Sedang Membaca
Bacaan Anak Bersimbah Petuah

Mahasiswa Administrasi Negara, Universitas Sebelas Maret, Solo.

Bacaan Anak Bersimbah Petuah

Buku-buku bacaan anak terus diterbitkan. Tak bermaksud sama dengan buku-buku penerbit besar yang beredar di pasaran. Sekian buku memilih hadir ke pembaca dengan rupa sederhana. Tak molek dengan banyak gambar, rupa-warna, kertas kemilau, yang pada akhirnya mahal harganya. 

Di tahun 2018, tiga buku cerita anak sampai ke tangan pembaca — kebetulan dewasa. Perpustakaan Raja Badai (Diomedia), Konferensi Musim Sejagat (Kampungnesia), dan cerita anak berbahasa Jawa Kecap Nomer Siji (Interlude). Pembaca dewasa malih jadi anak-anak atau sekadar berlagak kekanak-kanakan. Yang akhir terduga lebih tepat.

Sekian cerita anak toh ditulis para penulis dewasa. Kita agak sukar menjumpai cerita anak yang ditulis oleh anak-anak juga.

Sebab itu, bukan tidak mungkin, bahwa cerita-cerita yang berhasil hadir sekadar cerita tentang anak yang sarat pandangan atau bahkan kepentingan orang dewasa. Bagaimanapun juga orang dewasa tak mungkin “menjadi” anak-anak untuk mendekati cerita-cerita yang bertabur dalam semesta keriangan yang terhampar.

Usaha-usaha mendekati semesta anak-anak itu tentu saja terus dilakukan. Kendatipun demikian, tetap ada sebagian semesta yang hanya dimiliki dan dihidupi oleh anak-anak itu sendiri.

Semesta kecil yang hanya hidup dalam riang-duka anak-anak kita saksikan kala membaca puisi-puisi Abinaya Ghina Jamela dalam buku Resep Membuat Jagat Raya (Kabarita, 2017).

Mari kita cerap puisinya yang berjudul Papua:

Di Papua itu panas sekali/seperti tanganku memegang matahari//Tapi juga terus hujan//Orang Papua tidak memakai celana, rok, atau baju//Perempuannya menggunakan daun kering diikat dan laki-lakinya memakai buah, dibuang isinya dan dikeringkan bernama koteka//Jika sakit di Papua susah mencari dokter mereka pergi ke dukun dan minum obat tumbuhan dari hutan//Hutan Papua nyeram…(hlm. 58).

Selain Naya –sapaan Abinaya, kita membaca semesta khas anak-anak dari puisi-puisi Hafuza. Mari kita nukil puisi yang judulnya Lampu. Lampu, kau menerangi kehidupan manusia dan hewan//Kau bisa menghangatkan hewan dan juga telurnya/agar tidak kedinginan//Dan juga manusia untuk melihat/sekelilingnya yang gelap/dan menerangi nelayan saat mencari ikan//Ada juga lampu yang menghilangkan rasa bosan yaitu lampu pelangi…(hlm. 175).

Baca juga:  Perkembangan Literasi Arab di Barat: Berubahnya Sebuah Paradigma

Di kalangan pembaca sastra kita, nama Naya kian santer. Menjelang akhir 2018, Aku Radio Bagi Mamaku (Gorga) yang merupakan kumpulan cerpennya terbit. Naya dan ibunya kian sering mengisi diskusi-diskusi literasi menyoal anak atau lebih khusus sastra anak.

Dalam buku Perpustakaan Raja Badai, pembaca disuguhi sekian cerita anak yang ditulis Bunda Ary Yulistiana, puisi-puisi Hafuza Khair Muhammad Syahri, dan sejumlah cerita milik Hafizha Addina Aisy Syahri.

Buku menjadi buah karya ibu dan kedua anaknya. Yona Primadesi (ibu Naya) dan Ary Yulistiana rupanya memiliki kemiripan cara mendidik anak.

Anak-anak tak dibiasakan atau bahkan dijauhkan dari televisi dan gawai. Menjauhkan tentu tak sama artinya dengan melarang sama sekali.

Waktu-waktu mereka lebih banyak untuk membaca buku dan menjalani aktivitas bersama orang tua atau teman sepermainan.

Petuah Demi Petuah

Puisi-puisi Naya maupun Hafuza mempertemukan kita dengan semesta anak-anak betulan. Kepolosan, kelucuan, kejujuran dalam sikap.  Hamparan kata Naya dan Hafuza tak ribut memperkarakan semacam “amanat” dalam konsensus khas pembelajaran mengarang di sekolah.

Tulisan yang begini agak susah kita harapkan dari para penulis dewasa yang mengarang cerita untuk anak-anak, meskipun ada. Kita misalnya mendapati Na Willa (POST Press, 2018) karangan Reda Gaudiamo.

Baca juga:  Catatan Fahruddin Faiz untuk Manusia Modern: Menjadi Manusia, Menjadi Hamba

Cerita-cerita Hafizha (8 tahun) justru tampak lain dari puisi-puisi kakaknya, Hafuza (10 tahun). Sebelas cerita pendeknya dalam Perpustakaan Raja Badai tak ada yang tak memuat petuah atau setidaknya para tokoh selalu berujung “baik-baik saja”.

Buku Na Willa

Kakak yang tak jadi memarahi adiknya sebab lekas sadar si adik masih kecil dan wajar kalau ia bandel. Kucing dan tikus, juga kupu-kupu dan semut yang menjadi sepasang sahabat di akhir cerita.

Semesta cerita Hafizha sejatinya tetap khas anak-anak, dekat, tak jarang berkembang imajinatif. Tapi sedikit banyak tampak bahwa pelajaran dasar-dasar mengarang di sekolah atau sederet buku anak yang telah dibaca membekas di dirinya.

Di buku Wacan Bocah karya Zuly Kristanto, petuah-petuah merupa ajimat bagi kehidupan cerita. Zuly menghadirkan sekian perumpamaan bertaut makna-makna filosofis dari pelbagai-bagai tumbuhan dan hewan.

Dalam menjalani hidup, manusia sesungguhnya perlu banyak mengamati-mempelajari makna-makna tersirat dari makhluk hidup lain. Manusia tak selayaknya jumawa dengan melabeli diri sebagai ciptaan paling adiluhung.

Semut memberi pengetahuan menyoal bagaimana masalah sebaiknya dihadapi dan dirumuskan penyelesaiannya, juga perkara pentingnya gotong-royong. Kebiasaan Cleret Gombel mengayun-ayunkan batang pohon yang dihinggapi sebagai tanda sikap hati-hati.

Burung Dares atau yang kita kenal sebagai Burung Hantu sebagai sosok yang tak banyak bicara tetapi penuh waspada dalam mengamati sekitar. Jagung tak lain ialah tumbuhan yang tidak suka pamer.

Durian mewujud pengingat supaya kita tak lekas menilai orang lain hanya dari tampilan luar. Keindahan Bunga Bakung yang tak luntur kendati tak selalu mendapat perhatian.

Baca juga:  Hari Ini Seabad Saifuddin Zuhri: Pesantren dan Indonesia

Tak ubahnya Zuly, Ary Yulistiana juga tak absen menyisipkan petuah dalam cerita-ceritanya. Mulai dari tanggung jawab mengelola perpustakaan keluarga, menjadi anak yang rajin belajar, berbaik sangka kepada orang tua, berlatih mandiri, membantu orang tua, terus semangat dan tidak takut gagal, juga menjaga kebersihan.

Petuah-petuah terasa wajar saja, sebab selain melakoni diri sebagai seorang ibu, Ary juga seorang guru. Peran yang dilakoninya memberi kesadaran dan mungkin tanggung jawab diri meracik petuah demi petuah dalam cerita-cerita yang ditulisnya.

Dalam buku Konferensi Musim Sejagat, Setyaningsih dan Na’imatur juga membawa petuah tersurat dan tersirat memperkarakan kebersihan kota. Di cerita berjudul Hantu Sampah, Adin mendapat teguran dari Mbak Ita sebab ketahuan turun ke sungai. 

Mbak Ita setengah mengancam, “Bahaya! Nanti kamu digondol sama ikan bermuka dua”.

 

Setyaningsih melanjutkan dengan narasi bengal.

Mana ada bocah-bocah di permukiman hilir sungai yang masih percaya sama cerita ikan bermuka dua. Palingan, ikan itu sudah minggat. Tidak kuat sama sampah-sampah di kali (hlm. 20).

Meski tak selalu berhasil berdekatan atau menghamparkan semesta anak-anak yang sejati, buku-buku bacaan anak karangan para penulis dewasa tetap perlu. Sebab, selain perlu berasyik-masyuk dengan semestanya yang pongah dan naif tapi lucu serta senantiasa jujur, anak-anak perlu tumbuh juga dalam asuhan petuah-petuah penuh asih.

Petuah-petuah begitu sungguh mendidik dan menambah pancaran pelbagai-bagai nilai hidup yang berfaedah bagi tumbuh kembang anak. Tsah!

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top