Menyimak dinamika masyarakat muslim serta respon yang beragam di dalam dan di luar negeri, seolah menjadikan pendapat Presiden Prancis Immanuel Macron bahwa Islam tengah berada di dalam krisis menemukan relevansinya. Reaksi atas pernyataan Macron yang berlebihan telah mengesampingkan peristiwa mengerikan yang menyertainya. Alih-alih menghujat tindakan tidak bermoral, pelaku justru dielu-elukan bak seorang pahlwan. Mengapa hal ini dapat terjadi?
Menurut cendekiawan muslim Farouk Mardam Bey, Ziad Majed, dan Yassin al-Haj Saleh di dalam artikel mereka berjudul On the crisis of Islam: in defense of discussion (2020), kondisi yang terjadi di dalam dunia Islam tak dapat dilepaskan dari dinamika yang telah dan tengah terjadi di Timur Tengah.
Mereka berpendapat bahwa krisis Islam mewujud melalui bangkitnya nihilsme kekerasan yang cenderung membenci dunia. Di sanalah benih-benih proses yang mereka sebut sebagai ‘the militarisation of thought’ yang diadvokasi oleh kelompok yang dikategorikan sebagai ‘islamis nihilis’ bermula.
Berangkat dari fakta ini, mereka mengingatkan beberapa peristiwa penting di mana lingkaran setan itu berawal. Pertama, adalah bangkitnya ‘islamis nihilis’ di Afganistan yang dibentuk di tahun 1980-an oleh Amerika Serikat, saat intelijen AS dan pakistan bergabung dengan dukungan Saudi dan doktrin Wahabismenya.
Sebelumnya, revolusi Iran di tahun 1979 yang telah mengubah wajah Iran dan persepsi Barat terhadap Iran. Republik Islam Iran dinilai berkontribusi dalam mengekspor ideologi totalitarian dan mendorong pertumbuhan fundamentalisme Syiah yang berhadap-hadapan dengan kelompok Sunni Salafi yang telah membawa perang saudara tak berkesudahan. Kondisi ini kemudian diperburuk oleh invansi Amerika dan sekutunya di Irak di tahun 2003 sebagai balasan atas serangan teroris di tahun 2001 yang secara tidak langsung telah menyediakan lahan subur bagi para ‘jihadis nihilis’ untuk menemukan landasan atas berbagai tindakan kekerasan. Hingga kemudian munculnya kelompok ISIS yang membentang di reruntuhan Suriah dan Irak.
Di sisi yang lain, situasi global yang berkembang pasca peristiwa “9/11” membawa polemik semakin mendalam. Normalisasi kondisi ‘state of emergency’ untuk melawan terorisme yang dimotori oleh Amerika menjadikan masyarakat muslim tersudutkan di dalam berbagai bidang kehidupan. Fakta membuktikan, serangan diskriminasi atas nama agama dalam hal ini terhadap muslim mengalami peningkatan hampir di semua negara di mana muslim sebagai minoritas berada.
Peneliti Islamofobia, Katarsyna Górak-Sosnowska menemukan bahwa di Polandia di mana jumlah masyarakat muslimnya sangat sedikit dan mampu berintegrasi dengan baik ternyata mengalami peningkatan tindakan kekerasan yang signifikan pasca peristiwa “11/9”. Wacana Islamofobia di Eropa menjadi penyebab utamanya. Bahkan, hal ini telah membawa pada peristiwa kemanusiaan yang mengerikan seperti genosida terhadap muslim Rohingya di Myanmar, kamp-kamp rehabilitasi masyarakat Uighur di China, penyikasaan pemerintah Assad di Syria yang tak berbeda dengan Abd al-Fattah al-Sisi di Mesir terhadap mereka yang dianggap sebagai teroris negara. Oleh karena itu Carlos Alberto Torres seorang profesor di Universitas Carlifornia baru-baru ini menyatakan bahwa Islamophobia dapat dilihat sebagai salah satu dimensi globalisasi.
Fakta ini menurut cendekiawan Muslim Abdul-Wahab Kayyali di dalam artikelnya ‘On the crisis of islam : Muslim and the question of equality’ (2020) memunculkan paradigma konfrontasi antara kelompok kecil islamis nihilis dengan kelompok Islamofobik nihilis. Padahal, isu terorisme telah membelah teritori negara dan bangsa ke dalam wacana agama secara global.
Dalam kasus Samuel Paty di Prancis, kebebasan berbicara menjadi motor penggeraknya. Oleh karena itu, dalam memahami krisis Islam secara global, kedua kutub ini harus dilihat sebagai satu paket yang tidak terpisahkan. Dengan kata lain, hal ini tidak dapat dilihat hanya sebagai krisis di dunia Islam yang diwakili oleh minoritas ‘islamis nihilis’ tapi juga krisis di Barat yang diwakili kelompok konservatif yang ‘islamis nihilis’. Di samping itu, terdapat persoalan besar lain yang dialami masyarakat mayoritas muslim saat ini yang disebut oleh Kayyali sebagai ‘the Islam’s preeminent crisis’, yaitu krisis utama masyarakat muslim yang cenderung anti terhadap prinsip kesetaraan, toleransi, dan kebebasan berekspresi.
Apa yang dapat dilakukan? Bey, Majed, dan Saleh berpendapat bahwa kelompok Islamis nihilis muncul ketika sistem politik yang telah menutupi dan melucuti aspirasi masyarakat sehingga mendorong mereka untuk membuat kendali atas keberadaan mereka sendiri. Oleh karena itu, jalan keluarnya adalah mengembalikan hak masyarakat untuk berorganisasi, berbicara dan melakukan protes adalah cara yang dianggap ideal untuk menghadapi Islamis nihilis dan kebencian mereka terhadap dunia. Namun, analisis Kayyali mengenai ‘krisis utama’ mayoritas masyarakat muslim tidak hanya membuat ide untuk menciptakan masyarakat yang terbuka menjadi terkendala. Bahkan, hal ini tampak mustahil dapat dilakukan. Karena secara psikologis, kekerasan telah menjadi bagian dari proses katarsis masyarakat muslim global atas perjalan getir sejarah yang dialami.
Terlebih ketika figur global mengambil bagian dalam proses tersebut. Hal ini dapat menyulut reaksi histeris atas berbagai isu yang dihembuskan. Mereka menjelma menjadi panutan tanpa mempertimbangkan profil pribadinya di negara masing-masing. Sebagai contoh, para pendukung Erdoğan mengabaikan kecenderungan otoriter dan penganiayaannya terhadap minoritas politik dan etnik di Turki. Mereka hanya mempercayai bahwa Erdoğan adalah perwakilan positif dari negara muslim global.
Dengan demikian, sesungguhnya figur global hanya menjadi simbol perlawanan utopis. Tentu saja tidak ada satu pun ‘pemimpin global’ yang dapat menyelesaikan persoalan ini. Penulis berpendapat bahwa tantangan besar ada di dalam kendali pemimpin masing-masing negara. Sejauh mana mereka mampu membangun keseimbangan antara situasi muslim yang tengah dilanda luka narisistik secara global (keinginan untuk mendapatkan perlakuan istimewa) dengan keragaman dan iklim politik yang ada di dalam masyarakat muslim itu sendiri.
Mereka harus menjadi katup bagi terbukanya pemahaman dan kesadaran akan eksistensinya sebagai masyarakat global tanpa sekat identitas, sehingga menjadi pembuka jalan terhadap perubahan. Kebencian terhadap dunia dapat berubah menjadi semangat solidaritas untuk turut menyelesaikan krisis global yang lebih penting yang tengah dihadapi bersama seperti persoalan lingkungan, perubahan iklim, pandemi, kelaparan dan mobilisasi imigran di berbagai belahan dunia.