Anak muda mempunyai peran sosio-kultural yang acap diwacanakan tiap zaman.
Sisi keunikan demikian menyiratkan dimensi kebaruan yang disematkan pada generasi muda. Bagi kaum “berumur” anak muda menjadi titik tolok harapan karena selain memiliki spirit, ia juga dianggap mempunyai segudang terobosan. Atas kenyataan itu tak mengherankan bila kawula muda sebagai personalitas menempati frasa kunci yang paling populer di jagat teks.
Satu dekade belakangan, anak muda direferensialkan sebagai generasi milenial dengan merujuk pada tesis Karl Manheim dalam tulisannya bertajuk The Sociological Problem of Generations yang merupakan salah satu esai dalam buku Essays on the Sociology of Knowledge (1998). Pusparagam dimensi positif mengenai anak muda diulas secara mendalam dengan mempertimbangkan lingkungan sosial berikut implikasi psikologisnya.
Riset mutakhir kontemporer meneruskan tesis Karl. Benang merah penelitian empiris itu menyoal seputar bagaimana habituasi milenial di zaman Revolusi Industri 4.0. berpengaruh signifikan terhadap konstruksi berpikir hingga cara relasi kulturalnya dengan liyan. Hal ini wajar, setidaknya, karena dua perspektif.
Pertama, era otomasi dan digitalisasi yang kian masif dan mengakar di kehidupan sosial, disadari atau tidak, membentuk pola hidup dan kehidupan milenial. Kedua, jejaring interpersonal milenial yang serba “modern” mempertajam perbedaan kebiasaan sehari-hari dengan generasi sebelumnya. Dua hal tersebut menegaskan arti “dua kehidupan” antara generasi tua dan muda.
Melek teknologi salah satu faktor determinan pembeda antara generasi baru dan silam. Contoh paling sederhana meliputi bagaimana milenial mudah belajar secara mandiri ketika bersemuka dengan gawai pintar.
Hanya bermodal literasi media ala kadarnya ia dengan lekas mampu mengoperasikan sebuah teknologi genggam meski barang canggih itu baru dibeli. Bila menemui kendala teknis, tanpa pikir panjang, ia langsung mencari prosedur solusi di mesin pencari serba guna bernama Google.
Berbeda dengan generasi tua yang sejak muda belum mengecap teknologi cerdas buatan manusia modern itu relatif lambat beradaptasi. Kendala teknis kerap kali dikeluhkan sebagian besar dari generasi tua, walaupun dengan keuletan belajar yang tak kalah besar dengan milenial mereka akhirnya mampu menyesuaikan diri. Sekali lagi, uraian simplikatif tersebut bersifat kasuistik. Eksplanasi di sini hanya generalisasi paling sederhana sehingga diperlukan penelitian empiris guna membuktikannya secara ilmiah.
Kemandirian milenial dalam konteks melek teknologi itu dapat dikatakan dampak dari lingungan sosial, baik di lingkup rumah, sekolah, maupun wilayah personal lain. Mereka yang dilahirkan pascatahun 90-an beruntung mendapatkan pola didik demikian karena pada masa itu dunia internasional sedang menyeruak pengembangan dan pendiseminasian teknologi berbasis siber. Temuan sainfitik terapan inilah yang pada gilirannya membentuk dunia baru, habituasi anyar, dan sistem mutakhir yang menjadi identitas era disrupsi.
Keterasingan Milenial
Perspektif ilmu komunikasi telah banyak membuktikan perubahan mendasar cara berinteraksi generasi milenial. Komunikasi jarak jauh menjadi tren fundamental mereka, apalagi di tengah merebaknya media sosial dewasa ini yang makin melicinkan diskursus tersebut. Mereka lebih memilih cara komunikasi yang serba cepat dan instan karena pertimbangan efektivitas dialektis. Pemesanan makanan, barang, fesyen, hingga jasa-jasa personal digeliatkan milenial hanya bermodal aplikasi, kuota, dan sedikit instruksi melalui papan ketik telepon pintar.
Curahan hati dan pikiran tak lagi dituangkan di buku catatan sebagaimana anak muda dua dekade lalu. Mereka hanya butuh akun media sosial untuk mengetalasekan kognisi dan afeksinya.
Akun-akun pribadi, karenanya lebih diselebrasikan sebagai ajang narsisme sekaligus kontemplasi ketimbang arena diskursif. Membaca psikologi kepribadian hari ini lebih mudah karena sekadar menengok rekam jejak status mereka di linimasa. Metode ini juga sedang gencar dilakukan oleh pewawancara di tiap medan pekerjaan sebagai pertimbangan primer penilaian kelayakan.
Realitas milenial seperti diuraikan di atas di satu sisi positif, namun di sisi lain dianggap negatif, terutama tak ada lagi ranah privat dan umum. Dua-duanya kini dipertautkan tanpa jarak yang jelas, tanpa pembeda yang kontras. Gejala ini bisa disebut eskapisme generasi milenial: ketika mereka mencari pelarian baru karena dirundung alienasi personal-kultural. Soal baik dan buruk tentu jawaban lain yang membutuhkan eksplorasi lebih lanjut.