Sedang Membaca
Refleksi Muspimnas PMII: Menentukan Arah Khittah
Avatar
Penulis Kolom

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya. Koordinor Cabang PMII Jawa Timur 2016-2018. Tim Kaderisasi PB PMII 2017-2019

Refleksi Muspimnas PMII: Menentukan Arah Khittah

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)  mengadakan Musyawarah Pimpinan Nasional (Muspimnas) PMII pada tanggal  23-27 Februari 2019 di Boyolali Jawa Tengah. Musyawarah untuk para pimpinan organisasi di berbagai level di PMII ini mengangkat tema “Khidmat untuk Negeri: PMII dalam Narasi Pembangunan Bangsa”.

Tema  tersebut adalah semacam kilas balik historis PMII yang menjadi bagian dari perubahan. Jejak sejarah PMII berdialektika dengan perubahan zaman dan memberikan sumbangsih dalam pembangunan bangsa, baik dalam level pemikiran maupun gerakan.

Jejak sumbangsih pemikiran dalam narasi kebangsaan misalnya ditunjukkan oleh Mahbub Djunaidi, Ketua Umum PMII pertama. Dalam narasinya, Mahbub meletakkan kedudukan Pancasila lebih sublim dibandingkan declaration of independence susunan Thomas Jefferson yang menjadi kemerdekaan Amerika serikat pada tanggal 4 Juli 1776, maupun manifesto komunis yang disusun oleh Karl Marx dan Friedrich Engels tahun 1847.

Dalam beberapa sumber, tulisan Mahbub dibaca oleh Soekarno. Presiden pertama RI  itu menyukainya. Mahbub sampai diundang oleh Soekarno. Narasi pemikiran Mahbub adalah mozaik gambaran atas pemikiran kebangsaan kader PMII.

Jejak kedua adalah sosok Mohammad Zamroni, presidium KAMMI yang di masa lalu terkenal sebagai aktivis jalanan dengan gerakan massa yang membawa isu Tritura. Zamroni adalah cerminan dari aktivis PMII yang bergerak di jalanan. Hingga kini masih banyak kader PMII yang terinspirasi oleh Zamroni dengan melakukan gerakan jalanan dalam mengawal pemerintahan.

Baca juga:  Humor Gus Dur: Kenapa Kiai Wahid Hasyim Tidak Poligami

Pada masa Zamroni, PMII memisahkan diri dari NU. PMII menyatakan independensi. Karena dalam sejarah, PMII dilahirkan dari rahim NU sebagai bagian dari narasi sejarah kaderisasi dari anak anak mahasiswa NU yang tergabung dalam IPNU. Pilihan berpisah dari NU secara struktur, dilatari oleh situasi NU sebagai partai politik. PMII tidak menginginkan diri sebagai kaki tangan partai dan hanya menjadi mesin politik saja.

PMII juga memiliki tokoh sekelas Fahmi Saifuddin. Ia dokter dan aktivis luar biasa. Semasa dengan itu, muncul Ahmad Bagja. Ia dan tokoh-tokoh seangkatannya yang menjadi aktivis di balik layar dari Khittah NU. Martin van Bruenesen dalam buku NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa dan Pencarian Wacana Baru menyebut beberapa tokoh di tim 24 hingga tim 7 perumus khittah yang ternyata adalah aktivis PMII yang ada di PB NU.

Ke Arah mana Khittah?

Sayup-sayup muncul gagasan kembali ke Khittah PMII. Ada tiga pola khittah yang dimaksud. Pertama, kembali ke NU secara struktur sebagaimana awal berdirinya. Kedua, khittah sebagai organisasi kader yang tidak menjadi kaki tangan politisi dan partai politik. Dengan kata lain, kembali ke situasi independensi. Ketiga, khittah PMII secara substansial sebagai organsiasi kaderisasi intelektual.

Pola khittah yang pertama disuarakan oleh PMII Cabang Surabaya yang dalam Musyawarah Pimpinan Cabang (Muspimcab) menghasilkan rekomendasi PMII agar kembali ke NU. Ini semacam sikap menerima hasil Muktamar NU yang ke-33 di Jombang saat NU memaksa PMII masuk menjadi banom (badan otonom) lagi.

Baca juga:  Beberapa Kemiripan Bung Mahbub Djunaidi dan Gus Dur

Pasca Muktamar di Jombang tahun 2015, ternyata tidak bisa dieksekusi dengan penuh. Karena Kongres PMII pada Juli 2017 di Palu yang diharapkan sebagai titik penting memutuskan PMII masuk kembali NU berakhir anti klimaks. Kongres hanya menghasilkan struktur baru PB PMII.

Pola khittah kedua disuarakan oleh kader-kader PMII di level rayon dan komisariat. Saya mencatat pertemuan dengan struktur PMII di berbagai level dan menghasilkan buku Travelling Kaderisasi. Terdapat suatu harapan agar PMII oleh struktur di level yang lebih tinggi tidak menjadi kaki tangan partai politik. Apalagi dalam situasi sekarang ini, momentum pemilu 2019.

Pola khittah ketiga yaitu sebagai kaderisasi intelektual, selalu disuarakan oleh Kiai Nuril Huda, salah satu pendiri PMII yang hingga kini masih peduli terhadap PMII. Kiai Nuril Huda selalu menyampaikan bahwa PMII adalah organasi untuk mengkader calon calon intelektual muda NU.

Tiga pola khittah akan dirumuskan di Muspimnas PMII di Boyolali. Tentu diharapkan tidak lagi anti klimaks. Karena setiap gagasan dari kader PMII seindonesia harus dibarengi dengan konsolidasi untuk dapat mencapai tujuan dan keinginan dari pola khittah PMII.

Situasi PMII itu dinamis, tidak hanya berhadapan dengan keinginan kader, tetapi juga kepentingan alumni yang sudah tersebar ke ruang-ruang strategis. Dengan kata lain, di dalam diri PMII terdapat upaya agar PMII tetap menjadi organisasi intelektual, sebagai gerakan ekstraparlementer.

Baca juga:  Pertalian Bahasa Arab dan Persia

Namun, alumni PMII sudah masuk ke te tengah. Banyak alumni PMII yang menjadi menteri. PMII juga berupaya didesain sebagai organisasi profesional. Harapannya, masuk ke leading sector.

Pola khittah nampaknya akan tarik ulur. PMII nampaknya mengalami situasi yang mirip dengan NU saat muktamar di Lirboyo. Kala itu, Gus Dur adalah ketua Umum PBNU dan sekaligus presiden. Pada saat itu, beberapa orang NU menjadi bingung antara tetap berada di pinggir mengorganisir basis, atau menjadi pejabat negara.

Dua posisi ini, akan tarik menarik argumentasi. Namun PMII sebagaimana karakter Mahbub Djunaidi adalah generasi aktivis yang bisa renyah dan substantif. Selamat ber-Muspimnas para pimpinan PMII. Inilah kami wahai Indonesia. Bangun tersentak dari bumiku subur.

Tangan terkepal dan maju ke muka!

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (2)

Komentari

Scroll To Top