Mendekati tahun ajaran baru pesantren, dua anak saya “mengancam” minta diajak wisata kuliner bersama keluarga. Saya pikir kuliner yang mereka inginkan macamnya seperti apa (?)
Mereka menunjuk satu rumah makan yang menawarkan aneka menu geprek. Rupanya menu geprek itu adalah lauk-pauk goreng yang digeprek/dipenyet bertaburan sambal dengan berbagai jenisnya.
Tak disangka menu geprek/penyet sedang populer di tengah masyarakat, termasuk kedua anak saya yang sedang mondok. Harganya pun sedikit mahal di atas menu makan berbahan sambal, seperti pecel. Padahal di masa-masa pesantren dulu, geprek/penyet telah menjadi menu makan harian santri.
Hanya bahan dasar lauknya yang berbeda. Menu geprek/penyet sekarang umumnya menggunakan bahan daging ayam, sementara di pesantren dulu bahannya terong yang dikukus atau dibakar. Terkadang yang digeprek/penyet tempe-tahu jika baru mendapatkan kiriman uang dari rumah.
Geprek/penyet mulanya diolah santri dengan tujuan mengungangi rasa dominan sambal yang pedas. Kehidupan santri yang pas-pasan di samping dituntut tirakatan, menjadikan mereka terbiasa makan nasi dan ubi dengan lalap sambal pedas — untuk menambah selera makan. Nah, supaya pedas sambal tidak dominan rasa cabai, santri menambahkan terong atau tahu-tempe yang digeprek/penyet.
Untuk mempertahankan rasa hangat sambal yang sudah berkurang pedasnya — karena dicampur terong dan tempe-tahu, santri menyiasati dengan memasukkan batu bakar. Cara ini menurut santri dapat menambah enak menu geprek/penyet. Padahal batu bakar yang dimasukkan ke dalam adonan geprek/penyet berfungsi selayaknya hot-plate dalam sajian menu restoran mahal.
Sayang sekali, kini tidak banyak pesantren yang membiasakan santrinya untuk masak sendiri. Makan harian santri sudah disediakan pihak pesantren dengan alasan tidak ada waktu lagi buat santri untuk memasak. Akibatnya santri sekarang tidak kenal menu geprek/penyet, yang dulu diwarisi turun-menurun di pesantren.