Ana kayu apurwa sawiji
Wit buwana epang keblat papat
Agedhong mega tumembe
Apradapa kukuwung
Kembang lintang segara langit
Sami andaru kilat
Woh surya lan tengsu
Asirat bun lawan udan
Apupuncak akasa bungkah pratiwi
Oyode bayu bajra
—Kidung Kalijagan
Pagelaran (bahasa baku: pergelaran) wayang purwa sebenarnya adalah sebuah teks terbuka, meski pada dasarnya—dalam perspektif Derrida dan Umberto Eco—semua teks bersifat terbuka. Kesadaran sebagai teks yang terbuka ini secara tersirat dilambangkan oleh sang dalang di setiap akhir lakon dengan menarikan sebuah wayang golek yang terbuat dari seonggok kayu.
Secara kerata basa, golek memiliki arti mencari dan kayu memiliki arti hayyu atau hidup. Kayu ini pun juga disebut kayon yang memiliki pula arti hayyun atau hidup. Bagi yang umumnya tak memiliki latar-belakang sufisme, kayu tersebut dimaknai sebagai kajeng yang berarti kehendak (karep).
Secara substansial sebenarnya hayyu dan kajeng ini sama saja. Sang dalang di sini secara sadar diri tak pernah memosisikan dirinya sebagai sebuah otoritas makna atas keseluruhan pagelaran yang ia sajikan. Para penonton dipersilakan untuk menjumput dan memaknainya sendiri.
Sebagaimana yang telah banyak saya ungkapkan dalam tulisan-tulisan lain, apa yang digugat para posstrukturalis di lapangan ilmu-ilmu humaniora pada dekade 60-an sebenarnya telah lama dipraktikkan oleh para seniman Jawa tradisional. Seumpama pada bidang kesusasteraan, intertekstualitas dan konsep penulis sebagai pemegang otoritas yang telah mati (the death of author) sesungguhnya menjadi semacam “kode etik” kesusasteraan Jawa klasik (Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Santri Brai, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2011). Demikian pula oagelaran wayang purwa klasik, secara sadar diri estetika dan etika yang dianutnya sudah menunjukkan watak posstruktural sejak lama.
Saya pribadi memaknai keseluruhan pagelaran wayang purwa klasik sebagai perlambang laku meditasi. Mulai dari tata artistik panggung, orkestrasi iringan, berbagai adegan teatrikal dan kesusasteraan, semuanya mengacu pada sebentuk laku meditasi. Dherodog bunyi cempala sang dalang yang di akhiri oleh singgetan pada awal pertunjukan, yang secara teknis menandai dimulainya pagelaran, merupakan representasi detak jantung yang lazimnya dimantapkan atau ditegaskan ketika hendak melakukan laku meditasi.
Setelah sang dalang sudah merasa tenang, dengan iringan ritmis bertempo lambat khas gendhing ageng, ia pun mencabut kayon atau gunungan yang sebelumnya diam dan tegak—tak miring ke kanan maupun ke kiri—menancap di debok (batang pohon pisang). Getarnya (geter) gunungan itu secara tersirat menandai mulai adanya kehidupan. Sang dalang kemudian melorot gunungan ke pangkuannya di mana tangan kiri memegang pucuknya dan tangan kanan memegang pangkalnya (bongkot).
Pada situasi ini, konon, sang dalang tengah merapal pujamantra. Pucuk dan pangkal gunungan merepresentasikan awal dan akhir kehidupan yang siap digelar dan digulung oleh sang dalang yang dilambangkan dengan diciumnya gunungan itu oleh hidung sang dalang.
Karena itulah kayon, dalam jagat meditasi Jawa, juga disebut sebagai gunungan yang merepresentasikan tursina (gunung Sinai seperti dalam kisah Nabi Musa) alias hidung. Di sini berlakulah sebuah ungkapan meditatif, barang siapa yang bisa menggelar harus pula bisa menggulung.
Adegan-adegan yang tersaji dalam pagelaran wayang purwa atau disebut pula ringgit wacucal (wayang sebagai sebuah pelajaran), sebenarnya—ketika pagelaran wayang itu dimaknai sebagai sebentuk laku meditasi—adalah kilasan kenangan (yang berkaitan dengan masa silam) maupun harapan (berkaitan dengan masa depan) yang acap menjadi reridhu (halangan) orang yang sedang bermeditasi. Karena itulah adegan-adegan dalam pagelaran wayang purwa tak dapat dilepaskan dari cempala ataupun keprak sebagai komando orkestrasi iringan yang membentuk sebuah suasana.
Ketika dalam suasana sereng (ketegangan), cempala atau keprak akan berbunyi kerap dan bertempo cepat (geter) sebagaimana halnya jantung meditator yang berdetak cepat karena hanyut dalam pusaran kenangan (waktu silam) dan harapan (waktu depan). Secara neurologis, gelombang otak sang meditator pada suasana sereng semacam ini berkisar di antara 12-25 Hz hingga 25-40 Hz.
Misteri meditasi (mbangun kayangan) pada pagelaran wayang purwa gamblang terpampang dan terngiang pada pathet 9 di mana kayon secara khusus dideskripsikan dengan ditembangkan, sering dengan laras slendro barang miring yang sayu dan mendayu. Kayon itu ditembangkan dalam metrum dhandhanggula pathet 9 yang identik dengan wejangan tentang penataan suasana batin. Karena secara kerata basa, dhandhanggula bermakna manisnya kematian (manis patitising pati), dhandhang (gagak) dan gula (manis), yang lazimnya menjadi ideal tertinggi para leluhur di masa silam.
Ada pohon tegak menyendiri
Pohon jagat bercabang empat
Berdaun mega-mega
Bersemi menaungi
Langitnya samudera berbintang
Cahaya dan kilat
Buahnya mentari dan rembulan
Cipratannya embun dan hujan
Berpuncak angkasa berdasar Bumi
Berakar angin ribut
Se-pupuh tembang dhandhanggula di atas menyiratkan sebangunnya antara jagat gedhe (makrokosmos) dan jagat cilik (mikrokosmos) di mana keduanya merupakan cerminan satu sama lain. Tapi “pohon” itu—dalam khazanah sufisme di sebut sebagai sajaratul yaqin—masih bersifat potensial karena akarnya masih berwujud angin ribut (bayu bajra).
Ketika angin itu sudah digiring menjadi samirana (angin yang berhembus ritmis dan halus), maka akan menjadi laras pula segala tertib dunia (makrokosmos). Di sinilah kemudian ungkapan klasik hamemayu hayuning rat mendapatkan momentum dan konteksnya.
Atau secara khusus, pada tragedi Sukesi dan Wisrawa, apa yang dikenal sebagai sastra jendra hayuning rat mendapatkan makna praktis-implemetatifnya: eloknya dunia seturut dengan eloknya diri sendiri. Ini pesan khas semua agama/kepercayaan, penuh kearifan. Mudah dikatakan, tapi sulit dilakukan, bukan? (SI)