Cerita Kecil Tentang Toleransi di Kampung 100% Muhammadiyah dan 100% NU

Img 20211120 Wa0048

Jika Anda jalan-jalan di sekitar pesisir Lamongan-Tuban, maka sempatkanlah mampir ke sebuah pantai bernama Pantai Kutang—terkait nama ‘aneh’ ini, nanti akan saya ceritakan—yang terletak di Desa Labuhan, Kecamatan Brondong, Lamongan Jawa Timur.

Di pantai indah yang sedang hits ini, Anda akan menemukan keindahan Magrove yang berada di bibir pantai, bersisian dengan tambak-tambak dan kaki-kaki Anda pasti tidak akan tahan untuk segera masuk ke laut pantai yang tenang. Saking tenangnya, anak kecil akan begitu menyukai bermain di tempat itu seraya berusaha mengambil kerang atau ikan kecil yang berenang ria di situ.

Tapi, kali ini saya tidak akan cerita tentang Pantai Kutang—yang seperti janji saya, ternyata berasal dari banyaknya ‘kutang’ yang terangkut di pantai itu beberapa puluhan tahun yang lalu ketika diadakan pembersihan. Penamaan ini digunakan untuk memudahkan dan ternyata kelak jadi nama unik dan gampang dikenal.

Saya ingin mengisahkan denyut para warga yang berbeda organisasi di kampung ini. Beda organisasi keagamaan yang kerap dianggap berbeda mazhab, padahal sejatinya cuma beda tafsir agama. Tapi nyatanya, hal itu justru membuat kampung ini jadi ‘kaya’ dan begitu toleran kepada yang berbeda.

Di desa Labuhan ini terdapat dua organisasi besar yang diikuti oleh ratusan penduduknya. Muhamammadiyah di satu sisi dan NU di kutub yang lain.

Baca juga:  Kota Tus, Kampung Halaman Imam Ghazali

Keduanya tampak berbeda, dengan cara salat yang tidak serupa, tapi jika ditanya soal Indonesia maka jawabannya Cuma satu: 100% Indonesia.

Lapangan Sepakbola sebagai Saksi Toleransi ala NU dan Muhammadiyah

Di kampung Labuhan ada sebuah lapangan bola yang multifungsi. Ketika sore menjadi tempat bermain bola, tatkala malam datang jadi tempat Latihan pencak silat dan ketika lebaran tiba, maka ia berubah jadi tempat beribadah.

“Kalau nanti riyayan (lebaran), nggak papa ikut dua kali. Yang penting ikut rame di lapangan,” kata bapak saya dalam bahasa Jawa.

Ingatan ini terekam jelas dalam ingatan saya, tapi waktu itu ketika masih kecil belum memahami sepenuhnya. Bagi anak kecil seperti saya waktu itu, melihat keramaian tentu saja menerbitkan gembira yang tak terkira.

Puluhan tahun setelahnya, ketika mulai belajar tentang pemikiran Islam, saya baru memahami makna ini.

Hal ini terkait dengan lebaran yang kerap dilakukan dua kali. Biasanya NU selalu mengikuti pemerintah, sedangkan Muhammadiyah menggunakan metode hisab. Keduanya, jika sedang berbeda, maka di tempat ini menjadi saksi dua kali umat warga Labuhan salat lebaran.

Saya pernah bertanya kepada pengurus Masjid Darussalam, Masjid terbesar di Labuhan dan merupakan pusat kegiatan Muhammadiyah di desa kami, kenapa tidak melakukan salat idul fitri atau idul adha di masjid saja?

Baca juga:  Beban Berlipat Perempuan di Masa Covid

“Tidak apa-apa, sudah tradisi. Kita pusatkan saja di lapangan luas, biar orang-orang juga bisa hadir. Biasanya NU-Muhammadiyah saling memberi selamat siapa yang duluan masing-masing,” tutur Pakdhe To, begitu ia biasa disapa.

Aktivis Muhammadiyah itu lantas menjelaskan, lagipula, biasanya pemerintah juga sama. Tapi ketika dulu sering beda, maka diputuskan untuk tetap di lapangan bola.

Lebaran hanya satu tradisi kecil di kampung kami yang dilakukan ‘nyaris bersama’. Ada banyak aktivitas lain, mulai dari pengajian hingga perkara menguburkan jenazah. Tepat di samping lapangan, ada kuburan umum.

Jika warga NU meninggal, tida masalah jika disalatkan di masjid Muhammadiyah yang jaraknya lebih dekat ke masjid.

Hal itu bukan jadi masalah besar dan jadi bukti kecil keindahan toleransi di kami. Takziyah pun dilakukan bersama. Saat tahlilan—yang NU akan melaksanakan, sedangkan Muhammadiyah pun menghormati dan semacamnya.

Lapangan yang berada di dekat lapangan itu adalah saksi, ketika semuanya berkumpul jadi satu untuk sujud di tanah yang sama, bertakziyah bersama dan menanggalkan baju identitas organisasi, mazhab maupun tafsir agama yang kerap berbeda untuk satu tujuan beribadah tanpa saling melukai.

NU-Muhammadiyah jadi 100% Indonesia

Jika warga Labuhan ditanya, bagaimana sih memandang Indonesia? Maka saya yakin, sebagian besar pasti akan sulit menjawabnya. Mungkin pertanyaan itu sulit dijawab, atau memang kita yang terlalu memaksa.

Baca juga:  Meresapi Segarnya Taitung (2): Ada Festival Balon di Luye

Tapi, kalau anda bertanya tentang, bagaimana merayakan 17 Agustus atau Agustusan, maka bisa jadi mereka akan serentak mengajak untuk merayakannya bersama-sama, menanggalkan jubah organisasi hijau atau biru langit dan mengubahnya jadi warna merah putih. Warna kebanggaan bendera merah putih yang dijahit kader Muhammadiyah Fatmawati Soekarno.

Saya pernah mengalaminya, tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Waktu kecil, ketika Agustusan tiba, sebagai murid MI Muhammadiyah tapi di rumah adalah warga NU, saya akan bersiap menjadi siapa pun itu pahlawan nasional.

Saya pernah didandani jadi tantara—lengkap dengan bedil-bedilan dari pelepah pisang, pejuang berbaju putih memakai bamboo, hingga jadi sosok ulama atau raja lengkap dengan blangkon plus surban. Semua anak-anak berbaur jadi satu.

Di rumah, ibu saya adalah warga biasa dengan amaliyah NU dan bapak saya adalah abangan yang kelak jadi penggemar Gus Mus dan Gus Dur—dua tokoh NU.

Kelak, ingatan masa kecil dan kenangan di kampung saya di Labuhan yang membuat sampai detik ini meyakini, Indonesia akan tetap ada jika penerimaan terhadap yang berbeda dibuat sesantai masyarakat di desa Labuhan.

*Artikel ini adalah hasil kerja sama Alif.ID dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top