Siapa yang tak mengenal imam kita dalam akidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja) ini, imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Beliaulah yang merumuskan akidah Aswaja sebagaimana akidah para salafus saleh terdahulu sampai ke masa Nabi saw. Perlu dicatat bahwa merumuskan bukanlah membuat atau menciptakan, jadi beliau bukan membuat akidah baru, akan tetapi hanya merumuskan.
Sebelum Imam al-Asy’ari merumuskan akidah Aswaja, beliau memiliki sejarah yang menarik bersama Mu’tazilah, yang mana paska beliau taubat banyak membantah kelompok-kelompok yang dinilai menyimpang, salah satunya adalah Mu’tazilah.
Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dahulunya adalah seorang Mu’tazilah, bukan sekadar orang awam yang taqlid buta, namun beliau dijadikan rujukan dan menjadi ulama Mu’tazilah pada masanya.
Tak tanggung-tanggung, Imam al-Asy’ari berpegang pada mazhab ini selama 40 tahun sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Tabyinu Kadzibil Muftari fî Ma Nushiba ilal Imamil Asy’ari yang dikarang oleh Ibnu ‘Asakir ad-Dimasqî (571 H).
Salah satu guru beliau yang mashur adalah Al-Jubba’i. Konon pernah terjadi percakapan yang membuat Imam al-Asy’ari bimbang pada mazhab ini, yaitu tentang permasalahan fi’lus sholah (Allah wajib menciptakan yang baik).
Imam al-Asy’ari: “Bagaimana pendapatmu tentang mukmin, kafir, dan bayi yang meninggal dalam waktu yang sama?”
Al-Jubbai: “Orang mukmin masuk surga, yang kafir masuk neraka, dan yang bayi terbebas dari bahaya.”
Imam al-Asy’ari: “Bagaimana jika bayi itu ingin masuk surga? Apakah bisa?”
Al-Jubba’i: “Tidak, sebab yang mukmin masuk surga karena ketaatannya kepada Tuhan, dan bayi belum melakukan ketaatan (beribadah).
Imam al-Asy’ari: “Bagaimana jika bayi itu berkata kepada Tuhan: “Itu bukan salahku, seandainya engkau memberiku hidup panjang, aku akan taat kepadamu.”
Al-Jubba’i: Tuhan akan menjawab, “Aku tahu bahwa jika kupanjangkan umurmu, kau akan berbuat dosa yang mengakibatkan masuk neraka, maka untuk kebaikanmu, Aku ambil nyawamu sebelum engkau terkena taklif (beban tanggungan sya’riat).”
Imam al-Asy ‘ari: Bagaimana jika yang kafir itu protes: “Engkau tahu masa depanku sebagaimana masa depan bayi itu, tapi mengapa tidak engkau jaga kebaikanku?”
Sampai disini al-Jubba’i bungkam dan tak dapat menjawab.
Setelah itu Imam al-Asy’ari semakin bimbang, banyak pikiran dan keraguan yang berkecamuk dalam kepalanya, semakin parah kini kegundahan itu mulai merembas ke dalam hatinya maka beliau semakin tidak tenang.
Imam al-Asy’ari pun salat dua raka’at dan berdoa kepada Allah Swt agar ditunjukan jalan yang lurus, sampai Allah pun membukakan mata hatinya dan melapangkan dadanya. Saat tertidur, beliau bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw. Akhirnya Imam al-Asy’ari segera menceritakan keluh kesah yang sedang dialaminya, Rasulullah saw pun menjawab, “Ikutilah sunnnahku.” Sebagaimana termaktub dalam mukaddimah kitab Tabyîn Kadzibi al-Muftarî, beliau langsung terbangung dari tidurnya dan mendapatkan petunjuk.
Kemudian beliau datang ke masjid Jami’ di kota Basrah, bertepatan dengan hari Jumat setelah selesai shalat Jum’at. Langsung Imam al-Asy’ari naik ke atas mimbar dan berpidato, “Wahai manusia, beberapa hari ini aku telah menghilang di antara kalian, sebab aku membandingkan dalil-dalil yang sepadan (dalam mazhab Mu’tazilah), namun belum menguatkan kebenaran dari kebatilan, juga sebaliknya.
Maka aku pun meminta petunjuk kepada Allah Swt, kemudian Dia memberiku hidayah dan aku menyimpannya dalam kitab-kitabku ini. Aku telah melepas apa yang dulu aku yakini sebagaimana aku melepas baju ini.” Kemudian beliau melepas bajunya dan melemparnya.
kok gak diteruskan khy? beliau setelah dari mu’tazilah, lalu ke kullabiyyah, lalu fase akhir kepada manhaj salaf mengikuti Imam ahmad hingga akhir hayatnya seorang pengikut mazhab hambali seperti Abdul qodir jilani rahimahullah yg bermazhab hambali yaitu dengan mutlak menganggap Allah berada diatas Arsy. hehe