Pada awal abad XX, kaum muda bumiputra menjadi pelajar di STOVIA. Mereka memiliki kebiasaan duduk di kursi untuk belajar, membaca surat kabar, bercakap, dan melamun. Di kursi-kursi, kaum muda perlahan membuat sejarah. Kita mengingat kaum “madjoe” berkursi itu mengadakan Boedi Oetomo. Pada 1928, kaum muda melanjutkan sejarah dengan kursi-kursi. Ingatlah kita dengan Soempah Pemoeda! Kursi menandai intelektualitas, seruan nasionalisme, dan hasrat “kemadjoean”. Kursi-kursi di sekolah, kantor, rumah makan, gedung hiburan, dan lain-lain turut membentuk “roman besar” Indonesia.
Pada masa berbeda, tiga orang duduk bersama di kursi: Sjahrir, Hatta, dan Soekarno. Di lembaran-lembaran lain, kita melihat orang-orang duduk di kursi bercerita politik, adat, agama, seni, bisnis, dan lain-lain. Di buku berjudul Bung Karno: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia (1966) susunan C Adams, kita membaca peristiwa Soekarno di beranda: “Suatu keistimewaan jang kuperoleh karena djabatan tinggi adalah sebuah kursi jang menjendiri pakai bantal” (Adams, 1966). Duduk di kursi, ia merenungi nasib diri dan Indonesia. Dulu, Soekarno muda pernah duduk di kursi ringkih di pondokan HOS Tjokroaminoto. Ah, cerita kursi itu terlalu “besar” dan berlatar kekuasaan.
Kita ingin mengingat kursi dan Lebaran saja. Di majalah Kartini, 1-14 Juni 1987, kita melihat iklan “bersejarah” dari Ligna Furniture. Pemandangan di ruang tamu: tiga kursi, satu meja, dan dua orang. Duduk di kursi empuk di ruang bersih dan indah. Lelaki dan perempuan itu tampil rapi, raut wajah berbahagia. Suami berlagak membaca koran. Istri mengelus ketupat sambil memandangi suami. Dua orang aneh. Oh, mereka sedang menanti hari suci: Lebaran. Kita mendapat peringatan bahwa Lebaran tak melulu sirup, ketupat, uang, makanan, baju baru, dan lain-lain. Orang-orang dianjurkan memiliki kursi baru untuk Lebaran bergelimang makna.
Ligna Furniture memiliki janji: “Kalau sudah duduk, lupa berdiri.” Orang-orang pada masa 1980-an digoda menghitung duit di rekening atau dompet. Belilah sofa tamu Montan persembahan Ligna Furniture! Kita membaca: “Menyambut hari raya, Ligna selalu berbagi rasa, menata sebuah karya, indah mempesona.” Pada masa lalu, ruang tamu memang dianjurkan memiliki benda untuk bisa duduk dengan manja. Tikar tak cukup. Ruang tamu dengan gelaran tikar mungkin menandai tuan rumah melarat, belum mencicipi kesuksesan pembangunan nasional.
Pada saat Lebaran, kursi-kursi itu “istimewa”. Kakek-nenek dan bapak-ibu biasa mufakat duduk di kursi panjang: bernasihat pada anak-cucu saat sungkeman. Duduk di kursi, tangisan dan kata-kata mencipta keharuan. Di keluarga besar, peristiwa sungkeman bisa berlangsung lama. Di situ, kursi bertambah makna. Di Jawa, adegan orang sungkeman bagi bocah atau remaja biasa dikatakan “golek dengkul”. Bocah dan remaja setelah sungkem dengan orangtua bakal mengunjungi rumah para sesepuh atau tetangga: “golek dengkul”. Adegan itu membuat mereka girang bila ada lembaran uang terberikan dari orang-orang duduk di kursi.
Penulis perlahan mengingat ibu atau Mbok Jinah. Lebaran dalam suasana wabah mengartikan pula Mbok Jinah tak lagi duduk di kursi dalam sungkeman. Mbok Jinah sudah pamitan dari dunia. Penulis bakal memandangi kursi biasa untuk duduk Mbok Jinah dengan album nostalgia. Dulu, setahunan Mbok Jinah duduk di kursi panjang itu menjalani pelbagai peristiwa. Di kursi, Mbok Jinah makan, mendongeng, tidur, dan melamun. Kursi memang berarti dalam Lebaran. Kini, penulis sebagai anak ragil merindu adegan Mbok Jinah di kursi. Ah, kursi itu mencatat biografi tak semua teringat. Begitu.