Sedang Membaca
Akad “Wadi’ah” dan Turunannya (1): Dari Akad Titip Tradisional ke Akad Titip Modern
Muhammad Syamsudin
Penulis Kolom

Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center, PWNU Jawa Timur

Akad “Wadi’ah” dan Turunannya (1): Dari Akad Titip Tradisional ke Akad Titip Modern

Whatsapp Image 2020 02 27 At 10.54.06 Am

Manusia adalah makhluk homoeconomie, artinya manusia merupakan makhluk yang selalu melakukan kegiatan ekonomi. Dalam kegiatan ini, manusia menjalin relasi dengan sesamanya, bisa dengan anggota keluarga seisi rumah, dengan tetangga rumah, tetangga satu RT, tetangga satu dusun, satu desa, antar desa, antar kecamatan, dan seterusnya. Bahkan sampai antarnegara berupa hubungan perdagangan bilateral dan multilateral dalam kancah dunia internasional.

Aktivitas relasi ekonomi dalam lingkup rumah tangga, memiliki konsekuensi tidak sebesar relasi dalam lingkup antar tetangga, antar desa, atau antar negara. Semakin luas ruang lingkupnya, semakin kompleks risikonya.

Untuk penitipan uang (harta) saja kepada pihak lain misalnya, jika penyerahan itu dilakukan oleh orang yang dekat, maka penyerahan itu bisa dimaknai sebagai unsur “titip” begitu saja. Akad yang terjalin adalah akad wadi’ah murni.  Tidak butuh kompensasi, atau bahkan biaya-biaya lain. Semuanya terjadi secara sukarela (tabarru’), tanpa motif apapun, dan berjalan alamiah.

Akad ini mungkin saja masih berlaku sebagaimana aslinya, bila relasi titip uang itu berkembang menjadi relasi antar tetangga. Mungkin satu pihak hendak pergi ke mana gitu, kemudian karena dirumahnya ada harta yang perlu dijaga, karena tidak mungkin untuk turut serta dibawa, maka ia menitipkan kepada tetangga. Tetangga pun bisa jadi akan menanggapinya secara sukarela (wadi’ah-tabarru’).

Di saat jalinan relasi akad “titip uang” ini sudah berkembang mencapai relasi “tetangga dalam desa” atau bahkan melibatkan “tetangga antar desa” dalam kecamatan, pola relasi ini memungkinkan berubah menjadi “relasi pihak personal” dengan “pihak yang membuka jasa penitipan uang.” Karena sudah berkaitan dengan lembaga jasa, maka perkembangan akad wadi’ah tabarru’ ini sudah tidak lagi berjalan murni.

Baca juga:  Pertumbuhan NU Jerman: dari Ketersambungan Sanad, Pengakuan Pemerintah Jerman hingga Revolusi Insdustri

Pertama, disebabkan karena tetap ada niat pihak pemakai jasa untuk mengamankan hartanya. Kedua, disebabkan adanya jasa yang harus dibayarkan. Sudah pasti jasanya ini berbasis waktu. Semakin lama titipnya, semakin besar pula “biaya titip” yang harus dibayarkan.

Karena relasi sudah tidak murni lagi berjalan sebagai unsur tabarru’ dan tolong menolong, sehingga ada jasa yang harus dibayarkan berbasis waktu lama penitipan, maka mulai timbullah masalah. Misalnya, ada seseorang hendak pergi ke Malaysia, dan ia punya uang satu juta rupiah di tempat tinggalnya, ia bermaksud menggunakan jasa penitipan harta yang dibuka oleh tetangga desanya.

Sebut misalnya, biaya penitipan satu harinya adalah 1000 rupiah per hari. Kontrak yang dilakukan adalah selama 1 bulan, sehingga total biaya yang harus dikeluarkan adalah sebesar 30 ribu. Tanpa dinyana sebelumnya, ternyata orang tersebut tinggal di Malaysia selama satu tahun di Malaysia karena suatu hal. Karena satu tahun adalah 365 hari, maka biaya yang dikeluarkan menjadi membengkak 365 ribu rupiah dari uang 1 juta yang dititipkan. Ini baru satu tahun.

Bagaimana bila hal itu terjadi selama tiga tahun? Berarti lama hari yang ditinggalkan adalah 365 x 3 = 1.095 hari. Otomatis biaya membengkak menjadi 1,095 juta rupiah. Uang pihak yang titip bisa defisit 95 ribu rupiah. Bagaimana mungkin titip harta justru malah tekor karena penitipan?

Baca juga:  Brand Ekonomi Syariah Perlu Terus Digaungkan

Tapi, pihak jasa pun juga benar andai ia diprotes oleh pihak penitip, sebab akadnya jelas bahwa biaya satu harinya adalah seribu rupiah. Salah sendiri meninggalkan barang titipan selama tiga tahun, sehingga pihak jasa harus menjaga uang itu. Demikian dari perspektif pihak jasa tersebut.

Akad titip sejauh ini berkembang sebagai akad wadi’ah yadu al-dlamanah, yaitu titip yang disertai tanggung jawab ganti rugi yang dibebankan kepada pihak lembaga jasa bila terjadi kerusakan pada barang yang dititipkan. Besaran ongkos seribu seringkali dimaknai sebagai ongkos sewa tempat penyimpanan (savings box).

Ini semua masih berlaku antar tetangga desa. Karena pemerintah kabupaten atau tingkat kecamatan menganggap pentingnya permasalahan itu untuk disikapi seiring keharusannya melindungi harta rakyatnya yang tengah bepergian, bisa jadi kemudian pemerintah membuka jasa penitipan uang itu dengan maksud menjaga nilai nominal uang tersebut agar tetap aman.

Akibatnya masyarakat berlomba-lomba menitipkan harta (wadi’ah) ke jasa yang dibuka pemerintah kabupaten atau kecamatan dengan alasan uangnya aman dan tidak berkurang. Sekali, dua kali, pemerintah masih memaklumi. Tapi, ketika jumlah penduduk bertambah banyak, maka dibutuhkan pegawai yang jumlahnya banyak.

Pegawai itu butuh gaji juga. Akhirnya solusi yang diambil pemerintah adalah mengenakan tarif penitipan (cost). Nah, jika ada cost terus apa bedanya dengan lembaga jasa antar desa tadi? Gengsi dong bagi pemerintah. Paling tidak solusinya harus lebih murah dong.

Baca juga:  Governing The Nahdlatul Ulama: Kewargaan dan Kuasa Kepemimpinan

Agar tidak sama dengan jasa penyimpanan antar desa, maka ditetapkan tarif biaya berbasis bulan, misalnya 1 bulannya dikenakan biaya 10 ribu. Masyarakat sudah pasti tetap tidak punya pilihan lain. Tarif penitipan dari pemerintah tetap lebih murah dibanding jasa titip milik tetangga desanya. Jaraknya sudah 20 ribu rupiah sendiri. Jika masyarakat titip 2 bulan, maka biaya yang dikeluarkan menjadi 20 ribu, dan itu artinya jarak biaya jasa dengan jasa penitipan oleh tetangga desanya berjarak 40 ribu.

Pahe (paket hemat) jasa penitipan (wadi’ah) dari pemerintah, bukan? Tapi, bisa jadi ada pihak masyarakat yang memandang, ah sama saja titip di lembaga pemerintah dengan lembaga jasa milik tetangga. Sama-sama keluar cost, tapi kalau waktu titipnya lama, uang yang dititipkan juga bisa habis oleh cost jasa itu. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top