Ibramsyah Amandit adalah penyair asal Kalimantan Selatan yang puisi-puisinya berwawasan sufisme atau tasawuf. Seperti ia nyatakan sendiri, ia menulis puisi untuk menyampaikan pesan-pesan yang ia dengar dari “dunia lain”. Meski begitu, bukan berarti puisi-puisinya menafikan kualitas sastrawi.
Sainul Hermawan yang banyak menulis kritik sastra, terutama lewat dua buku Maitihi Sastra Kalimantan Selatan, menyatakan bahwa komposisi sajak-sajak Ibramsyah memperlihatkan kepadatan struktur. Setiap kata nyaris tidak sia-sia, jalin-menjalin membentuk imajinasi dan abstraksi kenyataan yang memerlukan cara berpikir sekunder (Sainul dalam Tikar Pandan).
Dalam tulisan lain (kumpulan Emperan Tuhan), Sainul juga menyebut, sajak-sajak Ibramsyah lebih dari sekadar susunan kata-kata, melainkan juga tafsir atas dunia yang ia alami.
Pengalaman spiritual adalah dunia batin yang sifatnya sangat personal. Dalam khazanah dunia sufi sering disebut sebagai wajd. Al-Qusyairi menyatakan, orang yang mendapatkan wajd seperti seseorang yang mengarungi lautan lantas ia tenggelam di dalamnya. Wajd adalah persesuaian hati, sedangkan mawajid (bentuk jamak) merupakan buah dari wirid.
Pengalaman ruhani atau spiritual datang pada diri seseorang tanpa kesengajaan atau diupayakan. Namun begitu, setiap kali ia menambah upaya ruhaninya Allah akan menambah kelembutan hatinya—yang berarti bertambah pula kepekaannya terhadap pengalaman spiritual itu sendiri (lihat Risalah Qusyairiyah).
Pengalaman spiritual bertebaran dalam khazanah dunia para sufi. Rumi dalam sajaknya, misalnya, menyatakan bahwa dalam salatnya yang “bergelora” ia memimpikan “sang kekasih”—menatap sembari meratap dengan sedih, sehingga ia lupa waktu, tempat, dan raka’at yang tengah dilakukannya.
Apakah shalatnya si mabuk,
katakanlah, sahkah shalat ini?
Sebab dia tak tahu waktunya
dan tak tahu tempat.
Apakah aku shalat dua rakaat penuh?
barangkali ini kedelapan?
Surah mana yang kubaca?
Karena aku tak punya lidah untuk membacanya.
Di pintu Tuhan—mana mungkin aku mengetuknya,
Karena kini aku tak punya tangan atau hati?
Tuhan, Dikau telah membawa hati dan tangan!
Tuhan, anugerahi daku keselamatan,
ampuni daku …. (dalam Schimmel, Akulah Angin Engkaulah Api)
Dalam kasus Ibramsyah Amandit, selain pengalaman “ketenggelaman” semacam itu, ada juga pengalaman ta’wil (takwil) yang muncul dari mimpi atau kondisi setengah terjaga. Takwil sendiri secara harfiah berarti “mengembalikan sesuatu kepada posisi awalnya”, sedangkan secara istilah berarti menguraikan sesuatu atau mengartikan mimpi.
Pengalaman (dalam konteks sufi, saya lebih suka menyebutnya begitu) takwil bisa dirujukkan pada hadis yang bunyinya, “manusia tertidur (di dunia ini), dan ketika mati barulah ia terbangun”. Ibnu ‘Arabi menegaskan, dengan kata-kata itu Nabi mengingatkan kita pada fakta bahwa apa pun yang dipersepsi seseorang di dunia ini sama saja dengan mimpi yang tampak pada orang yang sedang tidur, dan karenanya ia mesti ditakwilkan.
Lebih tegas lagi Izutsu mengatakan, apa yang kita lihat dalam mimpi adalah bentuk “imajinal” realitas, bukan realitas itu sendiri, sehingga kita perlu mengembalikannya kepada status asal dan aslinya (lihat Izutsu dalam Sufisme, Samudera Makrifat Ibn ‘Arabi).
Pengalaman-pengalaman Ibramsyah
Satu kali ketika menginap di rumah saya, pagi hari saya menemukan Ibramsyah merenung duduk sendiri di teras rumah. Ketika saya menyapanya ia bicara dengan lirih, “tadi malam dalam kondisi setengah terjaga aku melihat seseorang dalam pakaian Mesir berdiri di depan pintu kamar”.
Ia menunjuk ke arah luar seperti memberikan isyarat akan sesuatu. “Paginya kulihat di arah yang ditunjuknya itu buku terjemah Al-Luma’ (karya as-Sarraj)”.
Ibramsyah mengatakan pengalaman malam itu sangat berarti bagi dia, sehingga andaikan dia memegang kertas dan pena tentu dia akan membuat banyak puisi. Saya yang tersentuh dengan penuturannya lalu menghadiahkan buku tebal itu untuknya.
Selang sehari kemudian setelah ia pulang ke Tamban, ia mengirimkan sms: “ALHAMDULILLAH DG KEDATANGAN “AL~LUMA” TERKUMPUL DIKAMARKU BUKU2 DARI AS~SARRAJ,AL~QUSYAIRI,AL~HUJWIRI,AL~KALABADZI,AL~MUHASIBI,AL~JILLI TINGGAL AS~SULAMI YG BELUM DTG. JADI KAMARKU PENUH DG “MAKANAN~MINUMAN LEZAT” BERSAMA INDUKNYA AL~QURAN DAN AL~HADITS SERTA MAKRIFATULLAH. SEPERTINYA TAK ADA KEBAHAGIAAN LAIN YG KUDAPAT SELAIN DI KAMARKU. BENAR2 “WISMA MAKRIFAT” DAN “SANGGAR PUISI” ALHAMDULILLAH WA SYUKRILLAH. KUINGAT KPD “ORG MESIR” DIDEPAN PINTU KAMAR SA’AT AKU TIDUR MLM ITU. TKS TITIP SALAM~DO’A BUAT SEISI RUMAH IBU DAN CUCU2KU, WSLM IA.” (bentuk penulisan ini saya pertahankan seperti aslinya ia kirim lewat sms per-tanggal 11 Juni 2017)
Tidak berselang lama, pada hari berikutnya, ia mengirimkan sms lagi. Ia mendapatkan pengalaman spiritual lagi, yang disebutnya “isyarat yang kedua”. Menurutnya, “isyarat pertama” ia dapat pada waktu malam “bersama orang Mesir”, di rumah saya itu.
Saya sendiri tidak menanyai lebih lanjut seperti apa, bagaimana, dan maksud dari isyarat tersebut, dilandasi kesadaran apa pun “hasil”nya belum tentu seiring dengan pengalaman saya sendiri. Hanya saja beberapa hari kemudian ia kembali mengirim sms yang mencoba menjelaskannya dengan “isyarat”.
Isi SMS itu: SUATU MLM MIMPI DTG MU’IN MEMBUKA KTB TSB. ˃ “MU’IN”(MU’AYYIN)˃ISM MAF’UL=ORG YG DITUNJUK; sedangkan beberapa hari sebelumnya ia sudah pula mengirim sms, yang menanyakan apakah saya tahu bahwa tadi malam adalah malam qadr (lailatul qadr). Kenyataannya, saat itu memang bulan Ramadhan.
Beberapa kali Ibramsyah mengirim sms semacam itu, yang tampaknya bermaksud mengkomunikasikan soal-soal “gaib” kepada saya. Namun banyak kali saya tak membalasnya. Selain atas kesadaran di atas, saya merasakan kekacauan struktur atau makna kata yang seperti dicabut dari ilmu kebahasaan yang saya kenali, yang melampaui tata bahasa Arab, Inggris dan Indonesia yang dicampur-adukkannya.
Saya juga tidak ingin menyalahkannya. Mungkin saja ada pengalaman berbahasa yang melampaui pengetahuan saya yang juga minim soal tata bahasa di luar bahasa Indonesia.
Dalam kenyataannya, karena menyeberangkan makna dari alam imajinal (‘alam al-khayyal) ke tengah realitas itu sendiri melibatkan bentuk-bentuk simbolik yang niscaya personal, makna atau bentuk “baku” yang kita pahami seringkali bertentangan dengan pengalaman ruhaniyah itu sendiri. Dalam soal paradoks ini Goran Ogen menyatakan (dalam Nils G. Holm, Berjumpa Tuhan: Studi Tentang Ekstase Agama), pertentangan itu sendiri mencerminkan pandangan dasar sufi tentang hubungan antara Tuhan dan manusia yang amat dinamis.
Pengalaman takwil memang diungkapkan Ibramsyah kepada beberapa orang, tidak hanya ke saya pribadi. Ia juga kadang mengirimkan sms takwil beberapa ayat Alquran.
Ia bahkan, baru-baru ini, menulis semacam risalah yang berusaha menakwilkan huruf-huruf muqhaththa’at (alif-lam-mim, tha-ha, dst). Risalah ini selain kepada saya juga diberikan kepada beberapa orang, di antaranya Prof. Mujiburrahman yang sekarang menjabat Rektor UIN Antasari.
Satu kali Ibramsyah mengirim SMS, menanyakan apakah di IAIN (sekarang UIN) Antasari ada dosen atau mahasiswa tafsir-hadis yang saya kenal dan bisa saya rekomendasikan untuk mengkomunikasikan perihal takwilnya. Saya memberi nomor dosen teman saya yang memang kajian doktoralnya tentang tafsir al-Qur’an, dan teman mahasiswa pascasarjana Akhlak Tasawuf yang basic S1-nya jurusan Tafsir Hadis.
Saya kurang tahu apakah ia menghubungi keduanya, yang jelas teman saya yang mahasiswa menghubungi saya menanyakan apakah benar saya memberikan nomor hapenya kepada seseorang yang menyebut dirinya Kai Janggut Naga dari Tamban.
Rupanya komunikasi antara Ibramsyah dan teman itu kurang berjalan “lancar”. Teman itu berdasarkan keilmuan yang dipahaminya, dan kekurangtahuan siapa lawan bicaranya, menyangsikan pemahaman atau pengalaman ruhaniyah Ibramsyah. Ia menyebut bisa saja orang yang menyapanya melalui sms dan kemudian per-telpon itu mendapatkan khatir syaithaniyah atau semacam talbis. Dan itu, mengecewakan sang penyair yang ingin lebih jauh mengonfirmasi pengalaman-pengalaman ruhaniyahnya.
Sosok Penyair
Sebelum ini saya telah menulis dua artikel ilmiah yang membicarakan puisi-puisi sufistik Ibramsyah Amandit, dan salah satunya telah diterbitkan Jurnal Khazanah UIN Antasari. Berdasarkan kajian yang saya pahami, Ibramsyah memang memiliki kecenderungan ke arah sufisme. Puisi-puisinya sendiri menyuratkan hal itu dengan sangat kuat. Bacalah puisinya berikut ini:
SAJAK EMPERAN TUHAN
-ini sajak emperan Tuhan
beredar antara aku dan Tuhan
Boleh juga untukmu
dan anak cucuku
asalkan tahan
bertarung tak ragu-ragu
asalkan tahan
jangan lagi bertopang dagu
asalkan tahan
bersih hati tak berbulu
asalkan tahan
dapat sindiran mau membisu
asalkan tahan
pedih tangisan tak kedengaran
Ini sajak emperan Tuhan
kata-kata hingar
tembikar Adam dapat bergetar
Tamban, 23 Desember 2016
Ibramsyah lahir di desa Tabihi Kanan, Karang Jawa, di kabupaten Hulu Sungai Selatan. Ayahnya seorang pejuang kemerdekaan, bersahabat dengan Ibnu Hadjar “sang pemberontak”—yang berhajat mendirikan Negara Islam Indonesia di Kalimantan Selatan. Sejak dini Ibramsyah sudah akrab dengan nilai-nilai spiritual agama.
Tahun 1961 ia lulus Sekolah Menengah Islam Pertama (SMIP) di Banjarmasin, dan melanjutkan ke Madrasah Menengah Tinggi (MMT) Yogyakarta. Ia sempat kuliah di IKIP Negeri Yogyakarta sampai tingkat Sarjana Muda (lulus tahun 1971).
Di Yogyakarta ia pertama menulis puisi, dan sejak awal tahun ’70an itu puisinya sudah bernuansa sufistik kuat. Di kota pelajar ini pula ia sempat bergabung dan lesehan mendengarkan pembacaan puisi oleh penyair-penyair Persada Studi Klub (PSK) pimpinan Umbu Landu Paranggi, dan bertetangga dengan sastrawan Abdul Hadi W.M.
Antara tahun 1983-1992 ia “berhenti” menulis puisi, dan masa-masa ini merupakan rentang pengalaman mendalami tasawuf. Kakeknya, seperti dituturkannya, adalah seorang zahid yang merupakan murid kesayangan Tuan Guru Taniran dari Kandangan. Dalam rentang waktu hampir sepuluh tahun itu Ibramsyah mengaku belajar tasawuf kepada KH. Gusti Abdussamad, KH. Ramli Tatah Daun, KH. Muhammad Nur Takisung (Tarekat Naqsyabandiyah), KH. Sam’ani, Guru H. Basman Tinggiran, KH. Abdul Mu’in, KH. Andullah (Tarekat Akhirul Zaman), dan KH. Muhammad Zaini Ghani (Tarekat Sammaniyah).
Kepada saya ia mengungkapkan bahwa guru ruhani pertamanya adalah mertuanya sendiri, KH. Marzuki—yang pernah ber-khadam kepada KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Tahun 1984 ia menunaikan rukun Islam kelima, dan di Masjid al-Haram Mekkah ia bertemu Dr. Mohammed A. Syafiq dari Afghanistan yang mengijazahkan beberapa wirid khusus.
Dari tahun 1992 hingga sekarang Ibramsyah terus menulis puisi dan telah menghasilkan tiga buku: Badai Gurun dalam Darah (2009), Tikar Pandan (2013), dan Emperan Tuhan (2017). Kini dalam umurnya yang sudah 74 tahun ia hidup secara sederhana di sebuah desa di pelosok Kalimantan Selatan: Tamban.
Terima kasih sudah menulis ini