Seni Islam Nusantara memiliki kekhasan dari seni Islam di belahan dunia Muslim yang lain. Lahirnya seni Islam Nusantara tidak lepas dari dinamika antara Islam dengan kesenian Nusantara dalam proses Islamisasi.
Talal Asad dalam “The Idea of Anthropology of Islam” menjelaskan,“…the past is related to present practices (masa lalu terhubung dengan praktek saat ini).” Jadi, seni Islam Nusantara yang ada saat ini tidak lepas dari faktor pembentukannya di masa lalu.
Dalam esai “Corak Seni Keislaman dalam Masyarakat Bolaang Mongondow,” saya menjelaskan bahwa selain seni Islam Nusantara yang merupakan hasil refleksi masyarakat Muslim Nusantara terhadap nilai-nilai al-Qur’an dan hadis, juga ada seni Islam Nusantara yang lahir dari penghayatan nilai-nilai Islam dan dituangkan dalam seni Nusantara.
Dua seni Islam Nusantara itu tentu tidak lepas dari pembentukannya pada masa lalu. Dalam hal ini, sikap dakwah Wali Songo turut menyumbangkan kemajuan dalam seni Islam Nusantara. Ini sejalan dengan Nurrohim dan Fitri Sari Setyorini dalam “Analisis Historis terhadap Corak Kesenian Islam Nusantara” yang menjelaskan, “Perkembangan awal kesenian Islam di Nusantara sekali lagi tak dapat dilepaskan dari metode akulturasi dan asimilatif yang diterapkan oleh para wali untuk menjadikan Islam mudah diterima oleh masyarakat Hindu Budha di Nusantara.”
Wali Songo menyebarkan Islam tidak dengan sikap keras, melainkan mengedepankan sikap bijak. Satu dari sikap bijak dakwah Wali Songo adalah dengan tidak menolak seni Nusantara secara frontal, namun justru memanfaatkannya sebagai media agar Islam lebih mudah dikenal dan diterima oleh masyarakat Nusantara.
Salah seorang Wali Songo yang sangat terkenal memanfaatkan seni Nusantara sebagai media dakwah adalah Sunan Kalijaga. Dia menguasai seni Nusantara seperti wayang, dan memanfaatkannya untuk kepentingan dakwah Islam. Tidak heran jika, pada masanya, masyarakat Jawa mengenal Sunan Kalijaga sebagai Ki Dalang Sida Brangti, Ki Dalang Bengkok, dan Ki Dalang Kumendung.
Sebagaimana Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo menjelaskan, “Seperti wali-wali lain, dalam berdakwah, Sunan Kalijaga sering mengenalkan Islam kepada penduduk lewat pertunjukan wayang yang sangat digemari oleh masyarakat yang masih menganut kepercayaan agama lama. Dengan kemampuannya yang menakjubkan sebagai dalang yang ahli memainkan wayang, Sunan Kalijaga selama berdakwah di Jawa bagian barat dikenal penduduk sebagai dalang yang menggunakan berbagai nama samaran.”
Sunan Kalijaga paham betul bahwa masyarakat Nusantara dapat tertarik hati pada pertunjukan wayang, sehingga dia memanfaatkannya sebagai media dakwah. Namanya sebagai dalang ulung begitu terkenal, karena itu banyak orang yang ingin sekali melihat pertunjukannya. Siapa yang ingin menonton pertunjukan wayang Sunan Kalijaga tidak perlu membayar, namun cukup mengucapkan dua kalimat syahadat. Sehingga, dengan cara itu banyak orang yang mengetahui dan menerima Islam.
Sunan Kalijaga juga tidak hanya menjadi dalang ulung, namun dia mengembangkan seni wayang agar lebih sesuai dengan nilai keislaman. Misalnya, Sunan Kalijaga merancang bentuk wayang yang awalnya berupa gambar manusia menjadi bentuk dekoratif yang tidak mirip manusia. Agus Sunyoto menjelaskan, “Peranan besar Wali Songo, terutama Sunan Kalijaga dalam mereformasi wayang dari bentuk sederhana berupa gambar-gambar mirip manusia di atas kertas, perangkat gamelan penggiringnya, tembang-tembang, dan suluknya sampai menjadi seperti bentuknya sekarang yang begitu canggih adalah sumbangan besar dalam proses pengembangan kesenian dan kebudayaan Nusantara.”
Selain mengembangkan bentuk wayang, Sunan Kalijaga juga memunculkan tokoh wayang seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Naufaldi Alif, dkk., dalam “Akulturasi Budaya Jawa dan Islam Melalui Dakwah Sunan Kalijaga,” menjelaskan bahwa keempat tokoh punakawan yang diciptakan Sunan Kalijaga itu memiliki karakter keislaman yang kuat. Misalnya, Semar yang diambil dari bahasa Arab “shimar” berarti paku, menggambarkan karakter keimanan (prinsip hidup) Muslim yang tertancap kuat bagai paku.
Selain itu, Sunan Kalijaga juga menambahkan cerita yang kental dengan pesan keislaman dalam wayangnya, seperti jimat kalimasada. Supriyanto dalam “Dakwah Sinkretis Sunan Kalijaga,” menjelaskan sikap Sunan Kalijaga yang memasukkan cerita, “…Yudistira, karena tidak mau berperang, maka dia diberi azimat yang dapat melindungi dirinya (dan Pandawa yang lain), yaitu azimat Kalimasada.” Kalimasada bermakna dua kalimat syahadat yang dengannya manusia menempuh jalan selamat di dunia dan akhirat.
Dakwah Sunan Kalijaga menghasilkan akulturasi seni Nusantara berupa wayang dengan ajaran Islam. Sehingga, dalam hal ini, wayang Sunan Kalijaga termasuk seni Islam Nusantara. Sebagaimana Agus Sunyoto menjelaskan, “…semua orang tahu bahwa berita-berita mengenai wali-wali penyebar Islam; mereka itulah yang memberi peranan penting pada tujuan pertunjukan wayang dalam bentuknya yang sekarang ini. Itu berarti, pertunjukan wayang purwa adalah benar-benar hasil kreasi para Wali Songo, terutama Sunan Kalijaga dalam mereformasi secara menyeluruh seni pertunjukan wayang.”
Jadi kalau mengatakan wayang adalah warisan nenek moyang yang belum mengenal Islam, itu agak keliru. Sebab, jika menelik sejarah, dapat dipahami bahwa wayang hari ini merupakan seni Nusantara yang telah mendapat sentuhan keislaman dari Wali Songo. Dengan kata lain dapat dikatakan kalau wayang termasuk seni Islam Nusantara warisan Wali Songo.
Contoh lain sikap Wali Songo yang memberi sumbangsih terhadap perkembangan seni Islam Nusantara adalah, menyelaraskan bentuk masjid dengan arsitektur khas Nusantara. Sehingga, bentuk arsitektur masjid Nusantara memperlihatkan bentuk khas. Misalnya, Sunan Kudus yang membangun Masjid Menara Kudus disesuaikan dengan seni arsitektur yang berkembang dalam masyarakat Kudus kala itu.
Agus Sunyoto menjelaskan, “Bangunan Menara Masjid Kudus dan Lawang Kembar Masjid Kudus, menunjukkan kompromi arsitektur Islam dengan arsitektur setempat yang berciri Hindu. Perpaduan kompromis kedua jenis bangunan itu–Menara Masjid Kudus dan Lawang Kembar Masjid Kudus–sedikitnya diabadikan dalam cerita legenda yang menyatakan bahwa Sunan Kudus membawa masing-masing bangunan itu dalam bungkus sapu tangan. Menara dari tanah Arab, sedangkan lawang (pintu) kembar dibawa dari Majapahit.”
Sikap bijak dakwah Wali Songo yang tidak secara frontal menolak budaya atau seni masyarakat Nusantara, melainkan memanfaatkannya sebagai media penyebaran Islam, tidak hanya memasifkan Islamisasi Nusantara kala itu, namun juga berperan besar dalam perkembangan seni Islam Nusantara.
Daftar Pustaka
Sunyoto, Agus. Atlas Wali Songo. Tangerang: Pustaka IIMaN, 2017.
Asad, Talal. “The Idea of an Anthropology of Islam.” Duke University Press, Spring, Vol. 17, No. 2, 2009.
Abdul, Moh. Rivaldi. “Corak Seni Keislaman dalam Masyarakat Bolaang Mongondow.” Ibtimes.id, 03/07/2022.
Nurrohim dan Fitri Sari Setyorini. “Analisis Historis terhadap Corak Kesenian Islam Nusantara.” Jurnal Millati, Vol. 3, No. 1, 2018.
Alif, Naufaldi, Laily Mafthukhatul, dan Majidatun Ahmala. “Akulturasi Budaya Jawa dan Islam Melalui Dakwah Sunan Kalijaga.” Jurnal al-‘Adalah, Vol. 23, N0. 2, 2020.
Supriyanto. “Dakwah Sinkretis Sunan Kalijaga.” Jurnal Komunika, Vol. 3, No. 1, 2009.