Sedang Membaca
Menghormati Keturunan Nabi?
Moh. Ali Rizqon MD
Penulis Kolom

Alumni Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Jurusan Tasawuf & Psikoterapi, dan Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Latee.

Menghormati Keturunan Nabi?

54f5215d 1633 4fdc B69c Cd7c75ae5603 169

Di tengah-tengah arus media sosial yang kian hari kian gencar. Muncul isu-isu baru yang melanda dunia sosial. Yaitu isu tentang pro-kontra terhadap sikap seorang Habib di negara yang demokrasi ini. Gelagat demikian tentu sangat krusial yang oleh umat muslim harus disikapi sebaik mungkin. Sebab, membiarkannya malah justru akan menimbulkan kubu perpecahan.

Habib atau yang dalam bahasa Arabnya dikenal dengan Zurriyatun Nabi adalah mereka yang secara garis keturnanannya berasal dari Nabi. Tepatnya dari Fatimah (putri Nabi) dengan Sayyidina Ali. Jadi siapapun mereka yang lahir dari keturunan keduanya (Hasan dan Husein) disebutlah seorang Habib. Lalu pertanyaanya, bagaimana kewajiban kita sebagai umat Muslim terhadap Habib?

Dalam kitab Syarhu al-Aqidah at-Thaháwiyah lil a-Barak, bab Minhaj Ahlisunnah fi Azwaji an-Nabi, juz 1, halaman 377, diterangkan bahwa kewajiban kita sebagai umat Muslim adalah menjaganya, atau sekurang-kurangnya menghormati sebegitu hormatnya, tanpa menyakiti, apalagi melecehkan satu sama lainnya. Sebab mereka yang lahir dari keturunan Nabi, tentu dipastikan hasil dari benih yang suci dari segala ketidakbaikan (ar-rijsu). Tapi sekali lagi, kesucian para keturuan Nabi tersebut bukan secara mutlak. Sebab bisa jadi, meski keturunan Nabi, ada juga yang katakanlah tidak berpibadi baik ala Nabi (maaf tanpa mengurangi rasa hormat saya) seperti suka mencaci orang lain, mendoakan orang lain tidak baik, bersikap angkuh dan sombong merendahkan fisik orang lain, dan lain-lain. Jelasnya, begini menurut Imam at-Thaháwi dalam kitabnya tersebut:

Baca juga:  Taman Ismail Marzuki: Cerita dan Tanda Seru

قال الطحاوي: (وذرِّيَّاته المقدسين من كل رجس) ليس على إطلاقه؛ لأن فيهم المحسن والمسيء،

Dari ibarat di atas ini tentu menunjukkan kepada kita, bahwa di antara keturuan Nabi sekalipun, bukan lantas kemudian dinyatakan baik. Tetapi ada juga keturunan Nabi yang secara sikap bisa dikatakan tidak baik sepertihalnya Nabi. Tidak lembut tuturnya, tidak menyayangi umat manusia, atau apalah yang menjadi teladan dari semua sosok Nabi. Maka konsukuensinya, tidak boleh kemudian menisbahkan ketidakbaikan Habib tersebut (yang secara nasab bersambung kepada Nabi namun secara perilaku tidak sama sekali) kepada keturunan Nabi. Atau dengan bahasa lain, menisbatkan tipikal demikian, jelas bukan suatu yang dibenarkan. Lebih jelasnya, berikut ibarah tersebut:

وقال: [وذرياته المقدسين من كل رجس] ، وهذا ليس ثابتاً لكل ذرية النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم، إنما المقصود أن من عرف منهم بالتقوى والإيمان فإنه هو الذي يُحسن فيه القول، وأما من استوجب القول السيئ فإنه يثبت له، لكن من دون أن ينال من نسبه ولا من اتصاله بالنبي صلى الله عليه وسلم.

Maaf pendek kata, teks di atas ini sekurang-kurangnya mengajarkan kepada kita bahwa perilaku yang sama sekali melenceng dari kepribadian baik Nabi, bagi penulis, bukan hal sepenuhnya disandarkan kepada predikat penyematan keturunan Nabi. Sebab sudah menjadi aksioma, Nabi adalah sosok teladan manusia sedunia. Lelaki yang sangat penuh kasih sayang terhadap segala umat manusia. Bukan suka membenci, menghardik, apalagi mencaci maki sesama umatnya.

Baca juga:  Mengapa Izrail yang Menjadi Malaikat Maut?

Hal ini selaras dengan pendapat Dr. Rasyid bin Hasan al-Alma’ei dalam kitabnya, Man Hum Ahlu al-Bait? Yang mengatakan begini:

وأهل السنة يحبونهم ويكرمونهم؛ لأن ذلك من محبة النبي -صلى الله عليه وسلم- وإكرامه، وذلك بشرط أن يكونوا مستقيمين على الملة، كما كان عليه سلفهم كالعباس وبنيه وعلي وبنيه، أما من خالف السنة ولم يستقم على الدين فإنه لا تجوز موالاته ولو كان من أهل البيت

Artinya: Ahlusunnah mencintai dan memuliakan para Ahlu al-Bait (keturunan Nabi), karena mencintai Ahlul al-Bait termasuk mencintai Rasul dan memuliakanya.  Dengan syarat, mereka (Ahlu al-Bait) tetap berada di agamanya, sebagaimana para pendahulunya seperi Abbas dan keturunan-keturunannya. Dan jika mereka tidak berada di sunnah-sunnah Nabinya, (meski keturunan Nabi) maka tidak boleh mengikutinya.

            Ulama kontemporer Mesir memaknai kata “Muwálah” dengan bersahabat. Sebagian ada yang memberikan makna dengan “menolong, atau membantu”. Ringkasnya, jika ketidakbaikan itu muncul meski dari keturunan Nabi, maka kita sebagai umat Islam harus benar-benar pintar jeli dan teliti. Bukan malah membantu terhadap ketidakbaikan tersebut, kemudian menyulutkan api kebenciaan di tengah-tengah persaudaran seagama ini dengan bentuk caci-mencaci. Apakah kita masih mau menghormati keturunan nabi yang suka mencaci-maki?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top