Rizal Mubit
Penulis Kolom

Guru Ngaji di Kampung. Pengajar di Universitas Kiai Abdullah Faqih Manyar Gresik, Jawa Timur. Alumni Pusat Studi Qur'an Ciputat dan Pascasarjana IAIN Tulungagung prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Menulis sejumlah buku bertema keislaman. Peneliti Farabi Institute.

Tafsir Surah Al-Kafirun (Bagian 1)

Surah al-Kafirun merupakan wahyu ke-18 yang diterima oleh Kanjeng Nabi Muhammad di Mekkah (Makiyyah). Ada ulama lain yang mengatakan bahwa surah al-Kafirun adalah wahyu yang ke-19. Nama lain dari surah al-Kafirun adalah al-Munaabadzah, al-Mu’abadah, Ikhlasul Ibadah, al-Musyaqsyaqah dan lainnya. Surah ini terdiri atas 6 ayat, 26 kata dan 74 huruf.

Ada peristiwa yang mengiringi turunnya surah ini sebagaimana tertulis dalam kitab Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi Al-Bantani. Setelah Rasulullah menyampaikan ajaran Islam, beberapa tokoh musyrik merasa bahwa ajaran Muhammad mengancam ajaran mereka. Untuk itu, tokoh-tokohnya datang kepada Rasulullah. Mereka adalah al-Walid bin Mughirah, Ash bin Wail, Aswad bin Abdul Muthalib dan Umayyah bin Khalaf.

Mereka datang ke hadapan Rasulullah dan mengusulkan untuk berkomporomi dan berdamai di antara dua belah pihak. Mereka mengatakan:

“Hei Muhammad, bagaimana kalau beberapa waktu (selama setahun) engkau mengikuti agama kami. Sembahlah berhala dan tuhan-tuhan kami. Dan sebaliknya selama beberapa lama (setahun) kami akan mengikuti agamamu dan menyembah Tuhanmu. Kita menyembah tuhan-tuhan dengan bergantian. Kalau ajaranmu benar, maka kami bisa selamat. Begitu juga sebaliknya. Kalau ajaranmu yang benar, kami bisa selamat.”

Nabi Muhammad saw menolak dengan tegas tawaran ini sebab tidak mungkin Rasulullah menerima ajaran yang bertolak belakang dengan wahyu yang sudah diterima dari Allah. Tidak mungkin Rasulullah menyembah sesembahan orang kafir Mekkah. Untuk menjawab tawaran orang musyrik tersebut, turunlah surah al-Kafirun.

Katakanlah, “Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Dan kalian bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah men]adi penyembah apa yang kalian sembah, dan kalian tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untuk kalianlah agama kalian, dan untukkulah agamaku.”

Di dalam Tafsir at-Thabari, disebutkan sebuah riwayat lain yang berasal dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas menyebutkan bahwa orang kafir Quraisy menjanjikan Rasulullah dengan harta agar beliau bisa menjadi orang yang paling kaya di negeri Mekkah. Selain itu juga beliau dijanjikan untuk menikah dengan wanita yang diinginkannya. Bahkan beliau dijanjikan akan diberi tahta kerajaan.

Baca juga:  Cara Ulama Memanfaatkan Waktu

Mereka berkata, “Wahai Muhammad ini untukmu semua. Berhentilah untuk mencaci maki tuhan-tuhan kami. Jangan menyebut mereka dengan hal-hal yang buruk. Jika kamu tidak mau melakukannya, maka kami akan memaparkan satu permintaan yang lain, yang mana hal ini akan memberikan kebaikan kepada kita bersama,”

“Apa itu?” tanya Kanjeng Nabi.
Mereka menjawab, “Engkau sembah tuhan-tuhan kami Lata, `Uzza setahun dan kami sembah Tuhanmu selama setahun pula.” Lalu Nabi menjawab dengan surah Al-Kafirun.

Riwayat dari Ibnu Abbas ini merupakan atsar sahabat. Ibnu Abbas menjelaskan tentang Asbabun nuzul surah ini, sedangkan riwayat pertama yang bersumber dari Sa`id Mina adalah merupakan hadis. Hadis ini juga merupakan Asbabun nuzul tentang surah ini.

Inti dari kedua riwayat tersebut adalah bahwa orang kafir Qurays memberikan penawaran dengan mengajak Rasulullah agar Rasul mau menyembah Tuhan mereka. Akan tetapi semua ajakan dan bujukan kafir Qurays tidak mampu mempengaruhi ketegaran Rasul untuk tetap menyampaikan dakwah Islam.

Peristiwa kedatangan tokoh-tokoh kafir ini membuktikan bahwa sebenarnya tantangan dakwah Rasulullah bukan hanya berupa tantangan fisik. Kedatangan mereka sebenarnya ingin mengajak diskusi agar menemukan titik temu antar ajaran agar tidak terjadi perselisihan. Sehingga bisa dikatakan bahwa ini merupakan salah satu ujian intelektual kepada Rasulullah di hadapan umatnya.

Baca juga:  Sajian Khusus: Ngaji Qiraah Sab'ah

Karena bimbingan Allah, Rasulullah bisa mengalahkan argumen tokoh-tokoh kafir yang mendatanginya. Untuk itu jika para ulama sekarang mendapatkan tantangan intelektual dalam dakwahnya, maka tantangan itu juga harus dijawab dengan jawaban yang cerdas pula.

Baca juga:

Di dalam ayat yang pertama disebutkan “Katakanlah, Hai orang-orang yang kafir,” jika melihat asbabun nuzul surah ini, maka kata orang-orang kafir (al-kafirun) yang disebutkan adalah tokoh-tokoh yang mendatangi Kanjeng Nabi. Bukan semua orang kafir. Mengapa?

Sebab ayat berikutnya disebutkan aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah. Jika orang-orang kafir yang disebut di dalam surah ini adalah semua orang kafir baik yang ada sejak zaman Kanjeng Nabi sampai sekarang, maka ini tidak sesuai dengan kenyataan. Sebab ada beberapa orang kafir yang kemudian masuk Islam dan menyembah Allah.

Sedangkan tokoh-tokoh kafir yang mendatangi Rasulullah tidak akan beriman selama-lamanya. Buktinya mereka mati di dalam kekafiran.

Quraish Shihab menjelaskan bahwa Nabi Muhammad diperintahkan oleh Allah untuk mengatakan kepada orang-orang yang membencinya untuk menjelaskan keyakinannya secara jelas dan konsisten kepada orang-orang kafir. Bahwa tidak ada kompromi dalam hal akidah dan beliau tidak akan menyembah dengan apa yang disembah oleh orang-orang kafir. Sampai kapan pun. Sebab orang-orang kafir menyembah berhala yang berbeda-beda tergantung tempat, situasi dan kondisi.

Baca juga:  Sufi, Tafsir Mimpi, dan Imaginasi (2)

Referensi:
Tafsir Marah Labid karya Syekh Nawawi Al-Bantani
Shahih Bukhari karya Imam Al-Bukhari
Tafsir Al-Misbah Karya Muhammad Quraisy Shihab
Jamiul Bayaan an Ta’wiil al-Qur’an karya Ibnu Jarir At-Tabari

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
19
Senang
5
Terhibur
4
Terinspirasi
8
Terkejut
2
Lihat Komentar (1)
  • Saya setuju dengan pendapat Anda, bahwa Nabi pada saat itu mendapat ujian intelektual. Namun ketika diberikan jawaban mendapat bimbingan dari Tuhan, ini sangatlah irrasional. Nalar otak merasa berhenti diajak berpikir, dan turun ke intuisi. Bagi saya, ini adalah salah satu bukti manusia Muslim di Indonesia masih belum bisa mendayagunakan nalarnya untuk bisa lebih bertanggung jawab dalam membangun argumennya.

    Saya kira akan lebih bertanggung jawab jika konteks turunnya surah Al- Kafirun itu diperkaya dengan latar sosio-historis kondisi Nabi sebelum beliau lahir. Bahwa tidak bisa dipungkiri, sebelum adanya agama yang dibawa Nabi itu rata-rata masih memeluk agama politeis atau pagan. Pastinya Nabi saat itu mengira bahwa agama pagan butuh rekonstruksi dan evaluasi untuk bisa menjadikan masyarakat sekitarnya lebih baik, lebih bermartabat, dan lebih maju.

Komentari

Scroll To Top