Dalam satu dekade terakhir gerakan terorisme menjadi isu paling krusial dan kontroversial sekaligus memantik perhatian yang luar biasa dari pelbagai negara, organisasi, maupun kalangan akademisi di seluruh dunia. Pasalnya, gerakan terorisme ini tengah banyak merenggut korban melalui aksi-aksinya seperti pemboman, kekerasan, dan memaksakan kehendak tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkannya.
Karena itu, kajian dan pemberantasan terhadap terorisme penting untuk selalu digalakkan secara terus-menerus sehingga terorisme bisa dibendung dan dipahami secara lebih jernih dan proporsional. Bagi bangsa Indonesia misalnya, perang melawan aksi terorisme saat ini menjadi isu populer dan urgen, baik oleh pihak yang berwajib maupun seluruh elemen bangsa.
Namun demikian, di sisi lain menempatkan umat Islam Indonesia pada posisi yang tidak menguntungkan karena dicurigai berpotensi melahirkan para teroris dan bahkan menjadi bagian dari jaringan terorisme global. Apalagi, terbukti memang tengah terjadi puluhan kasus teror di Indonesia.
Misalnya, kasus yang terjadi beberapa hari lalu dan ramai diperbincangkan di media massa, yakni penangkapan terhadap tiga terduga teroris yang menjadi anggota Jamaah Islamiyah (JI) oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror (Densus 88). Di antaranya Ustaz Farid Okbah selaku Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI), Ahmad Zain An Najah tercatat sebagai anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, dan Anung Al Hamad selaku Pendiri Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Perisai Nusantara Esa.
Ironisnya, dari catatan Nurwakhid, Zain An Najah memiliki rekam jejak buruk selain ia dekat dengan Abdul Hakim mantan anggota ISIS yang ditangkap tahun 2015 lalu oleh Densus 88 Antiteror Polri, juga merupakan anggota Dewan Syuro Jamaah Islamiyah (JI) dan Dewan Syariah Lembaga Amil Zakat Baitul Mal Abdurrahman Bin Auf (LAZ BM ABA) atau yayasan amal yang didirikan untuk pendanaan JI. Fakta ini, tentu menjadi catatan penting (PR besar) bukan hanya bagi MUI tetapi juga bagi kita semua.
Bagi MUI sendiri, ini merupakan suatu peristiwa yang memalukan sekaligus tamparan keras, sebab MUI yang di dalamnya dihuni oleh orang-orang saleh dan ulama dengan pemahaman ilmu agama yang mumpuni, tampaknya masih ada sebagian anggotanya terpapar paham radikal-terorisme.
Tentu saja, kebanyakan orang akan menilai bahwa MUI masih lemah dari dalam. Sistem MUI yang tercanang, mulai dari rekrutmen dan lain sebagainya dinilai gagal bahkan, MUI sebagai basis fatwa keagamaan kurang menunjukkan kedisiplinannya dalam memilih keanggotaan. Oleh karena itu, peristiwa ini patut dijadikan bahan pertimbangan dan pembelajaran bagi MUI sendiri ke-depannya dalam merekrut setiap anggotanya.
Karena, tantangan ke-depannya semakin sulit dan berat. Apalagi, model dan strategi kelompok teroris untuk memuluskan agenda-agendanya saat ini semakin “sakti”, yakni melalui kotak amal dengan memanfaatkan kedermawanan bangsa Indonesia.
Pun, persoalan terorisme selain menjadi catatan bagi MUI, juga bagi kita semua. Sebab, ia tidak sekadar mengancam terhadap stabilitas kehidupan dan tatanan sosial yang sudah mapan. Tetapi juga, mengancam terhadap keutuhan dan kesatuan NKRI itu sendiri. Itu artinya, eksistensi terorisme di negeri ini seakan tengah menjadi ‘bom waktu’ yang setiap saat bisa meledak kapanpun ia mau dan dapat meluluh-lantakkan bangsa ini.
Dengan demikian, perang melawan aksi-aksi terorisme yang berkamuflase dalam bentuk apapun, baik agama maupun politik merupakan suatu kewajiban bagi kita semua, mengingat dampak yang ditimbulkannya begitu besar bagi negara maupun yang lainnya.
Namun, melawannya pun diperlukan kerja-sama yang intens antara pemerintah dengan seluruh masyarakat, tokoh agama dan lain sebagainya. Karena memberantas gerakan terorisme ini bukanlah perkara terbilang mudah, melainkan memerlukan strategi khusus, sistematis, terstruktur dan masif. Wallahu A’lam