Sedang Membaca
Masa Depan Ketakpastian: Refleksi dari Musala yang Dikunci
Damhuri Muhammad
Penulis Kolom

Damhuri Muhammad, lahir di Padang, 1974. Alumnus Pascasarjana Filsafat, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia menulis fiksi, esai seni, kolom budaya di media-media nasional. Damhuri telah menulis 7 buku. Karya terkininya, Takhayul Milenial (nonfiksi, 2020). Kini ia berkhidmat sebagai pengajar filsafat di Fakutas Sastra Universitas Darma Persada, Jakarta.

Masa Depan Ketakpastian: Refleksi dari Musala yang Dikunci

Siang itu musala kecil di samping rumah saya telah digembok. Para pengurus inti telah membawa kunci ke rumah masing-masing. Tidak untuk dibuka kembali menjelang Ashar, sebagaimana biasa, tapi untuk di-non-aktifkan untuk sementara, guna mematuhi himbauan social distancing (belakangan istilahnya diubah menjadi physical distancing) di masa darurat wabah Corona.

Sekilas saya pandang wajah seorang pengurus. Tampak pasrah menerima hasil keputusan bersama itu, meski jauh di kedalaman, raut mukanya menyiratkan bimbang yang tak akan terbahasakan.

Tanpa mengurangi hormat pada segala upaya dalam memutus mata rantai penularan virus mematikan ini, kebimbangan itu adalah bagian dari kebimbangan massal, akibat ketakpastian-ketakpastian yang merajalela. Sampai kapan kita akan menutup pintu bagi jamaah? Sampai kapan kita harus berpisah dengan keriangan anak-anak saat mengeja alif-ba-ta? Sampai kapan rapat-rapat rutin perihal pembagian infaq untuk yatim dan fakir miskin akan ditunda? Sampai kapan rapat-rapat warga perihal iuran makam, kerja bakti rutin, dan keamanan lingkungan mesti diberhentikan?

Tak ada kepastian jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kecil itu. Semakin nyinyir dipertanyakan, semakin jauh kami dari kepastian. Sementara ketakpastian-ketakpastian itu terus menumpuk, saya dan para pengurus musala yang lain, senantiasa dikepung oleh berbagai kabar perihal wabah Corona yang berseliweran di grup-grup percakapan daring. Kami bagai tenggelam dalam air bah informasi yang tak ada habis-habisnya sepanjang hari. Mulai dari angka-angka dan statistika jumlah korban meninggal di seluruh dunia yang dimutakhirkan setiap hari, persentase rata-rata kematian, kesembuhan, dan peningkatan jumlah kasus, hingga berbagai macam kisah dramatik seputar wabah di dalam negeri, yang hingga kini, bagai bagian dan sub-sub bagian dari sebuah roman panjang yang tak khatam-khatam.

Arus deras dari banjir kabar  itu seperti saling berpacu dengan kecepatan penularan wabah Corona itu sendiri. Banyak orang tiba-tiba muncul dalam wajah seorang epidemiolog, virolog, bahkan pakar teori konspirasi. Berbagai istilah bergentayangan di linimasa, mulai dari  pandemi, lockdown, social distancing, work from home, stay at home, physical distancing, dan belakangan juga marak diperdebatkan; herd immunity. Dalam nada berkekalar, seorang warganet menyebut fenomena ini dengan sindrom “Kemringgrisisme Tengik di Musim Korona”. Menjelaskan apa itu virus, apa itu Corona, pada khalayak jamak, sukarnya alang-kepalang, harus dijelaskan pula duduk perkara makna kata-kata asing itu. Seolah-olah Corona hanya akan menjangkiti kaum darah-biru, sementara kami yang awam di kasta paling bawah, tak bakal dihampiri Corona. Apakah penyakit bisa memilih-milih warna kulit dan martabat sosial bangsa manusia? Demikian warganet itu bertanya.

Baca juga:  Gus Dur, Wacana Islamisasi dan Masyarakat Madani

Sedemikian ajaibnya banjir informasi yang melanda kita, selain vaksin guna menangkal pandemik Corona, menurut WHO, beberapa waktu lalu, kita juga membutuhkan vaksin guna membasmi “infodemik” alias banjir informasi tentang virus itu sendiri. Kedua vaksin itu belum ditemukan hingga kini. Tangkapan data udara Drone Academy dengan kata kunci “Covid-19” dalam rentang waktu 2 hari terakhir (22-23 Maret 2020) saja, menghimpun 2.831.458 konten yang mengandung kata “Covid-19”. Tak kurang dari 1.675.849 akun medsos aktif dengan frekuensi unggahan (berisi konten Covid-29) 1-5 kali. Di masa Social Distancing di mana banyak orang bekerja secara daring (tentu didominasi oleh kegandrungan bermedsos), Twitter dan Facebook kabarnya sedang mengurangi kualitas tampilan video guna menghindari banjir konten agar sistem penyimpanan datanya tidak tiarap.

Arus deras kabar yang dibawa oleh konten-konten yang membludak itu, bergerak amat cepat, bahkan lebih cepat dari penularan Covid-19 itu sendiri. Ada yang benar, tapi tak sedikit pula yang menyesatkan, bahkan tak jarang telah memicu kepanikan. Dalam seminggu terakhir, situs resmi www.covid19.go.id telah menangkal tak kurang dari 188 konten hoaks tentang Corona. Jumlah yang akan terus bertambah sepanjang masa darurat bencana nasional.

Dengan rupa-rupa upaya yang telah dilakukan, lalu kapan kurva statistika korban Corona akan melandai? Atau jika masih akan terus menanjak tajam, di bulan apa kira-kira penularan itu akan memuncak di Indonesia? Sudah sampai di mana pekerjaan para ahli dalam kerja penemuan vaksin  guna membasmi Corona? Demikian topik obrolan pagi kami,  di WAG pengurus musala yang sudah dikunci itu. Sekali lagi tak ada kepastian atas pertanyaan-pertanyaan yang mengandung  kecemasan itu. Alih-alih  kepastian, banjir informasi tentang Corona, malah semakin menebalkan kebimbangan, dan tak jarang membuat kami terombang-ambing di antara “percaya”, “waspada”, “sabar”, “kecewa” dan “takut”. Pagi kami percaya, siang berubah takut, sore “waspada”, malam “kecewa” dan sebelum tidur, hanya kesabaran yang dapat mengendalikan kepanikan kami.

Baca juga:  Pemenang Lomba Menulis Ramadan Berkah (5): Hening Pesantren Merindu Santri

Dalam masyarakat komunal, jika kita sedang bimbang, biasanya kita perlu berbagi, bercakap-cakap dengan sesama, setidaknya untuk memastikan bahwa bukan saya belaka yang sedang berada di zona galau, karena itu adalah kegalauan berjamaah. Celakanya, jangankan bercakap-cakap di pos kamling atau area tongkrongan di sekitar permukiman urban, berkumpul di musala untuk salat lima waktu saja, tak diperkenankan untuk sementara waktu. Darurat Corona membuat komunalisme yang telah mendarah-daging dalam keseharian kita, bergeser ke wilayah individualisme yang janggal.

Kita tak henti-henti meneriakkan himbauan Di Rumah Saja sebagai etos kebersamaan dalam menghadapi wabah berbahaya, tapi pada saat yang sama, kita harus mengurung diri sendiri, tanpa bertatap muka dengan tetangga dan para sejawat karib di lingkungan kita. Demi kemaslahatan bersama, solidaritas ternyata harus dipaksakan bekerja dengan individualitas. Atas nama ancaman, komunalisme “dilumpuhkan,”  karena yang dipercaya dapat menyelamatkan hidup  kita kini adalah individualisme. Inilah paradoks besar yang mungkin belum pernah terjadi sebelumnya.

”Rejim” ketakpastian bukanlah barang baru dalam “habitus” kewargaan kita sebagai bagian dari Indonesia. Janji-janji tentang kesejahteraan, harapan-harapan akan perubahan nasib di masa datang, komitmen-komitmen tentang layanan publik manusiawi, dan pemenuhan rasa keadilan bagi seluruh warga yang kerap dipidatokan, apakah sungguh-sungguh telah tegak kepastian yang tak perlu lagi diragukan? Itupun bukan persoalan bagi kita, sepanjang basis komunal tidak diruntuhkan.

Baca juga:  Sikap NU Belanda atas Usulan DPR RI untuk Mengubah UU tentang KPK

Dalam situasi ketakpastian itu, banyak orang masih dapat mengalihkan harapannya pada ruang-ruang mistis dan eskatologis di komunitas-komunitas Burung Berkicau atau penyuka Batu Akik misalnya, atau ruang-ruang klenik-futurustik yang tersedia dalam janji-janji membuai di kerumunan pengikut Ratu Kerajaan Ubur-ubur, Kraton Agung Sejagat, atau visi-visi agung dan adiluhung yang  pernah diwartakan oleh pejabat tinggi Sunda Empire.

Tapi, kini kanal komunal guna merawat harapan-harapan baru itu sedang disumbat rapat-rapat, atas nama keselamatan umat sejagat. Tak ada yang boleh melarikan diri dari pusaran ketakpastian. Tak ada yang diperkenankan mengurangi beban kebimbangan dengan cara mempercakapkannya di musala selepas Subuh, Maghrib, atau Isya. Tak ada yang bisa mengeluhkan harga sembako yang melonjak di kerumunan ibu-ibu hebring saat berbelanja di bakul-bakul sayur. Tak ada jaminan keselamatan bagi warga yang masih nekat menggelar arisan RT, meski banyak anggota yang belum dapat giliran sedang didesak oleh banyak kebutuhan. Semua pintu komunal telah dikunci, sebagaimana pintu masuk mushala kecil kami. Semua akses untuk bertatap muka boleh jadi akan segera dijaga oleh tentara. Ruang-ruang untuk menjaring kegembiraan sesaat di masa pagebluk ini bagai sedang dipasang garis polisi.

Kabar tentang vaksin Corona belum juga tiba. Kurva data kematian akibat virus itu entah kapan bakal melandai. Timbunan ketakpastian demi ketakpastian telah menyesak hingga kerongkongan. Para pengurus musala yang sudah terkunci itu, kini mengelola ketakpastian-ketakpastian dalam kesepian, dalam individualitas yang ganjil, tanpa canda-tawa, tanpa tatap muka, tanpa bahasa…

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top