Sejarawan Kuntowijoyo pernah membuat analogi bahwa membaca sejarah itu ibarat naik kereta api dengan posisi membelakangi lokomotif. Kita melihat ke belakang sambil terus meluncur ke depan. Seberapa banyak yang kita lihat tergantung jarak tempuh dan lamanya waktu perjalanan. Menurut saya, selain jarak dan waktu, hal yang cukup berpengaruh adalah titik-titik pemberhentian dan kawasan yang dilalui. Jeda di sebuah stasiun boleh jadi mengubah situasi dan cara pandang kita, katakanlah ada orang lain duduk atau pergi dari sisi kita. Kawasan yang dilalui juga memberi warna dan rasa pada perjalanan.
Membaca sejarah Padri di Minangkabau yang melintas selama 35 tahun (1803-1838), bisa diibaratkan demikian. Lintasannya pastilah tidak liner. Ia memiliki dinamika dan fase sendiri yang tak bisa digeneralisasi. Ini ibarat melihat sejarah Barus—sebagai contoh. Jika Anda tak menemukan bekas pelabuhan lama atau pohon kamper saat berkunjung, tapi justru menemukan bekas benteng Belanda di pasar Barus, bukan berarti pelabuhan dan pohon kamper itu tidak ada. Bukan pula berarti sejarah Barus baru dimulai pada masa kolonial sehingga ia dianggap sama mudanya dengan sejarah kota-kota di pantai barat yang lain.
Begitu pula sebaliknya. Jika kita melihat penelitian tentang Barus kuno dengan Lobu Tua-nya sebagaimana dilakukan Claude Guillot, kita kadang lupa bahwa Barus juga punya persinggungan dengan era Batak, Minang dan Aceh sebagaimana ditunjukkan oleh Jane Drakard atau era kolonial yang diangkat Daniel Perret dan Heddy Surahman. Ingatlah, sejarah Barus itu memiliki lintasan dan periode yang panjang. Tak hanya masa kampernya dibawa ke Mesir kuno, tapi juga ada Barus masa Raja Hilir dan Raja Hulu, era Aceh dan kolonial. Setiap masa memiliki kecenderungan dan dinamikanya.
Begitu pula dengan Padri. Ada fase yang terlupakan, sehingga seolah-olah Padri itu muncul dari langit yang ujug-ujug menentang kebatilan di muka bumi. Seolah ia meledak dan membesar begitu saja tanpa ada proses yang berarti. Boleh jadi awalnya dipicu kepulangan trio-haji darek (tiga haji dari dataran tinggi), yang secara khusus oleh tindakan Haji Miskin membakar balai adat Pandai Sikek. Dan boleh jadi pula keberanian membakar itu dimiliki Haji Miskin setelah melihat sendiri tindakan Wahabi saat di Tanah Suci, tapi saya kira proses terjadinya tetap harus dilihat proporsional.
Setidaknya ada tiga tahap atau tiga fase yang dilintasi “kereta” Padri. Pertama, Gerakan Padri (1803-1821), yakni gerakan personal atau kelompok yang dilakukan orang siak (santri atau ulama) kepada para penghulu atau penguasa adat dalam memprotes sabung ayam, madat dan judi. Pada masa ini yang sering terjadi semacam “jual-beli” pukulan dalam perkelahian, atau cakak banyak (tawuran massal, antar kampung atau antar kelompok). Kaum adat dan agama belum jauh terpolarisasi, meski disaat yang sama mereka punya kekuatan seimbang. Ada aksi, ada reaksi, dan sebaliknya.
Hubungan baik antara Haji Miskin dan Datuak Batuah di Pandai Sikek, menunjukkan bahwa tidak benar kaum Padri tanpa kompromi dengan kaum adat. Hubungan baik Datuk Bandaro dengan Nan Renceh menunjukkan keliru menganggap kaum adat tak bisa bersahabat dengan orang alim. Bandaro, salah satu Raja Empat Sila dari Lembah Alahan Panjang, memilih ikut Tuanku Nan Renceh ke Bukit Kamang, menyusul Haji Miskin yang terusir dari Pandai Sikek. Datuk Bandaro juga mengajak Peto Syarif mendampingi Haji Miskin berdakwah ke kampung-kampung. Datuk Bandaro pulalah yang membawa Peto Syarif pertama kali menghadap ke Tuanku Nan Tuo, di Koto Tuo, Ampek Angkek, yang terkenal dengan surau Cangking-nya.
Sebagaimana kita ketahui, Tuanku Nan Tuo memiliki banyak murid yang kemudian mendirikan surau sendiri. Salah satunya Tuanku Nan Renceh di Kamang dan Tuanku Mansiangan di Padang Laweh. Haji Miskin, setelah membakar balai adat dan tempat sabung ayam di Pandai Sikek berlindung ke Tuanku Mansiangan dari kejaran orang balai, sebelum akhirnya ia bergabung ke Nan Renceh di Bukit Kamang.
Kasus ini menjelaskan bahwa para kepala suku di daerah yang ekonominya maju justru sangat bersemangat ikut melakukan perubahan (Dobbin, 1983: 207, 258). Hal ini sekaligus menampik anggapan Radjab tentang status kaum adat sebagai “orang kalah” atau “putus asa” yang terpaksa ikut Padri. Menurut Radjab, kaum bangsawan (adat) ada yang mengikuti orang siak atau guru agama, tetapi biasanya yang sudah miskin, yang sempit penghidupannya, dan tidak terkemuka dalam pergaulan hidup (Radjab, 1954/2019: 5).
Datuk Bandaro jelas bukan orang yang hilang pamor atau sempit penghidupannya. Ia tokoh yang dihormati. Tetapi sebaliknya, harus diakui, tidak semua ulama mendukung gerakan orang siak. Tuanku Nan Tuo sendiri, guru para tuanku, bahkan menolak permintaan murid kesayangannya, Nan Renceh, untuk memerangi TBC (Takhyul, Bid’ah dan Khurafat) dengan cara kekerasan. Tuanku Nan Tuo lebih memilih memberi “obat” meski sembuhnya menunggu waktu.
Kedua, Perang Paderi (1821-1833). Fase ini bisa dikatakan perang kolonial Belanda melawan kaum pribumi Minangkabau, terutama kaum putih (agama). Tuanku Nan Renceh, yang sejak awal marah melihat tindak-tanduk kaum adat dan ingin segera bertindak—tapi tak didukung sang guru—akhirnya euforia saat mendapat kawan sepadan; tiga haji yang baru pulang dari Mekah. Maka berhimpun dan bergeraklah mereka atas nama Jihad Fisabilillah. Kaum adat terdesak dan kesempatan itu dimanfaatkan Inggris, kemudian Belanda, untuk menerima permintaan bantuan kaum hitam (adat). Harap diingat, istilah “kaum putih” dan “kaum hitam” merujuk warna pakaian yang sering dipakai masing-masing kelompok. Meski tak dapat dielakkan muncul juga asosiasi simbolik atas makna sebutan itu, misalnya yang suci melawan yang kotor. Tapi itu juga relatif. Bukankah warna hitam identik dengan bendera Rasulullah?
Adapun istilah kaum adat dan agama tampaknya sengaja diciptakan Belanda, atau paling tidak dilegitimasi, demi memecah kekuatan utama pribumi. Bukankah yang dilawan para alim itu sebenarnya bukan adat, melainkan perbuatan menyimpang atas nama adat? Bagaimana pun adat adalah sekumpulan aturan yang akan melindungi para pemakainya dari kerusakan dan kerugian. Judi, sabung ayam, maksiat dan seterusnya merupakan sederet penyebab kerusakan itu, namun dipertahankan oleh penghulu sebagai adat. Sebaliknya, mereka yang teguh pada agama bukan berarti tak punya adat. Mereka menuntut ilmu di surau, berguru dengan syekh, bersilat dan seterusnya, bukankah itu anasir adat? Jadi mustahil ada tindakan murni atas nama adat maupun atas nama agama.
Ketiga, Perang Padri melawan Kolonial Belanda (1833-1838). Jika perang periode sebelumnya seolah menyamarkan perlawanan terhadap kolonial, maka dalam periode ketiga ini perlawanan itu tampak kasat mata. Seluruh Minangkabau bersatu, tidak adat, tidak Padri, dengan satu musuh: kolonial Belanda. Pengepungan Benteng Bukit Tajadi terjadi dalam fase ini. Berawal dari Sipisang, di selatan Bonjol. Dalam serbuan tanggal 23 April 1835 dipimpin Letkol Bauer, Sipisang jatuh dan dijadikan kubu pertahanan Belanda. Sejak itu, ada sedikit celah ke Bukit Tajadi, meski tak mudah. Pasukan Imam Bonjol memberi perlawanan dengan semangat jihad, menyebabkan blokade berlarut-larut. Belanda selalu gagal menyerang dari arah utara dan timur, karena pergerakannya selalu dipotong oleh Tuanku Tambusai yang berbasis di Dalu-Dalu.
Pengepungan dan penyerangan berlangsung hampir dua tahun, melibatkan banyak pasukan bayaran baik dari kalangan Nusantara seperti Bugis, Ambon, Jawa dan Madura, juga sepoy Eropa, serdadu Afrika seperti Ghana dan Mali. Ini membangkitkan semangat rakyat Bonjol untuk memberontak kepada Belanda, seiring jatuhnya Benteng Bukit Tajadi pada 16 Agustus 1837. Meski Bonjol jatuh, tapi menurut M. Radjab Perang Padri baru benar-benar berakhir tahun 1838. Alasannya, pertahanan Padri penghabisan, Dalu-Dalu, jatuh setahun berikutnya, tanggal 28 Desember 1838 (Radjab, 411).
Namun yang menarik, bangkitnya rakyat Bonjol sejak masa blokade hingga jatuhnya Benteng Tajadi, merepresentasikan kebersatuan Minangkabau pasca Padri. Pada periode ini pemberontakan rakyat meletus, seperti di Batipuh (1841), Pauh (1844), Bukit Sebelas Sijunjung dan Sungai Pagu (keduanya tahun 1844)—kelak berlanjut hingga Perang Manggopoh dan Perang Kamang (1908). Semua itu bukan lagi atas nama Padri tapi kepemimpinan rakyat setempat seperti Sutan Pamuncak di Batipuh, Syekh Abdul Manan di Kamang dan Siti Manggopoh di Manggopoh. Tapi rintisan persatuan itu sudah terlihat pada fase ketiga Perang Padri (1833-1838), di mana kaum Padri mendapat banyak dukungan dan mereka pun merangkul sebanyak-banyaknya pendukung; fokus bukan lagi pada “pemurnian” agama, tapi pada”pembebasan” wilayah.
Sedikit Introspeksi
Tuanku Imam Bonjol dalam batas tertentu bisa ditempatkan sebagai prototipe orang beragama dan beradat sekaligus. Dapat dilihat ketika Bonjol sedang jaya, ditandai benteng yang kuat, pasukan terkoordinir dan amannya pusat pangan, Imam Bonjol selalu merundingkan hal-hal penting dengan para penghulu, misal dalam pembuatan benteng desa. Ia mengatakan bahwa ia “tidak bisa memerintah tanpa penghulu adat”.
Dalam nasehatnya kepada putranya, Naali Sutan Chaniago, yang konon sedang dipersiapkan untuk menggantikannya, Imam Bonjol mengatakan,”Akui hak para penghulu adat, taati aturan mereka. Kalau ini tidak bisa ditaati, maka ia bukan penghulu yang benar dan hanya memiliki gelar saja. Sedapat mungkin setialah pada adat dan kalau pengetahuannya belum cukup, pelajarilah dua puluh sifat-sifat Allah.” (Dobbin, 1983: 261)
Sayang hal-hal seperti itu tak banyak terungkap dari Tuanku Imam Bonjol atau tokoh Padri lainnya. Begitu juga sebaliknya, kaum adat dianggap tak punya dunia spiritual karena tindakan sebagian mereka yang “mengidap TBC”. Padahal jika kita jujur, dunia tasawuf tak bisa dilepaskan dari aura mistis “alam” Minangkabau seperti ziarah, berkaul, suluk, dan surau. Jika tradisi itu menunjukkan sinkretisme yang merujuk Islam tradisional, yakni ajaran yang justru ingin dimurnikan Padri, ingatlah satu hal penting: surau. Bagaimana mungkin orang Padri menolak surau karena mereka berguru dan berbasis di situ sehari-hari?
Di sisi lain, saya juga berpikir, apakah patut semua soal dibebankan pada kolonial? Apakah benar pergolakan tak putus antara orang-orang yang kuat basis agamanya dengan mereka yang kuat tradisi adatnya berawal dan berakhir di tangan kolonial? Jika kita jujur, tak sepenuhnya begitu. Sebelum bangsa Eropa datang, intrik-intrik istana di Pagaruyung atau Kesultanan Indrapura misalnya, sudah kerap terjadi. Jauh sebelumnya, di kalangan adat juga ada friksi Ketemanggungan dan Bodi Chaniago. Agak kemudian, dalam agama ada friksi Satariyah, Naqsabandiyah dan dunia perguruan lainnya yang melibatkan kaum tua dan kaum muda. Jadi kurang adil kalau kita membebankan semuanya kepada kolonial, meski juga akan lebih tidak adil jika tak mengakui bahwa kolonial(-isme) telah membuat “bumi berantakan” (istilah Frantz Fanon, 1961).
Namun, kita juga bisa membalik perspektif ini dalam kehidupan mutakhir. Belakangan banyak soal yang terjadi dalam cara kita beragama dituding penyebabnya paham Salafi atau Wahabi. Padahal mengerasnya identitas atau suatu paham tak terlepas dari longgarnya ikatan keseluruhan. Artinya, kemunculan suatu paham bisa terkait dengan situasi yang membuat paham itu jadi pilihan dan berkembang. Dalam relasi negara dan agama misalnya, kerap kali satu kelompok tidak terakomodasi, baik secara politik maupun kultural, dan akhirnya mengibarkan identitas sendiri kadang dengan cara praktis dan fanatik. Sumatera Barat hari ini saya kira menghadapi situasi ini. Secara kultural mereka Aswaja yang dekat pada Perti maupun Masyumi. Tapi karena secara struktural keduanya sudah bubar, mereka tidak serta-merta menemui tempat bernaung yang nyaman di Muhamadiyah atau NU meski secara de facto mereka ada di situ. Transisi ini mengeraskan identitas lewat citra dan pengibaran syariat.
Akhir yang Haru
Kita kembali ke Bonjol. Jadi setelah Benteng Bukit Tajadi jatuh, Tuanku Imam Bonjol ditangkap di Palupuh, Agam. Ia kemudian dibuang ke Cianjur, sempat dipindah sebentar ke Ambon lalu Manado. Ia wafat pada 8 November 1864 dan dimakamkan di Lottak, Pineleng, Minahasa. Saya pernah berziarah ke sana. Makamnya bersungkup atap runcing ala rumah gadang, protetipe Istana Raja Pagaruyung yang pernah dibakar Tuanku Lintau pada masa awal gerakan Padri.
Juru kunci makam tak lain keturunan anak angkat Imam Bonjol, Ibu Ainun. Ia fasih berbahasa Minang dan dipanggil warga setempat Bundo Kanduang. Anak angkat Imam Bonjol sendiri bernama Appoloce Minggu, seorang Ambon-KNIL yang ditugaskan mengawal Imam Bonjol. Ia kemudian memeluk Islam dan menurunkan antara lain Ibu Ainun yang masuk generasi keempat.
Kompleks makam Imam Bonjol dilengkapi sebuah masjid, terletak damai di tengah kampung yang mayoritas beragama Kristen. Di sana mengalir sebatang sungai, Kuala Kali, dan di tepinya ada batu pipih tempat sembahyang Imam Bonjol. Saya pun sholat zuhur di sana. Belakangan saya dapat kabar dari seorang kawan bahwa serentang lurus dengan makam Imam Bonjol, di seberang sungai, berdiri pabrik cap tikus yang sudah legal!
Selama di pembuangan, lahir sebuah naskah penting tentang Tuanku Imam Bonjol yang aslinya ditulis anaknya, Naali Sutan Chaniago. Meski sudah dialihbahasakan oleh Sjafnir Aboe Nain (Petrik Matanasi, Tirto.id, 2019), tapi catatan memoar tersebut tidak seberuntung Babad Diponegoro yang telah diakui UNESCO sebagai Memory of the World, dan diteliti dengan mendalam oleh Peter Carey.
Jika Memoar Imam Bonjol dikaji, tentu kita akan lebih banyak lagi tahu tentang Padri, kepemimpinan Imam Bonjol dan arti strategis daerah Bonjol. Tapi naskah penting itu seperti terkubur, di tengah arena intelektual Minang dan orang-orang melek literasi.