Peminat masalah sosial, tinggal di Yogyakarta

Di Bawah Bayang-Bayang Paradoks Bonjol (2): Dari Tano Batak ke Bumi Bonjol

Gerbang Museum Imam Bonjol

Akhir tahun lalu saya berkunjung ke Bonjol, kota kecil yang hidup dalam sejarah dan narasi besar Tanah Air. Narasi itu hidup dan bertumbuh sampai hari ini, tapi dalam semacam reposisi: dulu lebih populer gerakan Padri, sekarang mengental residu Wahabi. Padahal Padri memiliki akar gerakan yang kompleks terkait cara beragama dan sistem adat orang Minangkabau. Jelas Padri tidak serta-merta merujuk Wahabi; ada banyak “kantong peluh rahasia” (pinjam sebaris puisi Umbu) tersimpan di sana. Sayang hal terakhir kerap dipahami sambil lewat.

Memang gerakan Padri disebut terilhami gerakan Wahabi dari jazirah Arab. Waktu itu tiga orang Minangkabau baru saja pulang berhaji: Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Mereka sempat menyaksikan pasukan Al Sa’ud dan Muhammad bin Abdul Wahab dari Najd “memurnikan” agama Allah—tidak disebutkan apakah mereka melihat bagaimana pasukan Inggris ikut bekerja. Juga tidak disebut sikap mereka atas pemberontakan yang menelikung kekuasaan Raja Syarif Husein afiliasi Turki Utsmani itu.

Bonjol terletak di pedalaman Pasaman, di tengah jejeran Bukit Barisan. Sebagian perbukitan itu adalah gugus Bukit Duabelas yang menjadi batas Tano Batak dengan ranah Minangkabau. Di timur Gunung Pasaman, tonjolan perbukitan itu disebut Bukit Tajadi. Di situlah kubu pertahanan kaum Padri paling kuat pernah berdiri. Pimpinannya Peto Syarif, yang kemudian dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol.

Lanskap Alam Angkola

Di antara perbukitan dan pegunungan, membentang lembah subur. Dalam berbagai kajian disebutkan bahwa kebudayaan pesisir lebih maju dibanding pedalaman, sehingga muncul asumsi bahwa asal-usul kemajuan dari pesisir. Ternyata tak sepenuhnya benar. Di Sumatera, kebudayaan lembah tercatat paling maju, seolah menunjukkan tanahnya yang subur. Sebutlah Lembah Pasemah di Sumatera Selatan, Lembah Bakkara, Silindung dan Mandailiang di Sumatera Utara, Lembah Rao, Solok-Selayo, Tanah Datar dan Lembah Alahan Panjang tempat Bonjol berada.

Uniknya, jika bisa disebut demikian, saya ke Bonjol setelah lebih dulu menyisir pesisir, dari Padang, Ulakan, Tiku, Air Bangis hingga Natal. Terus ke Batang Toru melintasi danau-rawa Siais yang keindahan dan kesepiannya sangat menakjubkan. Saya lewati kampung-kampung orang Angkola yang sebentar ramai, tapi lalu akan sepi sesepi-sepinya, dengan jalan yang rusak di sejumlah ruas, tapi alangkah bagusnya di ruas lain; sebuah “variasi” infrastruktur yang tak sepenuhnya saya mengerti.

Mengapa di kawasan Siais, jangankan kampung, seorang manusia pun jarang saya temui, jalannya justru mulus dan lebar, sementara di kampung yang ramai seperti di Angkola Sangkunur, jalannya malah rusak bolong-bolong? Semacam simbol tak meratanya keadilan? Entahlah.

Di kawasan Tapanuli Selatan bermukim sub-etnik Batak: Mandailing dan Angkola. Menurut Zulyani Hidayah dalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (LP3ES, 1993), suku bangsa Batak lebih suka menyebut diri mereka orang Tapanuli, sedangkan nama Batak dianggap berasal dari orang luar (1993: 42). Saya tak tahu persis apakah anggapan ini yang belakangan memicu diskursus panas tentang “Tapanuli bukan Batak”, dan mengerasnya identitas Batak di sisi lain. Lamat-lamat terdengar bahwa anggapan itu terkait faktor agama. Tapanuli (khususnya Tapanuli Selatan) mayoritas beragama Islam, sehingga seolah terciprat istilah dari timur kawasan, Riau, bahwa “Melayu adalah Islam” atau selatan kawasan, Sumatera Barat, bahwa “Minang adalah Islam”, dan sebaliknya.

Baca juga:  Tunas GUSDURian (2): Tunas Yang (Tak) Terbatas

Akan tetapi jika kita melihat Tapanuli Utara yang banyak memeluk Kristen atau Katolik, maka sebutan itu boleh jadi politis terkait impian untuk membentuk Provinsi Tapanuli, terpisah dari Sumatera Utara. Impian itu belum lagi kesampaian, masuk daftar moratorium terutama sejak tragedi meninggalnya ketua DPRD Sumut, Aziz Angkat, saat demonstrasi menuntut pengesahan pembentukan Provinsi Tapanuli (Detiknews, 3/2/2009).

Padahal secara etimologi, Tapanuli berasal dari Tapian Nauli, tepian atau tempat pemandian yang indah, bisa merujuk tepian teluk Sibolga yang cantik, bisa juga tepian Danau Toba yang ciamik. Apapun, perdebatan berlatar politis dan identitas, seolah mengulang masa ke belakang ketika gerakan Padri menguat di kawasan ini. Bagi saya, penyebutan sub-etnik dengan berbagai ragamnya sementara ini merupakan jalan tengah yang perlu dimaknai secara proporsional.

Angkola-Mandailiang sendiri merupakan salah satu sub-suku bangsa Batak, di antara sub-suku bangsa Batak lainnya: Toba, Karo, Dairi, Pakpak dan Simalungun.

Angkola-Mandailiang mendiami daerah Angkola, Padang Lawas, Batang Toru, sebagian Sibolga, Mandailiang, Ulu Pakantan dan bagian selatan Padang Lawas. Wilayah tersebut masuk dalam Kabupaten Tapanuli Selatan yang jumlah populasinya sekitar 700.000 jiwa. Sementara itu, di Tapanuli Utara tersebar sub-etnik Batak Toba mulai di sekitar Danau Toba, Pulau Samosir, dataran tinggi Toba, Silindung, Barus, Sibolga, sampai ke daerah pegunungan Bukit Barisan antara Pahae dan Habinsaran (Hidayah, 1993: 16, 42, 264).

Mekarnya Tapanuli Selatan dan Lahirnya Penguasa Lokal

Perjalanan saya berlanjut ke Padang Sidempuan, kota terbesar di Tapian Nauli—kota lainnya adalah Sibolga di Tapanuli Tengah. Padang Sidempuan dulu merupakan ibukota Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel), namun kantor bupatinya pindah ke Sipirok sejak Padang Sidempuan menjadi kota otonom tahun 2001.

Sidempuan menjadi tempat pelintasan penting bukan hanya setelah Jalan Lintas Sumatera dibangun tepat melintasinya, tapi sejak zaman bahuela. Kota ini juga jadi pelintasan pedagang dari pesisir ke dataran tinggi. Tahun 1821 sebuah benteng Padri pernah didirikan di sini oleh panglima Tuanku Lelo. Pada masa pemerintahan Gubernemen Sumatera’s Weskuts Padang, Sidempuan merupakan ibukota Keresidenan Mandailiang-Natal.

Kini nama Mandailiang-Natal (Madina) diabadikan menjadi nama kabupaten baru yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Selatan. Ibukotanya Penyabungan, terletak di tepi jalan Lintas Sumatera, dengan simpang utama ke pantai barat. Sejenak mengingatkan saya pada Kota Lubuklinggau di pedalaman Sumatera Selatan.

Selain Madina, terdapat dua lagi daerah pemekaran Tapsel, yakni Kabupaten Padang Lawas dan Padang Lawas Utara. Total ada empat daerah otonomi baru (DOB) di Tapanuli Selatan dalam era Otonomi Daerah. Satu lagi masih dalam prioritas nasional, yakni Mandailiang Pesisir (Mesir) yang rencananya beribukota di Natal. Dan jangan lupa, perjuangan pembentukan Provinsi Tapanuli belum berakhir.

Melihat pemekaran Tapanuli ini, entah kenapa saya jadi teringat lahirnya penguasa-penguasa lokal dalam era Padri. Adalah M. Radjab mengisahkan dalam bukunya, Perang Padri di Sumatera Barat (1803-1838). Buku ini terbit pertama kali tahun 1954 dan baru-baru ini diterbitkan kembali, Oktober 2019. Radjab menceritakan siklus terbentuknya kekuasaan lokal era Padri. Kaum Padri bukan hanya menguasai suatu wilayah, juga “merampas” kekuasaan datuk atau penghulu. Di tiap-tiap kampung yang dikalahkan, ditunjuk dua alim dengan pangkat atau status Tuanku Imam dan Tuanku Kadi. Yang pertama bertugas memberi pencerahan agama dan memimpin ibadah, dan yang kedua menghukum orang yang dipandang bersalah (Radjab, 1954/2019: 25).

Baca juga:  Menyingkap Jadzab

Mungkin terlalu berlebihan menyamakan penguasa lokal era Padri dengan penguasa lokal era otonomi. Kita tahu, kemunculan walikota dan para bupati merupakan pilihan rakyat melalui politik demokratisasi. Terbentuknya wilayah kekuasaan baru melalui pemekaran dengan merepetisi ungkapan “demi kesejahteraan daerah” juga dilegalkan melalui undang-undang. Tapi tidakkah watak-watak yang menyertainya kadang menyerupai, jika tidak menyamai, pola kekuasaan lama?

Ah, baiklah, saya lanjut. Kotanopan saya masuki saat azan subuh berkumandang. Suara muazinnya terdengar keras dan lantang. Jika saja tanpa pengeras suara, gemanya tetap akan terdengar ke mana-mana. Dada saya berdebar kencang. Maklumlah, kota ini bertahun-tahun mengendap dalam angan saya.

Karenanya, dalam cerpen “Kota-Kota Kecil yang Terus Hidup dalam Kepalaku”, ia saya gambarkan demikian: “Kotanopan diam-diam membangun dirinya lewat bayangan rumah-rumah papan yang di bagian terpadat adalah pasar. (….) truk dan bus-bus malam lewat selalu disaat kota telah lelap, sehingga jika saja anak-anak muda yang bergitar hingga larut tak mengumbar cerita tentang kejadian semalam (misal, soal rokok dan pertengkaran dengan sopir dekat jembatan), maka penghuni kota hanya tahu bahwa kotanya tak pernah dilintasi oleh apa pun, kecuali kendaraan di siang hari yang sudah diakrabi. Tak tahu, manakah jiwa kota yang sebenarnya, anak-anak muda yang bergitar dan bertengkar dekat jembatan, atau para orang tua yang lekas tidur; sebab apalah bedanya pertengkaran dan dengkur” (Banua, 2018: 4).

Nyaris persis gambaran itulah yang saya temui. Sebuah pasar pagi dan sebuah masjid di belakang pasar. Masjid ini tak punya kran, tapi pancuran bambu mengucur langsung dari sungai kecil. Bagi yang mau bersuci bisa jongkok di alur sungai yang dibuat melewati toilet dan tempat wudhu. Karena terletak di kawasan pasar, masjid ini ramai. Baru saya tahu dari istri saya, bahwa fasilitas wudhu perempuan terbatas. Ruangnya sempit, pancurannya hanya dua, sehingga mereka antri lama. Beda dengan laki-laki, lapang dan banyak pancurannya.

Selesai sholat, saya nikmati secangkir kopi sambil melihat sayur-mayur segar diturunkan dari oto, bis-bis Jawa-Sumatera melintas, dan bangunan-bangunan tua berderet di tepi jalan. Bersama pagi yang mulai benderang lanskap alam terlihat membentang seperti di atas kanvas pelukis Wakidi. Saya susuri perlahan. Sedap sekali.

Jalan Lintas Sumatera yang saya lalui sealur dengan Batang Gadis. Muaranya dekat Singkuang, Natal, dengan arusnya yang lamban, sudah saya lewati beberapa hari lalu. Di hulu, arus sungai ini mengalir lincah seperti gerak gadis turun gunung. Aliran dari hulu ke muara seolah perjalanan waktu yang mengubahnya dari gadis menjadi tua.

Baca juga:  Layani Kaum Urban Jakarta, PBNU Selenggarakan Mudik Gratis

Saya teringat lagi M. Radjab, wartawan kawakan yang pada awal kemerdekaan juga melewati daerah ini. Dalam bukunya yang lain, Catatan di Sumatera (1949) ia menulis tentang pemandangan yang “sungguh tak terperikan, kata-kata tidak cukup melukiskannya.” Ada pun tentang Batang Gadis, ia mengatakan,“Berahi kita melihatnya mengalir di tengah Lembah Mandailiang”.

Di ujung selatan Kotanopan, saya lewati lagi sebuah kampung kecil yang permai, Tamiang, dengan sebuah pasar tak kalah ramai. Radjab menyebut Tamiang sebagai tempat berkuburnya pujangga Mandailiang terkenal, Sutan Kemala Bulan alias Flora. Tapi saya tak mampir berziarah karena mulai hujan, sebagaimana Radjab dulu gagal berziarah karena terhalang malam.

Kemudian saya masuki Muara Sipongi di perbatasan Sumatera Utara-Sumatera Barat. Kota kecil ini melahirkan nama-nama besar seperti sastrawan dan aktivis bersaudara Armijn Pane, Sanusi Pane dan Lafran Pane. Nama pertama dan kedua tercatat sebagai sastrawan penting Tanah Air, dan ketiga merupakan pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan tahun 2017 dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional. Ayah mereka sendiri, Sutan Pangurabaan Pane, merupakan tokoh pergerakan nasional.

Tentu tak bisa dilupakan “Bapak cerpen Indonesia” kelahiran Sipongi, M. Kassim (1886-1973). Dalam bukunya, Teman Duduk (1936) esetetika awal dunia cerpen kita mulai menemui bentuk.

Jalan Memutar ke Bonjol

Barangkali ada yang bertanya mengapa saya harus jalan memutar untuk sampai ke Bonjol, pusat kaum Padri yang menjadi episentrum geopolitik Minangkabau abad ke-19. Tidak lain untuk melihat lanskap alam tano (tanah) Batak yang sempat bersentuhan dengan lanskap geopolitik Minangkabau serta melibatkan sejumlah sosok yang tak terhapuskan dalam memori kolektif Batak-Toba, Mandailiang dan Angkola. Geopolitik itu tak hanya dipicu oleh kedatangan kolonial Eropa ke jantung Sumatera, namun juga oleh gerakan dan perang saudara yang kita kenal dalam sejarah sebagai Perang Padri.

Bersama Minangkabau bagian utara dan timur, Mandailiang-Angkola menjadi basis Padri, terutama ketika pelabuhan pantai barat Sumatera di kawasan tengah dan selatan Minangkabau dikuasai kolonial (mula-mula Inggris, kemudian Belanda). Mulai Air Bangis (yang coba direbut Tuanku Rao, tapi gagal, dan menyebabkan gugurnya dia), Sasak, Katiagan, Tiku, Pariaman, Padang, Painan, Bandarsepuluh hingga Indrapura.

Saat itulah Padri memindahkan pelabuhannya ke utara, mulai Batahan, Natal, Tubuyung, Singkuang, Batumondam, Sibolga, Sorkam, hingga Barus. Ketika pelabuhan bagian utara itu akhirnya jatuh, Padri memindahkan jalur dagang ke timur, melalui pelabuhan sungai yang mengalir ke Selat Melaka. Ini bersamaan dengan peralihan kubu terakhir mereka (benar-benar terakhir!) di Dalu-Dalu, Rokan Hulu, yang berdekatan dengan tano Batak bagian timur.

Selain Tuanku Imam Bonjol, sosok yang dipandang paling bertanggung jawab atas penyerbuan tano Batak adalah Tuanku Rao. Ia dikabarkan berdarah leluhur Batak, ponakan Sisingamangaraja X. Sementara itu, di Batak bagian timur, ada Tuanku Tambusai, meski digambarkan tak “sebuas” Tuanku Rao, tapi juga menghela kawasan ini ke pusaran konflik yang berakhir dengan kekalahan. Tuanku Tambusai terpaksa menyeberang ke semenanjung Malaya. Dan siapa yang menang? Siapa lagi jika bukan kolonial!

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top