Hal pertama yang terpikirkan kali pertama saat membaca judul “Tuhan yang Berpikir” tentu saja adalah ketertarikan dan kecurigaan. Tertarik karena judulnya menarik, meskipun terkesan provokatif dan curiga karena memicu sebuah pertanyaan masak Tuhan Berpikir? Akhirnya, satu-satunya jalan untuk membungkam ketertarikan dan kecurigaan ini adalah membuka setiap lembarnya hingga tak bersisa.
Lalu, hasilnya? Buku yang ditulis oleh seorang santri ini (Dedy Ibmar merupakan alumnus Pondok Pesantren Dar-el Hikmah Pekanbaru) menghadirkan wujud keimanan para filsuf Islam yang diyakini dengan renungan, bukan hanya dengan kepasrahan belaka. Para filsuf Islam seperti al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina, hingga al-Ghazali yang berusaha merenungi ciptaan (semesta raya) untuk melihat keagungan Pencipta-nya, hingga semakin kokoh keimanannya (meskipun hasil perenungan itu kerap memicu perdebatan dan perbedaan pendapat antar-filsuf). Buku ini sekaligus menjadi bukti bahwa keimanan kepada Tuhan dilalui dengan proses perenungan, tidak hanya dengan sekadar ungkapan ‘yang penting aku beriman, urusan yakin atau tidak itu urusan belakangan’. Atau bahasa Jawanya adalah Gak Mung Pokoke Manut. Oleh sebab itu, membaca Tuhan yang Berpikir telah berhasil membuat hati saya berdesir.
Satu di antara desir-desir gegara Tuhan yang Berpikir adalah gagasan dari pelopor metafisika Islam, al-Kindi (yang memiliki nama asli Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq al-Kindi) yang menyebutkan bahwa Tuhan itu satu, namun istilah ‘satu’ dapat memiliki dua arti.
Arti yang pertama ‘satu’ sebagai objek-objek tunggal dari dunia penciptaan dan ‘satu’ sebagai tunggal untuk Sang Pencipta (halaman 53). Bahasa sederhananya seperti ini: terdapat perbedaan yang jelas antara ‘satu’ sebagai sebuah bilangan dan ‘satu’ sebagai ketunggalan.
Bagi al-Kindi, ‘satu’ sebagai angka dapat diperuntukkan pada segala hal (satu meja, satu istri, satu hati, dan satu-satu yang lain), namun ‘satu’ sebagai ketunggalan tidak bisa diperuntukkan pada hal apapun kecuali Tuhan. Sehingga ‘Satu’ bagi Tuhan akan sangat jauh berbeda dengan ‘satu-satu’ yang lain. Satu hal yang terbesit dalam benak saya, sejauh dan sedalam inikah renungan para filsuf Islam? Tampak jelas bahwa kata bisa menjadi media untuk merenungi keimanan yang tak kasat mata.
Tak hanya al-Kindi, gagasan dari al-Razi (yang memiliki nama asli) Abu Bakr Muhammad ibn Zakariyya al-Razi) juga tidak kalah dalam membuat saya kembali terperangah. Dalam skema teori lima kekal-nya, al-Razi menyebutkan bahwa Tuhan adalah sebab yang mengharuskan keberadaan esensi yang murni dari materi (halaman 78). Maksudnya, keberadaan esensi tersebut tidak dapat disebut sebagai pilihan, tetapi sebuah keharusan yang terdapat pada dirinya sendiri.
Oleh sebab itu, Kemahakuasaan Tuhan tidak bisa disebut sebagai pilihan karena Kemahakuasaan-Nya adalah hal yang mesti terjadi. Bagi al-Razi, Tuhan adalah Dzat yang Maha Tinggi dengan Ilmu dan Kebijaksanaan yang sempurna, sehingga keburukan dan kerusakan yang ada di dunia ini bagi al-Razi sama sekali tidak mengurangi Ilmu serta Kebijaksanaan-Nya. Keburukan dan kerusakan memang mustahil dihilangkan dari ciptaan-Nya. Sebut saja api, yang memang memiliki sifat membakar (bisa menimbulkan keburukan, seperti kebakaran dan sejenisnya). Sifat membakar dari api tidak mungkin bisa dihilangkan, karena jika api tidak membakar, maka ia tidak bisa disebut sebagai ‘api’.
Jika al-Kindi menarik dengan gagasan ‘satu’ sebagai bilangan/ketunggalan dan al-Razi memesona dengan teori lima kekalnya, maka filsuf Islam yang selanjutnya ini ‘menggoda’ dengan teori emanasi-nya. Ia adalah al-Farabi yang memiliki nama lengkap Abu Nashr Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Salah satu gagasan al-Farabi yang paling saya sukai dalam buku Tuhan yang Berpikir adalah cara al-Farabi menjelaskan wujud yang mumkin dengan bahasa yang logis (halaman 98).
Logikanya seperti ini: wujud yang mumkin adalah wujud yang keberadaannya disebabkan oleh wujud yang lain. Jika sudah seperti ini, maka wujud yang mumkin tersebut menjadi saksi keberadaan wujud yang menyebabkannya ada. Oleh sebab itu, segala hal yang berwujud mumkin harus berakhir pada sesuatu yang kali pertama ada.
Secara garis besar, buku Tuhan yang Berpikir berisi tentang perenungan terhadap konsep penciptaan alam semesta yang diawali oleh al-Kindi, lalu ditandingi oleh al-Razi dan al-Farabi, dan pada akhirnya dibantah lagi oleh al-Ghazali. Bagaimanakah rincian perjalanan gagasan yang menarik dari al-Kindi hingga al-Ghazali (dan beberapa filsuf Islam yang lain) tersebut? Tentu saja pertanyaan tersebut tak akan dijawab dalam tulisan ini, sebab semakin banyak spoiler semakin geregetan pula para penikmatnya. Selain itu, fungsi resensi atau ulasan hanyalah sebatas jembatan antara pembaca dengan buku aslinya. ‘Haram’ hukumnya jika lebih dari itu.
Sebagai sebuah buku bacaan, buku Tuhan yang Berpikir juga tak luput dari kesalahan dan kekurangan ‘ringan’, seperti salah ketik (kata ‘usai’ yang diketik ‘usia’ pada halaman 48, nama ‘Ibn SinaSina’ pada halaman 116, dan lain-lain yang tidak mungkin disebut semuanya) dan beberapa kalimat masih terkesan njelimet atau sukar dipahami (seperti pada kalimat ‘kalau memang Tuhan Yang Mahatinggi sempurna ilmu dan kebijaksanaan-Nya mengapa keburukan, kesia-siaan, dan kerusakan, sebab jasad hewani muncul dari-Nya dan jasad tersebut mengandung suatu bentuk kerusakan tersendiri?’ yang seharusnya bisa diefektifkan menjadi ‘Jika memang Ilmu dan Kebijaksanaan Tuhan sempurna, mengapa keburukan tercipta?’).
Akhir kata, selamat membaca. Tidak perlu terlalu percaya dengan tulisan ini, sebab satu buku yang sama bisa berarti lain dari pembaca yang berbeda.