Sedang Membaca
Sabilus Salikin (106): Tarekat Akbariyah dan Riwayat Ibnu Arabi (1)
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sabilus Salikin (106): Tarekat Akbariyah dan Riwayat Ibnu Arabi (1)

Tarekat ini dinisbatkan kepada Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Abdullâh al-Tha’i al-Hatimi al-Andalusi al-Mursiyi yang bersaudara dengan Adi bin Hatim yang bersal dari suku al-Tha’i. Suku al-Tha’i merupakan salah satu suku yang terkenal dalam bidang pengembangan logika baik pada masa jahiliyah maupun masa Islam. Beliau dijuluki Abu Bakar dan lebih dikenal dengan sebutan Muhyiddin, atau dengan sebutan al-Hatim atau Ibnu Arabi. Sementara orang Timur menyebutnya dengan Qadhi Abu Bakar Ibnu Arabi.

Riwayat Hidup

Nama lengkapnya adalah Muḥammad Ibn ‘Ali Ibn Muḥammad Ibn Ahmad Ibn Abdullâh al-Tha’i al-Hatimi al-Andalusi, putera Abdullâh ibn Hatim, saudara Adiy ibn Hatim. Ia diberi gelar Abu Bakar, dan dijuluki dengan Muhyiddin, al-Hatimi, dan Ibnu Arabi.

Ibnu Arabi ini tanpa huruf Alif (ا) dan Lam (ل) seperti yang diistilahkan oleh orang masyrik untuk membedakan  antara dirinya dan al-Qadhi Abu Bakar Muhammad Ibn Arabi (1076-1148), kepala hakim Sevilla. Kelak Ibn ‘Arabi belajar kepada salah seorang sepupu dari tokoh ini, (al-Tasawuf al-Islâmi fi al-Adab wa al-Akhlâk, halaman: 119, al-Adab al-Sufi fi al-Maghrib wa al-Andalus fi ‘Ahdi al-Muwahhidin, halaman: 251, syadzarât al-Dzahab fi Akhbar min Dzahab, juz 5, halaman: 190, al-Futûhât al-Makkiyah, juz 1, halaman: 3, al-Risâlah al-Wujûdiyyah, halaman 5).

Ibn ‘Arabi dilahirkan pada 17 Ramadhan 560 H., bertepatan dengan 28 Juli 1165 M., di Murcia, Spanyol bagian Tenggara. pada waktu kelahirannya Murcia diperintah oleh Muḥammad Ibn Sa’id Ibn Mardanisy dibawah Bani Umayyah, (al-Risâlah al-Wujûdiyyah, halaman: 5, al-Futûhât al-Makkiyyah, juz 1, halaman: 3).

Sebagai anak pertama dan satu-satunya laki-laki, kelahirannya jelas merupakan kebahagiaan besar bagi orang tuanya. Tetapi, tujuh tahun pertama kehidupannya tampaknya dihabiskan ditengah konflik dan ketegangan lokal. Ayahnya bertugas sebagai tentara Ibn Mardanisy, penguasa lokal yang mendirikan kerajaan kecil untuk berdiri sendiri dengan bantuan tentara bayaran Kristen.

Ibn Mardanisy berdiam di Murcia dan Valencia, oleh orang-orang Kristen dijuluki “Raja Serigala”. Dia bersekutu dengan raja-raja dari Castile dan Aragon. Selama 25 tahun dia membela kerajaannya melawan kekuatan baru dari al-Muwaḥḥidin, meskipun kekuasaannya semakin surut ketika Ibn ‘Arabi  lahir.

Baca juga:  Tafsir Kerinduan (Bagian 2)

Dinasti al-Muwaḥḥidin berasal dari suku-suku Berber dari pegunungan Atlas Maroko, pengikut dari pemimpin keagamaan Ibn Tumart, dan muncul pertama kalinya di tahun 1145. Menjelang tahun 1163 mereka menyerbu Afrika Utara sampai Tripoli. Sepanjang 20 tahun sebelum kelahiran Ibn ‘Arabi, al-Muwaḥḥidin telah membangkitkan dan merekonsolidasi persatuan muslim di Andalusia, membangun benteng pertahanan untuk melawan gangguan dari orang-orang Kristen di Utara. Mereka menjadikan Sevilla sebagai ibu kota lokal dan membangun stabilitas di seluruh daerah Afrika Utara.

Pada tahun 1172 Ibn Mardanisy wafat, dan berakhirlah perlawanan terhadap kekuasaan al-Muwaḥḥidin. Ayah Ibn ’Arabi bersama-sama dengan rombongan pengikut Ibn Mardanisy yang terkemuka, tampaknya mengalihkan kesetiaannya pada Sultan al-Muwaḥḥidin, Abû Ya’qub Yusuf  I dan menjadi salah satu penasihat militernya. Pada tahun itu juga semua keluarganya pindah ke Sevilla, pusat kosmopolit yang ramai dan makmur, dan menjadi ibu kota kerajaan al-Muwaḥḥidin di Spanyol.

Program-program pembangunan baru yang dibiayai oleh Sultan; seperti memulihkan kembali sistem air Romawi Kuno dan membuat Sevilla menjadi kota utama di negeri ini. Kota ini menjadi titik temu antara berbagai ras dan kultur di mana penyanyi serta penyair bergaul dengan para filosof dan teolog, dan para wali berdampingan dengan para pendosa. Jadi, sejak usia 7 tahun Ibn ’Arabi tumbuh di lingkungan yang penuh dengan ide-ide penting pada masa itu, ilmu pengetahuan, agam, dan filsafat.

Masa Kanak-kanak dan Muda Ibn Arabi

Ketika komunikasi massa sebagaimana kita kenal sekarang belum ada, lingkungan semacam ini menjadi unsur penting dalam perkembangan dirinya. Sevilla abad ke XII pada masa Ibn ’Arabi masih muda bisa disamakan dengan gabungan kota London, Paris, dan New York di masa sekarang sebuah campuran yang luar biasa dari berbagai orang, bangunan, dan peristiwa

Sebagian besar dari kehidupan awalnya dihabiskan seperti lazimnya anak-anak muda yang baru tumbuh. Pendidikannya adalah pendidikan standar untuk keluarga muslim yang baik, meskipun tampaknya ia tidak belajar di sekolah resmi, hampir bisa dipastikan ia mendapatkan pelajaran privat di rumah. Dia diajari Alquran oleh salah seorang tetangganya, Abû  ‘AbdAllah  Muḥammad al-Khayyat, yang kemudian sangat ia cintai dan tetap menjadi sahabat dekatnya selama bertahun-tahun (al-Risâlah al-Wujûdiyyah, halaman: 6).

Baca juga:  Sabilus Salikin (45): Tarekat Malamatiyah

Selama menetap di Sevilla, Ibn ’Arabi muda sering melakukan perjalanan ke berbagai tempat di Spanyol dan Afrika Utara. Kesempatan itu dimanfaatkannya untuk mengunjungi para sufi dan sarjana terkemuka.

Salah satu kunjungannya yang sangat mengesankan ialah ketika berjumpa dengan Ibn Rusydi (w. 595 H). di Kordova. Ibn ’Arabi dikirim oleh ayahnya untuk bertemu dengan filosof besar Ibn Rusydi yang berasal dari keluarga yang sangat terpandang di Kordova. Ibn Rusydi, dari semua tokoh abad pertengahan Spanyol, mungkin orang yang paling terkenal di Eropa, sebab ia memperkenalkan kembali karya-karya Aristoteles, astronomi, meteorologi, pengobatan, biologi, etika, logika, dan ulasan-ulasannya berpengaruh luar biasa terhadap Eropa ketika orang-orang Eropa kemudian menemukan kembali Aristoteles.

Percakapan Ibn ’Arabi dengan filosof besar ini membuktikan kecemerlangan yang luar biasa dalam wawasan spiritual dan intelektual. Perecakapan tersebut menjelaskan perbedaan dan pertentangan asasi antara jalan akal logis dan jalan imajinasi gnostik. Fakta bahwa sufi muda ini mengalahkan filosof peripatetik itu dalam tukar pikIran tersebut dengan tepat menunjukkan titik buhul pemikIran filosofis dan pengalaman mistik Ibn ’Arabi yang memperlihatkan bagaimana mistisisme dan filsafat berhubungan satu sama lain dalam pemikIran metafisikanya.

Pengalaman-pengalaman visioner mistiknya berhubungan erat dan disokong oleh pemikIran filosofisnya yang ketat. Ibn ’Arabi adalah seorang mistikus yang sekaligus seorang guru filsafat peripatetik, sehingga ia bisa memfilsafatkan pengalaman spiritual batinnya secara tepat ke dalam suatu pandangan dunia metafisis yang sangat kompleks, (al-Risâlah al-Wujûdiyyah, halaman: 7).

Ibn ’Arabi tampaknya ditakdirkan untuk mengikuti jejak ayahnya. Ia bertugas dalam pasukan tentara Sultan al-Muwaḥḥidin selama beberapa waktu dan dijanjikan kedudukan sebagai asisten untuk gubernur Sevilla. Dia sendiri menyebut periode kehidupan ini sebagai periode kejahilan. Periode kejahilan atau kebodohan ini diakhiri oleh pengalaman pencerahan.

Baca juga:  Manuskrip al-Qamus al-Muhith wa al-Qabus al-Wasith Karya Fairuzabadi di Madura

Setelah pertemuannya dengan Ibn Rusydi dan mengalami pencerahan spiritual, pada tahun 580 H. (1184 M.), Ibn ’Arabi mengundurkan diri dari ketentaraan dan segala urusan duniawi yang dimilikinya. Peristiwa terakhir yang memberinya keputusan bulat adalah saat ia dan panglima al-Muwaḥḥidin bersama-sama shalat di Masjid Agung Kordova.

“Alasan aku menolak dan mengundurkan diri dari ketentaraan dan alasanku untuk menempuh jalan (Tuhan) dan kecenderunganku terhadap jalan itu adalah sebagai berikut: Aku pergi bersama tuanku, Panglima (al-Muwaḥḥidin) Abû Bakr Yûsuf bin Abd al-Mu’min bin ‘Ali, menuju ke Masjid Agung Kordova dan aku melihat dia bersimpuh, sujud dengan rendah hati memohon kepada Allah SWT”.

“Kemudian pikiran melintas (khâtir) menerpaku (sehingga) aku berkata pada diriku sendiri, “Jika penguasa negeri ini begitu pasrah dan sederhana di hadapan Allah SWT., maka dunia ini tidak ada artinya.” Lalu aku meninggallkannya pada hari itu juga dan tidak pernah melihatnya lagi. Sejak itu aku mengikuti jalan ini”.

Perlu dicatat di sini bahwa masa jahiliyah yang dialami Ibn ‘Arabi tak lain hanyalah sebuah fase ghaflah, fase kealpaan atau “kebingungan”. Begitulah, sejak saat itu Ibn ’Arabi mengabdikan diri pada kehidupan dan penghambaan penuh terhadap Allah SWT. sesuai dengan ajaran yang diberikan oleh Îsâ, Mûsâ, dan Muḥammad SAW.

Ia memutuskan untuk mengambil jalan zuhud dengan meninggalkan seluruh kekayaan duniawinya, di mana ini menjadi titik perubahan penting dalam perjalanan hidup Ibn ‘Arabi. Ia telah memilih jalan kemiskinan dan tak akan pernah berpaling lagi darinya. Sejak saat itu hingga akhir hayatnya salah satu sumber penghidupannya adalah pemberian dan sedekah yang diterimanya dari para sahabat di jalan spiritual dan dari sebagian kerabatnya semasih tinggal di Timur. Baginya hal itu merupakan wujud pengabdian murni (al-‘Ubûdiyyah al-Mahḍah) yang mengharuskan seorang wali meninggalkan semua hak dan harta yang akan membuatnya tetap ingat akan rububiyyah, ketuhanan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
2
Scroll To Top