekian. Pembelajaran satu arah itu sebenarnya agak meragukan Yunita, namun karena ia penasaran, sepanjang ‘doktrinisasi’ ia hanya sanggup mengangguk takzim.
Kelas tafsir selanjutnya menerapkan metode sama, bedanya kali ini Yunita ‘dimanjakan’. Ia dijemput, bahkan difasilitasi dalam banyak hal. Di rumah guru barunya yang lengang dan jauh dari keramaian itu, ia kembali menerima banyak ajaran saklek. Salah satunya mengaitkan gambaran apel-apel dalam piring dengan kondisi negara, “bisa diibaratkan kita hidup sekarang layaknya apel yang ada dalam piring besar. Tentu di antara apel yang berkondisi bagus, ada juga yang busuk. Nah agar apel baik ini tidak tercemar, apel yang kondisinya buruk perlu disingkirkan. Dalam kondisi bermasyarakat, apel busuk ini disandingkan dengan orang kafir, atau orang yang tak sepaham dengan kita.”
Lewat papan tulis sederhana, Yunita juga diberikan perumpamaan lain: mobil yang sedang berjalan, namun di depannya ada jurang. Pada konteks Indonesia, dihubungkan dengan negara yang hampir hancur. Mau masuk ke jurang atau tidak akan sangat bergantung pada pemimpinnya. Dalam doktrin radikal yang ia terima, pemimpin Indonesia sudah menjerumuskan penumpang mobil atau rakyat untuk masuk ke jurang sehingga hal itu sudah menyalahi ajaran Al Quran. Untuk itu, diperlukan ‘mobil’ sekaligus ‘supir’ baru. Kedua komponen tersebut tentu membutuhkan banyak dana dan kerja keras untuk mewujudkannya. Tak heran dalam doktrin lanjutan, ia tak lagi diganjar materi ‘jihad’ dan kondisi umat yang sudah tak menjalankan Islam secara kaffah, tapi juga dimintai uang sumbangan dengan dalih membangun jalan untuk dekat denganNya, “sebab dengan pengorbananmu, maka Allah akan tahu sampai mana kamu berkorban untukNya.”
Bahkan, mentor itu tak segan-segan memperbolehkannya berbohong pada orangtua sebagai bentuk jihad padaNya. Apa lagi waktu itu, sumbangan yang diminta oleh organisasi radikal tersebut tidak lah sedikit. Sedangkan Yunita mengaku bahwa uang sakunya tidak banyak. Sebagai jalan keluarnya, ia akhirnya menjual ponsel yang ia miliki.
Meski diliputi bersalah karena telah berdusta pada ayah ibunya, ia tak kuasa untuk menolak permintaan tadi. Ia bagaikan dicuci otak dan menuruti apa saja yang mereka minta. Hingga suatu hari, mereka meminta Yunita untuk pergi ke Cimahi. Di situ lah, ia merasa agak was-was karena semakin hari tempatnya untuk mengaji semakin jauh dari tempat tinggalnya. Ia juga sempat khawatir bila diculik karena ia belum paham benar lokasi yang ia tuju. Walhasil, di hari H ia membatalkan janji itu dan menuju ke masjid Darut Tauhid Bandung untuk mendapatkan pencerahan dan menenangkan diri. Syukurlah, keputusan Yunita mampu menyelamatkannya dari jeratan terorisme berbahaya. Namun, di balik itu ia menyadari bahwa organisasi tersebut tidak hanya mengincar Yunita dalam aksinya, banyak mahasiswa dan anak SMA pun diincar melalui hal yang sama. Dan tidak selalu dengan kedok ‘ngaji’, ada juga yang ditawari bimbingan belajar hingga diskusi isu-isu politik yang hanya menjadi dalih belaka dari agenda besar radikalisme yang diusung.