Sedang Membaca
Perang Ide, Radikalisme, dan Film Religi
Nurman Hakim
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Futuhiyah, Mranggen Demak. Sutradara film, mengajar film di beberapa kampus, aktif menulis dan di forum-forum film. Tinggal di Jakarta

Perang Ide, Radikalisme, dan Film Religi

Dari mana radikalisme Islam muncul? Ia tidak tumbuh dari ruang hampa. Radikalisme lahir dari suatu kondisi sosiopolitik dan keagamaan: egoisme dalam membentuk identitas ke-Islaman, pemurnian ajaran Islam, ideologi anti barat dan weak law enforcement. Lalu dari mana kondisi ini mempengaruhi tumbuh-kembangnya radikalisme?

Bermula dari pertarungan wacana Islam antara dua kelompok; Islam modernis toleran dan kelompok Islamis (Salafi, Wahabi). Kelompok pertama, ajarannya bersifat inklusif, toleran dan mengakomodir budaya setempat dan kontekstual dalam menafsirkan teks-teks Alquran dan hadis. Kelompok kedua bersifat eksklusif, meyakini bahwa ajaran Islam versi mereka adalah paling benar, di luar tafsir mereka adalah salah dan bahkan bisa dikafirkan.

Kelompok islamis tersebut, pada level paling “halus” sekalipun, telah menciptakan akar juga pijakan untuk radikalisme tumbuh. Ibarat sebuah gunung yang berada di dasar laut, maka wacana dari kelompok islamis ini adalah dasar dari gunung yang tertutup oleh air laut, sementara bagian atas dari gunung yang tampak di permukaaan laut, itulah radikalisme, dan bagian puncaknya adalah terorisme. Kita hampir tidak melihat dasar dari gunung itu sebab tertutup permukaan air laut.

Pada tahun 80-an berkembang pemikiran intelektual muslim berpandangan Islam inklusif (modernis toleran dan pluralis). Yang paling menonjol adalah KH. Abdurrahman Wahid dan Nurcolish Madjid. Pada dekade itu, wacana Islam mainstream dikuasai oleh kelompok modernis toleran. Kehidupan “ber-Islam” cukup stabil saat itu.

Baca juga:  Bagi-Bagi Tugas ala Gus Dur dan Gus Im

Tetapi pasca reformasi, peta kuasa wacana Islam di Indonesia bergeser sejak berkembangnya Hizbut Tahrir Indonesia (yang baru saja dibubarkan pemerintah, tetapi sebagai pergerakan tetap eksis) dan kelompok sejenisnya, berikut para “supporternya” yang membawa wacana Islam eksklusif.

Bagaimana mereka mampu menggeser peta kuasa wacana itu?

Variabelnya cukup banyak, yang signifikan adalah penggunaan berbagai media: website, selebaran di masjid, buku-buku, berita hoaks  yang berseliweran di media sosial juga acara televisi, hingga film-film religi (film bertema atau berlatar belakang Islam). Inilah yang disebut dengan istilah harbul afkar yang berarti perang ide.

“Pertarungan antara dogma religius, pada hakikatnya ini adalah perang ide, bisa jadi ide keimanan atau kekufuran yang menang,” begitu menurut Sayid Qutb yang dikutip oleh Bassam Tibi dalam bukunya Islamism and Islam. Sayid Qutb adalah seorang pemikir ideologi kelompok garis keras Ikhwanul Muslimin.

Dalam konteks global, kita harus menyadari bahwa perang ide itu masih berlangsung dan berujung pada suatu agenda besar, yaitu menuju kendali atas kekuasan politik negara dan itu pernah terbukti di Mesir dan Aljazair. Perang ide itupun “dimanifestasikan” pada saat pilkada DKI beberapa bulan lalu dengan berbagai macam cara dan bentuknya. Kafir dan tidak kafir, menista dan tidak menista.

Lalu mengapa film-film religi termasuk bagian dari pertarungan itu?

Film adalah representasi dari masyarakat dan zamannya, ia mengambarkan situasi sosiopolitik, budaya, ideologi juga keagamaan suatu masyarakat. Seorang pembuat film, sengaja ataupun tidak, menyerap keadaan ini. Dan ini terendap ke dalam ruang-ruang kesadaran juga ruang bawah sadarnya.

Baca juga:  Didi Kempot, Ngaji Ihya, dan Jiwa yang Begitu-Begitu Saja

Ketika ia mencipta sebuah dunia di dalam film, ia akan merepresentasikan semua yang telah diserap itu. Kita akan bisa membaca pandangan keagamaannya pada film yang dicipta.

Begitu banyak film-film religi kita selalu bicara hitam putih yang merepresentasikan Islam eksklusif. Islam ditampilkan secara dangkal dan penuh dengan dogma-dogma keagamaan. Narasi film yang dibangun seolah berkhotbah menyampaikan tafsir yang paling benar menurut mereka atas Alquran dan hadis.

Narasi poligami hadir untuk mengkampanyekan berpoligami dan mencari segala pembenarannya, terkesan mengampangkan.  Seorang laki-laki saleh digandrungi wanita-wanita cantik, tokoh protagonis yang bicara seolah dirinya suci tanpa dosa, dan lain sebagainya. Pada beberapa film religi yang diniatkan bicara soal Islam toleran, sayangnya malah terpeleset menjadi verbal dan menjemukan.

Jutaan penonton menikmati dan mengamini model Islam yang dihadirkan dalam film religi jenis ini yang mereka anggap paling “Islamis”. Bahkan mereka ingin memformulasikan seperti apa sesungguhnya film religi yang benar itu, menurut versi mereka.

Sebuah film religi yang pernah saya buat, mendapatkan hujatan dari kelompok “Islamis” ini karena tokoh perempuannya menggunakan kerudung yang tampak sedikit rambut bagian depannya. Tidak Syar’i! (mengikuti syariat Islam versi mereka) menurut mereka.

Dari sini terbaca, bahwa kelompok Islamis telah memegang kendali atas pertarungan wacana Islam di Indonesia dengan pengikut yang semakin banyak seperti halnya film-film religi “islamis” yang banyak digemari.

Baca juga:  Film Islam: Potret Anak-anak Penghafal Alquran dari Tiga Negara

Para penonton telah menemukan cermin yang menampakan wajah mereka sendiri pada film-film religi “islamis” itu yang turut andil menyuburkan dan memberi pondasi pada gunung bawah laut yang saya analogikan diatas. (Artikel ini dimuat pertama kali di Koran Tempo)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top