Muhammad Syamsudin
Penulis Kolom

Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center, PWNU Jawa Timur

Akad “Wadi’ah” dan Turunannya (2): Akad Titip Bisa Berbiaya Jasa atau Tidak

Whatsapp Image 2020 02 27 At 11.15.17 Am

Ketika biaya jasa penitipan uang didasarkan pada waktu lama penitipan, sehingga dapat berujung pada habisnya harta titipan akibat biaya jasa itu, hal itu bisa menggugah hati para hartawan untuk berinisiatif menerima titipan harta tetangga dekatnya. Tidak peduli berapa pun lama waktu titipnya. Dan pola seperti ini masih kita jumpai di sejumlah desa hingga detik ini.

Masyarakat lebih percaya kepada kaum hartawan ini, dibanding ke lembaga perbankan atau semisalnya, seiring mudahnya pencairan uang ketika ia datang dan membutuhkan uang titipannya tersebut. Ini juga sekaligus yang menjadi latar belakang bank selama ini membuka akses ATM (Anjungan Tunai Mandiri) di banyak tempat. Intinya memudahkan pencairan uang yang dititipkan atau disimpan di bank.

Nah, namanya saja sudah uang, kalau ada di tangan orang yang kaya, yang setiap harinya harus ada uang yang keluar-masuk dari kantongnya, untuk itu butuh izin dari pemilik uang yang titip, bila sewaktu-waktu uang itu terpakai, diharap keikhlasannya. Tapi, pihak hartawan ini sanggup menjamin bahwa nilai uang penitip tetap terjaga/akan diganti.

Di sini perlu kita garis-bawahi, bahwa asal muasal uang itu sampai ke tangan orang yang kaya adalah titip (wadi’ah). Lalu uang itu dipakai oleh pihak yang dititipi karena faktor kesibukan yang dilakukannya, sehingga terpaksa memakai uang titipan. Kedudukan uang titipan secara tidak langsung menjadi utang.

Baca juga:  Akad "Wadi’ah" dan Turunannya (1): Dari Akad Titip Tradisional ke Akad Titip Modern

Akan tetapi, uang itu tetap dijamin (dlaman), kapan saja penitip mau mengambil, ia siap mencairkan. Sudah pasti dalam bentuk fisik uang lainnya. Secara singkat relasi itu digambarkan “titip fisik uang – boleh dipakai (idzin) – penting dijamin fisik dengan nilai sama (dlaman).

Akad yang terbentuk di sini bisa dipetakan menjadi dua, yaitu: a) tetap sebagai transaksi titip  berjamin nilai (wadi’ah), dan b) transaksinya berubah menjadi qardl (utang). Namun, karena asalnya diawali dari titip (wadi’ah), maka qardl-nya disebut qardl hukman karena pihak yang diutangi tidak tahu menahu kapan utang terjadi.

Yang penting uang yang dititipkan adalah selamat dan aman. Nah, penggunaan masing-masing dari akad ini memiliki risiko.

Pertama, Transaksi dipandang sebagai Qardl Hukman

Qardl hukman adalah utang yang tidak disadari oleh pihak yang diutangi disebabkan karena barangnya digunakan oleh pihak yang dititipi, namun pihak penitip sadar bahwa uangnya pasti akan digunakan oleh pihak yang dititipi dan ia mengijinkan penggunaannya. Bedanya dengan ghashab, barang dipergunakan oleh pihak lain namun tanpa adanya ijin.

Ketika barang titipan sebagaimana deskripsi di atas digunakan oleh hartawan, akan tetapi ma’lumun idznuhu (maklum diketahui idzinnya), maka ia dipandang sebagai barang utangan. Sebagai barang utangan, maka seolah terjadi adanya akad tukar-menukar (mu’awadlah) berupa “fisik uang 1” menjadi “fisik uang lainnya”, yang nilainya dijamin sama oleh pihak yang mengutangi.

Baca juga:  Menengok Kampus Favorit Mahasiswa Indonesia di Sudan 

Karena uang dipandang sebagai barang ribawi (barang yang rawan fluktuasi), maka pertukaran “uang dengan uang” termasuk pertukaran barang ribawi, akan tetapi masuk kategori ribawi sejenis yang mensyaratkan wajibnya taqabudl (bisa diserahterimakan), tamatsul (sejenis / uang-uang, rupiah-rupiah, dolar-dolar), dan hulul (pencairannya tidak dicicil melainkan harus “kontan”). Dengan demikian, kelebihan yang terjadi pada salah satu fisik uang yang ditukarkan dapat menjadikannya sebagai transaksi “riba al-fadhli”.

Kedua, dipandang tetap sebagai Akad Titip yang dijamin (Wadi’ah yadu al-Dlammanah)

Alangkah sangat merepotkan sekali bila uang tetangga yang dititipkan kepada seseorang yang dijalan atau tempat tertentu tidak boleh digunakan asal ada jaminan. Tentu akad ini menjadi tidak maslahah karena memberatkan salah satu pihak yang dititipi. Padahal, syariat menganjurkan adami al-masyaqqah, yaitu menghilangkan kesulitan dan mendahulukan kemudahan.

Sebagai bentuk menghilangkan masyaqqah, maka syariat memberlakukan syariat dlaman (ganti rugi). Karena uangnya dipakai, maka wajib ganti rugi (dlaman). Dengan kata lain, asal siap untuk mengganti fisik uang yang digunakan, maka bagi penitip hanya mengatakan “tidak apa-apa.” Soalnya bagi penitip, yang terpenting adalah uangnya selamat. Sudah syukur baginya tidak mengeluarkan biaya untuk menyewa jasa titipan. Jadi, dipersilakan saja uangnya dipakai.

Sampai di sini, maka tidak ada larangan memakai fisik uang yang dititipkan itu karena ma’luman bi idznihi (sangat diketahui izinnya). Dan dalam kasus ini, pihak yang dititipi siap mengganti uang yang dipakai. Seandainya digambarkan dalam kata-kata, mungkin permintaan izin dari pihak yang dititipi kepada penitip itu seperti ini:

Baca juga:  Sejarah Akad Titip Harta pada Masyarakat Arab Pra-Islam

Fisik uangmu aku pakai, tapi kalau kamu datang sewaktu-waktu mengambilnya, aku jamin nilainya tetap kamu dapat.”

Iya”, jawab penitip. “Yang penting uang saya aman dan tidak membayar cost titipan.”

Nah, akad seperti inilah yang dimaksud sebagai akad wadi’ah berjamin nilai (wadi’ah yadu al-dlammanah).

Kedua model akad di atas, pada dasarnya memiliki titik awal berangkat yang sama, yaitu motif titip dari seorang penitip. Akan tetapi, masing-masing memiliki titik tekan yang berbeda saat berhadapan dengan fakta munculnya unsur yang baru (amrun ‘aridli).

Pertama, ketika berhadapan dengan izin penggunaan yang diketahui ridanya (‘ulima ridlahu). Kedua, saat izin itu dimaknai sebagai utang karena obyek yang diizinkan dipergunakan itu berupa harta.

Namun, keduanya disatukan oleh unsur kemaslahatan, yaitu selamatnya harta penitip, tidak itlaf (rusak) karena biaya sehingga ia lepas dari beban tanggungan cost. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top