Serangan teror di beberapa kota di Indonesia beberapa waktu belakangan ini sungguh membuat kita terhenyak. Terlebih mendapati misi teror dengan modus baru, yakni digunakannya ibu dan anak-anak sebagai ‘pengantin’.
Di Surabaya, pelakunya adalah sebuah keluarga lengkap, yakni orang tua dan keempat anaknya. Dalam salah satu peristiwa penyerangan, bom itu ada yang diikatkan pada anak-anak. Masyaallah. Saya berhari-hari tertegun, bersedih, dan terus berpikir apa yang merasuki pikiran keluarga pengebom itu? Jalan pintas menuju syurga?
Kita semua sepakat bahwa pemikiran itu sangatlah dangkal. Tentu saja, ada banyak faktor yang rumit terkait terlibatnya seluruh keluarga dengan anak-anak yang masih kecil sebagai pengebom.
Sekedar kilas balik, cerita yang berbeda saya dapatkan pada tahun 2016. Saat itu, saya mendengar sebuah cerita tentang Akbar, seorang remaja 16 tahun yang menjadi tokoh utama dalam film dokumenter berjudul Jihad Selfie (2016), karya teman saya, Noor Huda Ismail, seorang aktivis yang bekerja merehabilitasi para mantan teroris.
Film tersebut berkisah mengenai proses perekrutan para jihadis yang dilakukan secara masif melalui media sosial. Akbar adalah seorang pemuda asal Aceh yang tengah bersekolah setingkat SMA di Turki. Ia tengah bersiap hendak berangkat jihad ke Syiria dengan inspirasi yang didapat dari teman-temannya di Facebook. Segala persiapan telah dibuatnya. Akan tetapi, Akbar tiba-tiba berubah pikiran. Ia membatalkan niatnya bergabung dengan ISIS. Apa penyebabnya?
Selain dari hasil berdialog panjang dengan kawan saya itu, Akbar teringat sosok ibunya; sosok yang sangat dekat dengannya, yang berada nun jauh di kampung halaman. Dari hasil riset Noor Huda, sejumlah pemuda dan remaja Indonesia yang bergabung dengan ISIS banyak yang memiliki masalah dengan keluarga mereka. Dalam kasus Akbar, berkat ingatannya pada keluarga, khususnya ibunya, telah menggagalkan niatnya bergabung dengan ISIS.
Dua kasus yang bertolak belakang di atas menjadi potret betapa pentingnya peran keluarga, baik dalam lahirnya bibit-bibit radikalisme maupun dalam menangkalnya. Karena pada dasarnya, dalam keluarga lah nilai-nilai dasar kehidupan diajarkan, ditanamkan, dan dibiasakan.
Banyak persoalan sosial dalam lingkup yang lebih luas, pemicunya disebabkan ketidakharmonisan dalam keluarga. Sebaliknya, sering juga penyelesaikan atas berbagai konflik sosial juga dilakukan dengan pelibatan keluarga. Maka, keluarga dapat menjadi penentu bagi terjadinya proses radikalisasi maupun deradikalisasi.
Seberat apapun tantangan di lingkungan sosial dalam lingkup yang lebih luas, jika ikatan dalam keluarga terjalin dengan baik, maka keluarga memiliki potensi besar sebagai benteng yang kokoh bagi penangkal radikalisme.
Kegelisahan Sosial di Era Digital
Dalam masyarakat yang majemuk ini, berkembangnya pemahaman beraliran radikal pada mulanya tampak dilihat sebagai hal yang lumrah, sebagai konsekwensi adanya perbedaan dalam kehidupan demokrasi yang tengah tumbuh pascareformasi.
Kenyataannya, pemahaman radikal yang dapat menjadi bibit-bibit terorisme terus tumbuh pesat terutama di perkotaan, melalui berbagai agensi mulai dari pengajian majlis taklim hingga sekolah-sekolah formal. Gejala ini ditopang dengan semakin meningkatnya kegelisahan atau tingkat stres masyarakat perkotaan atas semakin kompleksnya kehidupan sosial mereka.
Kalangan menengah ini tidak punya cukup waktu untuk merefleksikan paham-paham baru di tengah berbagai kesibukan yang mereka hadapi sehari-hari.
Jika dulu pelaku terorisme seringkali dikaitkan dengan faktor ekonomi lemah, gejala itu sekarang sudah berubah. Kini, banyak orang yang berasal dari keluarga mapan, tampak bahagia, tetapi merasa memiliki kekeringan spiritual atau persoalan-persoalan sosial yang rumit, yang membuat mereka merasa teraleniasi secara sosial.
Lalu, mereka memilih bergabung dengan kelompok tertentu karena mereka menemukan kenyamanan di sana.
Di samping terjadinya perubahan dinamika kehidupan sosial di kalangan kelas menengah berupa kekecewaan-kekecewaan tertentu terhadap realitas sosial maupun politik yang dihadapinya, peran teknologi informasi, terutama media sosial semakin mempercepat terjadinya proses radikalisasi tersebut.
Mobilisasi sosial maupun keagamaan, termasuk penyebaran paham radikal lebih mudah dan cepat dilakukan hanya melalui grup-grup seperti WhatsApp, Facebook, atau Telegram. Sebuah tantangan yang tidak kita miliki sebelumnya. Masifnya penyebaran informasi melalui medsos membuat jangkauan paham-paham radikal semakin luas audiensnya. Sedangkan upaya yang terstuktur pun dilakukan melalui program-program pengajian maupun kurikulum di sekolah. Hal ini tidak sebanding dengan upaya untuk menangkalnya.
Maka, kita tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah untuk menjalankan program-program deradikasilasi. Kita pun dapat ambil bagian melalui lingkungan terkecil kita, kerluarga.
Kembali pada Keluarga
Sejauh-jauh burung terbang, ia akan kembali ke sangkarnya, demikian kata sebuah pepatah lama. Itu menandakan bahwa rumah adalah tempat bermuara segala macam perasaan batiniah manusia.
Saat gelisah, takut, kacau, bahagia, kita akan mencari orang-orang terdekat untuk berbagi kesenangan atau kegalauan itu. Jika rumah tak lagi menyenangkan, tak ada tempat untuk berbicara dan berkeluh kesah, maka anak-anak kita akan mencari dan bertanya ke tempat lain di luar keluarganya.
Di sinilah, momen ketika anak-anak akan mudah dipengaruhi oleh lingkungannya, dimasuki paham-paham agama yang tidak sejalan dengan misi Islam rahmatan lil a’lamin, sebagai agama yang menjadi rahmat bagi semesta.
Jiwa yang labil, kegelisahan yang terus mendera, akan dengan mudah ditundukkan saat menemukan lingkungan atau komunitas yang mendukung mereka, tempat mereka merasa senasib sepenanggungan.
Maka, tak ada cara lain untuk melawan situasi itu selain dengan membangun benteng yang kokoh dalam keluarga kita sendiri. Tentu, keluarga bukan satu-satunya faktor yang berperan dalam meningkatkan atau menangkal proses radikalisasi.
Tetapi, sebagai orang terdekat, keluarga punya peran penting dalam melakukan deteksi awal keterlibatan anak-anak mereka dalam proses radikalisasi. Sebanyak apapun aktivitas anak-anak di luar rumah, tetapi kehangatan keluarga akan selalu dirindukan.
Sejauh apapun mereka terbang untuk mencari pengetahuan dan pengalaman hidup, pelukan sayang orang tua akan menghilangkan lelah mereka. Komunikasi yang terjalin akrab dan baik sejauh ini menurut saya tetap menjadi muara untuk menangkal paham-paham radikal.
Tentu, dengan catatan bahwa keluarga pun mencari guru yang tepat yang dapat memahamkan ajaran agama dengan benar. Jika ingin menjaga anak-anak dari paham radikal, banyaklah mereka diajak berdialog dalam keluarga. Wallahua’lam.