Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Moderatisme Beragama dalam Kacamata Sufisme Nusantara (3): Konsep Moderatisasi Diri

Whatsapp Image 2021 11 16 At 22.31.09

Pakubuwana IV dan Mangkunegara IV ternyata tak sekedar melakukan kontranarasi atas radikalisme dan radikalisasi yang terjadi pada zamannya. Mereka pun menyuguhkan sebentuk deradikalisasi atasnya. Latar-belakang kesufian memungkinkan mereka untuk tak sekedar berperan laiknya raja atau adipati yang berhenti pada apa yang di masa sekarang dikenal sebagai fakta hukum, tapi juga laiknya dokter jiwa yang menguasai seluk-beluk perkara kejiwaan manusia untuk mencari sebuah akar permasalahan.

Dalam Serat Wulangreh, Sunan Bagus mengetengahkan kriteria para guru atau ustadz yang baginya cukup penting dalam terbentuknya radikalisme dan terjadinya proses radikalisasi. Dua hal utama yang baginya mesti dihindari adalah ustadz yang memiliki karakter meninggalkan duga-prayoga dan mengagungkan watak diksura atau degsura.

Kalamun ana manungsa

Anyinggahi dugi lawan prayogi

Iku wateke tan patut

Awor lawan wong kathah

Wong diksura ndaludur tan wruh ing edur

Aja sira pedhak-pedhak

Nora wurung neniwasi

Dalam khazanah budaya Jawa duga-prayoga adalah sebentuk tatakrama (duga) yang seturut dengan situasinya (prayoga). Artinya, sang guru atau ustadz mesti memiliki kemampuan untuk memperhitungkan konteks atas segala ujaran dan ajarannya. Jangan sampai seumpamanya ia secepat kilat menghukumi kafir, bid’ah ataupun syirik pada segala sesuatu yang baginya masih gelap dan akan cukup berbahaya ketika dibalikkan ke mulutnya. Taruhlah menghakimi atau menghukumi wayang ataupun keris sebagai sebentuk syirik, bid’ah atau bahkan kafir yang tentunya mesti memperhitungkan keberadaan UNESCO sebagai lembaga internasional yang telah mengakui keduanya sebagai sebuah warisan budaya dunia.

Baca juga:  Pangeran Katon

Belum lagi sebentuk kewirangan pada penghakiman atas istilah dan konsep “sangkan-paraning dumadi” yang ternyata merupakan jantung kebudayaan Jawa tradisional dimana implementasinya di lapangan telah dijamin dan dilindungi oleh berbagai payung hukum di Indonesia (Sangkan-Paran, Heru Harjo Hutomo, Bintang Pustaka Madani, Yogyakarta, 2021).

Sedangkan diksura atau degsura adalah watak yang dimiliki oleh seorang tiran yang “masturbasif” atau tak memberi ruang pada lainnya. Orang semacam ini sama sekali menutup mata pada kebenaran lain yang sebenarnya akan merepotkan dirinya sendiri sebagaimana yang dialami oleh kalangan radikal dan kalangan teroris—otak kotak yang sama sekali cocok dengan kotak penjara. Orang-orang degsura ini sudah pasti melegalkan kekerasan sebagai solusi atas segala masalah. Bukankah kalangan radikal, meskipun berbungkus agama sekalipun, akan terkesan memuakkan dan tak memberikan rasa aman ketika diberi panggung untuk mengekspresikan diri?

Dalam terang Sunan Bagus, pada dasarnya mengutamakan sikap duga-prayoga adalah sebentuk langkah preventif untuk menhindari kegoblokan dan kewirangan. Adapun meninggalkan watak degsura akan dapat mengenakkan setiap derap langkah kehidupan yang membuahkan dada yang lapang. Bukankah ketika hanya melihat seorang guru yang benar-benar memiliki kualitas guru sudah dengan sendirinya rasa aman yang penuh pengharapan dapat dirasakan?

Ginulang sadina-dina

Wiwekane tuwin basa basuki

Ujubriya kibiripun

Sumungah tan kanggonan

Mung sumendhe ing karsanira Hyang Agung

Ujar sirik kang rineksa

Kautaman ulah wadi  

Gaya bahasa dan bahasa tubuh seseorang, bagi Sunan Bagus, ternyata adalah cerminan dari kualitas dirinya. Dalam hal ini jelas Sunan Bagus tak sedang mencatatkan pendapatnya tentang pentingnya citra dan pencitraan diri sebagaimana yang menjadi tuntutan ilmu komunikasi modern. Basa basuki atau bahasa yang menyelamatkan, yang menjadi salah satu kriteria seorang guru menurut Sunan Bagus, ternyata tak berarti mesti berbahasa halus lagi runtut. Meskipun gaya tuturnya kasar, tapi kekasaran berbahasanya itu seperti sama sekali tak menyakiti perasaan para pendengarnya.

Baca juga:  Ramadan dan Rahmat Bagi Semesta Alam

Basa basuki adalah bahasa yang tak mengandung ujub, riya’, kibir, dan sumongah atau kesombongan. Jadi, kekasaran berbahasa tak menjadi ukuran dalam keselamatan berbahasa dalam terang Sunan Bagus. Meskipun ujarannya kasar selama orang itu tak menampakkan isi-isi hatinya seperti ujub, riya’, kibir dan sumongah, maka ia tetap saja adalah seorang guru yang baik nan menenteramkan.

Di samping itu, kriteria lainnya yang mesti dimiliki oleh seorang guru adalah “kautaman ulah wadi” atau pandai dalam menyingkapkan rahasia-rahasia. Seumpamanya saja adalah rahasia dari sebuah dupa yang ternyata hanya pewangi yang membuat seseorang semakin khidmat dalam melakukan apa yang dilakoninya, dimana ternyata wewangian ini memengaruhi kelenjar pineal manusia yang dapat menyebabkannya lebih rileks dan membuahkan khusyu’. Maka, ketika ia membawa-bawa hadis dimana segala sesuatunya ditentukan oleh niatnya, tak mungkinlah ia akan bersikap konyol dengan sekonyong-konyong mem-bid’ah-kan dupa dan penggunaannya.

Rahasia dari seorang guru dalam kriteria Sunan Bagus itu semua, yang tak akan menyorongkan sang murid pada radikalisme dan terorisme, ternyata berangkat dari sebentuk inner beauty yang tak dapat direkayasa: “Mung sumendhe karsanira Hyang Agung.” Tentu, di masa kini, barangkali sudah tak ada lagi orang yang memiliki kualitas diri semacam buih di lautan dimana dirinya adalah sebuah darma yang berjalan, “Lir sarah munggeng jaladri/ Darma lumaku sapakon.”  

*) Artikel ini adalah hasil kerja sama alif.id dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top