Sedang Membaca
Simbolisme Sastra dan Agama
Hafis Azhari
Penulis Kolom

Pengarang novel "Pikiran Orang Indonesia dan Perasaan Orang Banten"

Simbolisme Sastra dan Agama

1 Al Hamra 2

Pada prinsipnya, setiap teori ilmu pengetahuan memang sangat terbatas. Begitu juga filsafat yang merasa kesulitan menjelaskan segala sesuatu secara utuh dan menyeluruh. Bahkan agama menjelaskan gambaran-gambaran tertentu dalam ayat dzanni ad-dalalah (belum jelas), sehingga para ulama punya interpretasi sendiri-sendiri dalam proses penafsirannya, sesuai dengan syarat-syarat, kebutuhan zaman, serta kebudayaan daerahnya masing-masing.

Setelah manusia berikhtiar meneliti dan menganalisis untuk mencari kebenaran, maka puncak dari pengetahuan tentang kebenaran itu adalah relativitas, perbedaan pendapat, dan karenanya Rasulullah menegaskan bahwa perbedaan pandangan di kalangan umatku adalah rahmat. Jadi, pada dasarnya kita memang tidak tahu, atau sedikit tahu. Karena itu, pengetahuan tertinggi dari pencapaian ilmu adalah keterbatasan atau ketidaktahuan.

Maka logikanya, jika kita sebagai manusia sama-sama menyadari keterbatasan dan ketidaktahuan, untuk apa manusia saling bertengkar hanya karena perbedaan pendapat? Kenapa manusia merasa dirinya paling benar di antara yang lain, lalu dengan entengnya mendiskreditkan pihak lain sebagai sesat atau kafir?

Keterbatasan adalah kodrat manusia. Artinya, manusia pada hakikatnya adalah makhluk yang tidak tahu-menahu. Jika setiap manusia berani mengakui kodrat asalnya, ia menjadi terbuka dan jujur dengan segala kenyataan yang ada. Ia tidak mau terjebak oleh segala bentuk ilusi yang diajarkan tradisi leluhur maupun nenek-moyangnya.

Ketika kita mampu menjalani hidup dengan pikiran “tidak tahu”, berdialog dengan pihak lain dengan mengosongkan pikiran, kita akan berani menghadapi kondisi apapun secara legowo dan apa adanya. Tidak plintat-plintut, tidak sibuk cari-cari pembenaran untuk mempertahankan pendapat dan argumen. Juga tidak tertarik untuk sikut kanan-kiri demi meraih jabatan kedudukan yang hakikatnya adalah ilusi dan semu belaka.

Baca juga:  Islamisasi Priayi atau Priayisasi Islam?

Egoisme Ekstrim

Coba perhatikan dunia politik dan kekuasaan kita selama ini. Orang-orang bersikukuh membangun pembenaran demi kelompok dan golongannya sendiri. Kemudian berkembang pada sifat individualisme di mana dirinya merasa berbeda dengan orang lain, terus semakin memperuncing masalah perbedaan itu. Setiap manusia seakan hidup dalam kesendirian, ketarasingan, dan pada akhirnya terjebak pada sifat egoisme ekstrim yang membuatnya semakin menjauh dari nilai-nilai kedamaian dan kebahagiaan.

Saat ini, kebanyakan orang sibuk dengan pola pikirnya sendiri. Sibuk membesarkan kotaknya sendiri, demi memenuhi kepentingan hasrat dan nafsu, serta kenikmatan yang bersifat nisbi belaka. Itu semua adalah hasil dari pola pikir yang membeda-bedakan manusia yang satu dengan yang lainnya. Teman dan kawan dalam kelompok dan golongan, dijadikan dalih seakan-akan adalah sahabat “seiman dan seagama”, yang kemudian menafikan persahabatan dalam kemanusiaan. Paham tersebut mengandung konsekuensi adanya pemisahan yang prinsipil antara satu manusia dengan manusia lain (wong liyan), hingga melahirkan ketidakpedulian pada alam dan lingkungannya.

Egoisme ekstrim pada masing-masing golongan itu cenderung meremehkan, menghina, bahkan menyakiti sesama manusia. Di sisi lain, tema tentang “cinta” begitu merebak dalam jutaan judul lagu, film, sinetron, bahkan teater dan drama-drama klasik hingga modern, dari kelas kota hingga kelas-kelas kampung. Padahal, bukankah esensi terpenting dari perasaan cinta itu adalah kesatuan, solidaritas dan tenggang rasa antara yang satu dengan yang lainnya? Mengapa cinta diartikan begitu dangkalnya, seakan-akan suatu emosi yang diwujudkan dalam tindakan sesaat belaka?

Baca juga:  Berislam yang Menguntungkan: Mempolitisasi Niat ala Imam Ghozali

Padahal, ketika cinta dan kasih-sayang sudah menyatu dalam diri seseorang, dengan sendirinya ia akan mengejawantah dalam sentuhan akhlak dan perilaku yang mulia, penuh keadaban dan kemanusiaan. Bukankah dalam hadits qudsi, Tuhan berfirman, “Cintailah mereka yang ada di bumi, niscaya para penghuni langit akan mencintai kalian semua.” (irhamu man fil ardli yarhamukum man fissama’i).

Sebaliknya, ketika cinta diremehkan, kemudian manusia bergelimang dalam pertikaian dan permusuhan (merasa benar sendiri), konsekuensinya Allah tidak memerintahkan penghuni langit untuk menjaga dan melindungi mereka, maka siapa lagi yang akan menjadi penolong bagi mereka?

Bahasa sebagai Simbol
      Suatu hari seorang ulama sufi diundang untuk acara makan malam oleh penguasa setempat, bersama dengan para ajudan dan kaki-tangannya. Selasai makan dengan lahapnya, penguasa itu memancing pertanyaan, “Wahai orang alim, saya sudah membangun banyak tempat ibadah, lalu apa yang akan saya hasilkan di akhirat nanti?”
“Tidak tahu,” jawab ulama tersebut.

Sang penguasa merasa jengkel mendengar jawaban itu. Ia seakan belum puas menerima jawaban yang spontan itu. Melihat para ajudan dan kaki-tangannya tersenyum, gengsi dan harga dirinya terusik, kemudian ia menghardik ulama wara tersebut, “Hey, orang alim, siapa kamu sebenarnya? Ayo, jawab terus-terang, apa yang saya dapatkan nanti?”

Baca juga:  Orang Indonesia Suka Bercanda?

“Tidak dapat apa-apa,” tegas sang ulama.
“Kalau saya tidak dapat apa-apa, bagaimana dengan Anda yang tidak membangun apa-apa?”
“Saya tidak tahu.”

Pernyataan “tidak tahu” yang disampaikan itu, apakah betul-betul suatu ketidaktahuan ataukah ada maksud lain agar sang penguasa tidak sibuk pamer sana-sini, riya, dan hanya pencitraan semata? Ataukah jawaban ulama itu mencerminkan era dan zamannya, di saat semua orang disibukkan oleh ketenaran dan pencitraan, bahkan merasa serba tahu segalanya. Padahal, ilmu pengetahuan dan filsafat – sehebat apapun – tetap tidak bisa menjelaskan sepenuhnya tentang suatu hakikat dan kenyataan hidup.

Pada prinsipnya, ilmu pengetahuan, filsafat dan agama, ketika harus menjelaskan segala sesuatu, ia hanya mampu memakai bahasa sebagai alat ungkapnya. Segala penjelasan itu – mudah atau rumit – disampaikan melalui perangkat bahasa. Menyebut dan memanggil nama Tuhan Yang tak terjangkau, dan tidak menyerupai suatu apapun, juga diekspresikan dalam bentuk bahasa. Setiap pikiran dan perasaan, pada dasarnya dirumuskan dan disebarluaskan dengan menggunakan simbol dan perangkat bahasa.

Tetapi, mampukah seluruh bahasa di dunia ini menggambarkan kerumitan-kerumitan dari setiap kenyataan hidup yang kita alami? Mampukah sastrawan dan ahli bahasa sehebat apapun, menjelaskan secara mendetil segala apa yang ada dalam pikiran dan perasaan umat manusia?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top