Sebagai seorang muslim, sudah menjadi kewajiban kita untuk senantiasa melaksanakan perintah serta menghindari larangan Allah. Namun, di zaman seperti sekarang ini setiap muslim sangat rentan berbuat dosa. Tidak hanya dosa kecil, dosa besar seperti zina, pembunuhan, atau bentuk kedurhakaan kepada orang tua rasanya semakin sering terjadi.
Lalu bagaimana status seorang mukmin yang melakukan dosa besar? Dalam ilmu kalam topik ini pernah menjadi perhatian para mutakallim (ahli ilmu kalam). Dari perdebatan itu kemudian melahirkan aliran-aliran kalam seperti Muktazilah, Murji’ah, Khawarij dan sebagainya. Masing-masing kelompok bersikeras mempertahankan argumentasinya.
Dalam pembahasan status dosa besar, pendapat muktazilah sangat menarik. Jika khawarij mengatakan bahwa pelaku dosa besar statusnya kafir dan murjiah mengatakan bahwa status pelaku dosa besar itu tetap mukmin, maka muktazilah berpendapat bahwa pelaku dosa besar bukan kafir dan bukan mukmin tapi mereka berada di posisi tengah yang disebut dengan Al-Manzil bain Al-Manzilatain.
Doktrin Al-Manzil bain Al-Manzilatain sendiri menjadi awal mula berdirinya muktazilah sebagai aliran ilmu kalam. Muktazilah tidak setuju dengan pendapat aliran-aliran sebelumnya yang hanya mementingkan ego karena pertikaian politik pada saat itu. Muktazilah mencoba menggunakan argumentasi logis dalam membahas hal-hal teologi yang menjadi permasalahan umat Islam setelah pertikaian polotik terjadi (Yusuf, 2016).
Karena muktazilah membangun argumentasinya secara logis menggunakan akal, itulah sebabnya muktazilah lebih mementingkan kebenaran akal daripada wahyu (Rohison, 2016). Bahkan aliran ini sempat dituduh sebagai aliran yang menafikan wahyu karena sebagian besar doktrinnya mereka landaskan dengan akal. Doktrin Al-Manzil bain Al-Manzilatain pun demikian. Tidak ada ayat Al-Qur’an atau hadis yang menjelaskannya. Di Al-Qur’an hanya disebutkan dua tempat yaitu surga dan neraka. Namun, jika ditelaah secara logis, doktrin Al-Manzil bain Manzilatain sangat masuk akal. Kerena orang mukmin yang melakukan dosa besar statusnya bukan lagi mukmin mutlak namun sudah menjadi mukmin yang fasik.
Bagi muktazilah, iman tidak cukup di dalam hati atau dengan pengakuan saja. Namun iman harus ada pembuktiannya. Seorang mukmin harus taat pada perintah dan larangan Allah. Jika ia melanggar maka ia bukan lagi mukmin. Namun jika ia bertaubat sebelum meninggal, maka ia akan kembali dan tidak akan ditempatkan di neraka (Razak, 2012).
Orang fasik yang berbuat dosa pun mereka bukan cerminan mukmin yang mutlak karena mereka melanggar peraturan Tuhan. Tidak ada bukti kepatuhan sebagai tanda bahwa dirinya sebagai mukmin. Jika dikaitkan dengan problematika zaman sekarang, apakah banyak orang Islam yang akan menjad penghuni Al-manzil bain Al-Manzilatain?
Di era yang canggih ini, manusia bisa lebih mudah melakukan dosa bahkan tanpa mereka sadari sekalipun. Manusia sudah dibutakan oleh teknologi dan jika manusia tidak bisa mengendalikan teknologi dengan baik, maka manusia akan terjerumus ke dalan hal yang salah. Seperti halnya pelaku pembunuhan, sekarang pembunuh bisa merancang strategi dengan mudah menggunakan teknologi agar target pembunuhannya bisa tepat sasaran. Selanjutnya pelecehan seksual, di media sosial manusia bisa lebih mudah melakukan hal itu bahkan sampai terjerumus ke dalam zina.
Masih banyak lagi kejahatan-kejahatan yang banyak dilakukan oleh manusia zaman sekarang yang merupakan dosa besar. Banyak yang mengaku mukmin tapi mereka tidak menunjukkan kepatuhannya sebagai seorang mukmin. Apakah definisi seperti ini yang dimaksudkan muktazilah sebagai mukmin yang fasik, yang kelak di akhirat akan ditempatkan di Al-Manzil bain Manzilatain?
Jika ditelaah lebih lanjut, orang-orang zaman sekarang yang banyak melakukan kejahatan, itulah yang dimaksud muktazilah sebagai penghuni Al-Manzil bain Al-manzilatain. Namun muktazilah tidak menerangkan secara jelas di mana tempat itu berada. Muktazilah hanya menerangkan bahwa Al-Manzil bain Al-Manzilatain berada di antara surga dan neraka. Karena bagi muktazilah, orang mukmin yang melakukan dosa tidak bisa dikatakan kafir Karena di dalam hatinya masih tertanam iman. Namun juga tidak bisa disebut mukmin secara mutlak karena ia berani melanggar perintah Tuhan.
Di sini Muktazilah memberi dorongan agar seorang mukmin tidak menyepelehkan perbuatan dosa. Alasan muktazilah menggunakan landasan akal dalam doktrin ini yaitu untuk mengajak manusia agar menggunakan akalnya untuk berfikir. Tuhan telah menganugerahkan akal kepada manusia. Dengan akal, manusia mampu berfikir dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
Sebagai seorang mukmin hendaknya kita menjadi mukmin yang sejati, menanamkan iman dalam hati serta membuktikannya dengan menaati perintah dan menjauhi larangan Allah. Namun jika masih berbuat dosa, hendaknya kita segera bertaubat agar status kita kembali menjadi mukmin sejati. Karena kita tidak tahu kapan kematian akan datang. Bisa jadi besok di hari yang tidak kita sangka. Selagi kita masih diberikan kesempatan hidup oleh Allah hendaknya kita berusaha menjadi seorang mukmin sekaligus muslim yang sejati.