Secara legal formal syariah (hukum Islam), ibadah puasa merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seluruh umat Muslim di dunia. Sebab, ia termasuk salah satu dari kelima rukun Islam yang wajib ditunaikan. Sehingga apabila ada orang mengklaim dirinya Islam, kemudian tidak menjalankan kewajiban puasa maka keislamannya tidaklah sempurna dan patut kiranya untuk dipertanyakan kembali.
Dalam literatur kitab fiqh baik klasik maupun kontemporer, para ulama konsensus bahwa kewajiban ibadah puasa hanya berlaku bagi orang Islam, berakal, balig, serta mampu untuk menunaikannya. Sebaliknya, apabila tidak sesuai dengan kriteria atau ketentuan tersebut maka kewajiban puasa tidak berlaku baginya. Namun perlu dicatat, ketidakmampuan seseorang bukan berdasarkan diri sendiri, melainkan sesuai dengan syariat atau orang yang kompeten di bidangnya, dokter misalnya.
Perihal kewajiban ibadah puasa ini, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 183, yaitu:
يَاَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Dari sini, kita bisa memahami bahwa ibadah puasa dalam konteks legal formal syariah adalah bertujuan untuk membentuk ketakwaan setiap umat Muslim. Artinya, orang yang berpuasa bukan sekadar menjalankan kewajiban agama, melainkan juga sebagai bentuk latihan rohani atau spiritual dalam mencapai tingkatan hidup yang lebih baik di sisi Allah dengan memperoleh predikat makhluk bertakwa.
Karena itulah, orang yang berpuasa berupaya semaksimal mungkin untuk menghindari hal-hal yang dapat membatalkan terhadap ibadah puasa, baik dari segi dhohir (seperti makan, minum, dan berjimak) maupun batin (menggunjing, memfitnah, menyakiti, mengadu domba, ujaran kebencian, menyebarkan hoax, dan lain-lain). Kesemuanya ini merupakan sudut pandang legal formal syariah.
Lantas bagaimanakah ibadah puasa dari sudut pandang teologi pembebasan? Atau, apakah sekadar ritual keagamaan yang wajib dijalankan? Untuk itu, patut kiranya mengetahui terlebih dahulu apa itu teologi pembebasan dan bagaimanakah teologi pembebasan memaknai ibadah puasa.
Hakikat Teologi Pembebasan
Dalam khazanah keislaman kontemporer, wacana keagamaan yang progresif dan pro-transformasi sosial kemudian populer dengan nama Teologi Pembebasan (liberation theology), tentu sudah tak asing lagi bagi sebagian orang terutama di kalangan para aktivis sosial. Wacana ini berawal di tubuh Gereja Katolik yang dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Gustavo Gutierrez (1971) dan Oscar Romero, seorang Uskup yang tewas sebagai martir karena memimpin perjuangan membela kelompok marginal dan melawan otoritarianisme.
Dalam perjalanannya, Teologi Pembebasan bermula dari sebuah refleksi para pemuka agama atas kondisi yang memilukan; kemiskinan, otoritarianisme, dan pelbagai macam bentuk penindasan dan eksploitasi lain di Amerika Latin. Pesan-pesan religiositas, terutama solidaritas terhadap kaum lemah yang miskin dan tertindas serta keberpihakan pada kebenaran yang terkandung di dalam ajaran agama, diperkuat oleh penerapan prinsip-prinsip politik progresif dalam perjuangannya, seperti pendidikan untuk massa dan kritik terhadap pemerintahan yang sewenang-wenang.
Sementara di lingkungan umat Islam, gagasan Teologi Pembebasan dihembuskan secara santer oleh Farid Esack (1997), seorang intelektual, aktivis, dan pemimpin komunitas Muslim Afrika Selatan yang turut serta berjuang melawan rezim Apartheid. Dengan menjadikan agama sebagai panggilan universal untuk melawan penindasan, ia berhasil menggalang dukungan tidak hanya dari komunitas Muslim, melainkan juga kelompok lain di Afrika Selatan dalam gerakan anti-Apartheid.
Yang tidak kala progresifnya dalam menggulirkan gagasan Teologi Pembebasan adalah Asghar Ali Engineer, seorang intelektual Muslim dan aktivis gerakan sosial asal India. Menurutnya, memahami teologi dalam Islam tak melulu berkutat atau mengurusi Tuhan (hubungan hamba dengan Sang Pencipta), tetapi bagaimana teologi itu bisa hidup berdampingan di tengah-tengah masyarakat untuk berdialog dengan masalah sosial, politik, dan ekonomi sehingga tercipta tatanan kehidupan yang adil dan sejahtera.
Artinya, teologi harus berpihak pada kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, dan eksploitasi dalam kehidupan masyarakat. Bukan sebaliknya, yakni sebagai power atau instrumen untuk menindas dan melanggengkan dehumanisasi terhadap masyarakat lemah yang termarginalkan. Dengan demikian, maka Teologi Pembebasan bisa dimaknai sebagai suatu gerakan keagamaan yang berorientasi sosial dan tetap bertolak pada nilai-nilai ajaran agama dengan tujuan terciptanya suatu tatanan kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Makna Puasa Menurut Teologi Pembebasan
Dilihat dari uraian di atas, tampak sudah jelas bahwa ibadah puasa dalam sudut pandang Teologi Pembebasan bukan sekadar ritual keagamaan yang berkutat pada ranah kewajiban seorang hamba kepada Tuhan. Tetapi, suatu ritual keagamaan yang tidak kosong akan nilai-nilai sosial. Sebab, salah satu hikmah adanya puasa agar kita bisa merasakan penderitaan orang-orang miskin.
Mengutip Syekh Ali Ahmad Al-Jurjawi (w. 1380 H/1961 M), seorang ulama terkemuka alumnus Al-Azhar, Mesir dalam kitabnya Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, bahwa salah satu hikmah yang terkandung dalam puasa, yakni mengingatkan pelakunya pada kondisi orang-orang fakir sehingga turut memberikan simpati dan rasa kasih sayang terhadap mereka. Sebaliknya, seseorang yang tidak pernah merasakan kesulitan, tentu tidak akan pernah merasakan kesulitan yang dialami orang lain. Dan orang yang tidak pernah lapar pasti tidak kan pernah merasakan kelaparan yang diderita orang lain. Artinya, hanya orang yang pernah merasakan sakit yang dapat merasakan kesempitan dan kepedihan.
Hal senada juga diungkapkan oleh Hassan Hanafi, seorang pemikir Islam progresif di era kontemporer asal Mesir dalam jurnalnya Al-Yasar al-Islami (Kiri Islam) menyatakan, bahwa kewajiban berpuasa bagi umat Muslim di bulan Ramadhan adalah bertujuan untuk melatih solidaritas sosial, dalam hal merasakan penderitaan orang-orang yang kelaparan. Artinya, dalam ibadah puasa kita juga dituntut untuk bersikap empati dan melatih kepekaan terhadap kaum Mustadhafin (orang-orang lemah) yang tertindas oleh kaum borjuis dan kapitalis.
Bahkan, perihal nilai transformasi sosial dalam ibadah puasa ini dipertegas oleh Nabi Muhammad dalam salah satu hadisnya;
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِمْ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“Barang siapa memberi makan orang berpuasa maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala sedikit pun dari orang yang berpuasa itu.” (HR. Tirmizi)
Jadi, bisa dipahami bahwa hakikat ibadah puasa dalam sudut pandang Teologi Pembebasan bukan semata-mata kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat Islam. Akan tetapi, lebih dari itu sebagai bentuk kepedulian dan keterlibatan kita dalam merasakan kesengsaraan orang lain, terutama kelompok yang lemah, miskin, dan termarginalkan. Ini berarti, puasa bisa menjadi senjata melawan segala penindasan dan eksploitasi yang mengakibatkan maraknya kemiskinan serta ketidakadilan di tengah masyarakat. Wallahu A’lam